UA-51566014-1 Catatan Harian

Sabtu, 27 Desember 2014

Dear Waktu

Demi masa

Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran


            Pertama-tama aku ingin berterimakasih kepada bapak Edi AH Iyubenu yang menulis sangat bagus mengenai perspektifnya pada waktu. Reflektif dan mengundang galau yang sama.

            Rupanya bukan aku saja yang cemas bahwa waktu, dengan segala otoritasnya, memperlakukan hidup manusia serupa rol film. Gulungan diputar, mengalami berbagai kejadian, sebentuk kenangan kemudian habis begitu saja sebagai ending sebuah cerita. Entah berapa miliar hidup yang telah dilumatnya menjadi papan nama dan gundukan tanah belaka.

            Bukan masalah, itu hakmu, waktu. Sepertinya pula kamu khusus diciptakan Tuhan untuk itu. Hanya ingin menguraikan sedikit pandanganku tentangmu. Betapapun cemasnya, aku juga tak bisa memungkiri kesempatan yang diberikan olehmu untuk mengerti. Mengerti berbagai macam hal, merasai warna-warni cerita yang membentuk kenangan, hingga akhirnya tak lagi eksis di dalammu.

            Setiap orang, mungkin telah dan akan menemukan definisinya tentangmu. Ada yang menganggap kamu itu ilusi, yang kita tak pernah tahu kapan dimulai dan berakhirnya. Ada yang menganggapmu nyata senyata-nyatanya kenyataan. Bahkan ada yang tidak menganggapmu sama sekali, dalam kata lain, kamu pun fana dan hanya bisa dihitung oleh mereka yang menempati dunia fisik saja.

            Aku sendiri belum menemukan definisi tentangmu. Lebih tepatnya masih plin-plan. Ketika seseorang membahas kefanaanmu, aku setuju. Lain hari, saat ada yang menganggapmu nyata, aku sepakat tanpa syarat. Maka boleh dibilang, aku tak paham pada dasarnya. Gagal mereduksimu menjadi satu  kalimat yang bisa dimengerti orang.

Selama ini tentangmu hanyalah:

1 menit = 60 detik
1 jam   = 60 menit
1 hari   = 24 jam
1 tahun            = 365 hari

           Begitu saja.

            Sederhana memang, tapi, dalam kehidupan kamu selalu lebih dari itu. Kamu menamatkan riwayat orang-orang yang bahkan berusaha menguraikanmu. Orang-orang macam Einstein yang berbicara soal relativitas, Newton tentang gaya dan gravitasi, serta banyak lagi. Selanjutnya, kamu pun melahirkan manusia seberani Soekarno, searif Mahatma Gandhi juga selegenda Madonna. Seolah-olah mereka sekadar perbendaharaan yang mengisi eksistensimu sesungguhnya.

            Semua luluh lantak di hadapanmu. Hangus tak bersisa selain karya-karya yang atas seizinmu akan dikenang sebagai sejarah dan teori. Tak ada yang bisa menyiasatimu dengan uang, rayuan bahkan ilmu-ilmu mereka.

            Dear waktu.

            September 2012, kamu menghadirkan seseorang yang menggenapi, di sisi lain merumitkan kehidupanku, mereka: kami. Tepat September tahun selanjutnya, kamu menghancurkan hidupku dengan mengambil ayah yang aku sayangi lebih dari apapun. Bahkan bila mungkin, lebih dari diriku sendiri. September tahun selanjutnya lagi, tahun ini, tahun 2014, kamu merenggut temanku dengan cara yang aku gagal paham hingga sekarang. Dan itu membuatku takut bulan September. Pada masaku nanti, kamu juga akan menghibisiku dengan senjata yang kaupunya kan? Senjata berupa masa yang membuat bayi menjadi remaja, dewasa menjadi tua, hingga segala kekuatan masa muda melemah jadi pantangan-pantangan lalu berhenti pada mati (struktur umum, tapi mati adalah bab sendiri yang punya kepentingan terhadap nyawa manusia. Tak ada hubungannya dengan umur).

            Waktu,

            Apalah artiku di hadapanmu. Apapun kamu, telah terbukti bahwa manusia dengan segala miliknya tak pernah mampu mencegahmu. Kamu istimewa. Dan aku yang begitu kecil ini tak ingin terjebak dalam lingkaran definitif akanmu.

            Aku hanya tak ingin merugi. Karena ada sebuah surat yang secara khusus membahasmu, bahwa siapapun yang tidak memanfaatkanmu dengan bijak, akan ditenggelamkan oleh ulahnya sendiri. Meskipun aku belum memahamimu, perkenankan aku belajar agar tidak termasuk orang-orang merugi.


            Merugi, menakutkan bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar