UA-51566014-1 Catatan Harian: 2015

Sabtu, 10 Oktober 2015

Selamat Jalan Mbak (Sekali Lagi, Rasa Sayang yang Tak Sampai)

Masih segar dalam ingatan, ketika kau yang menjadi sumbu dalam sebuah lingkaran, menasihati kami yang tampak jahiliyah, sombong dan  penuh rencana seolah akan hidup selamanya. “Menjadi orang sibuk itu bukanlah hal yang hebat, melainkan suatu keberuntungan karena bisa memaksimalkan waktu dalam kebaikan.” Ujarmu kala itu, sambil sesekali menatapi kami satu persatu.

Entah itu pertemuan ke berapa, namun sepertinya ada banyak sekali waktu (yang sekarang nampak ilusif), di mana aku seharusnya mendengarkanmu. Menekuri kalimat demi kalimat dan menekan nafsu bercanda yang agak keparat. Meski demikian, kau tetap tersenyum manis, menegur kami dengan pandangan teduh, lebih teduh dari langit sesaat sebelum gerimis. Kau memang punya pesona itu, semacam  pembawaan yang  membuat lawan bicaramu santun tanpa perlu segan.

Pasti, ada banyak sekali orang yang menyayangimu, dan apalah aku dibanding mereka semua. Setitik makna pun barangkali tiada. Namun, rencanaNyalah yang menautkan hati kita, hati kami dalam lingkaran kecil tempat berdiskusi, mempercakapkan kabar rohani dan apa saja asal bukan boyband korea. Aku tahu, adalah rencanaNya untuk mengenalmu meski sebentar, terlalu sebentar bagi orang yang kemudian jatuh sayang. Lingkaran itu, kalau boleh kubilang lebih berfaedah dibanding kelompok manapun yang mencatat namaku sebagai anggota. Kenapa? Karena kita saudara, sebagaimana doa rabithah yang senantiasa kau baca.

Hari ini, pukul 15.30 WIB lebih tepatnya, Allah memanggilmu kembali. Mendengar kabar itu, hatiku serasa kosong, dan pikiran pergi tanpa permisi ke suatu tempat yang tak kutahu tepat. Seperti distraksi, di mana otak tak sinkron dengan hati, atau otak dan hati sejalan, namun tubuh terlalu fana hingga mematung tanpa melakukan suatu apa. Bukan berita kematian membuatku sedih hebat, yang mengejutkan justru perasaan ditinggal, seakan hal berharga dicerabut paksa dari tengah kami. Rupanya aku belum kebal, dan menganggap kematian adalah sesuatu yang begitu jauh dari realita. Lagi-lagi perasaan tersebut hadir, bahwa hidup sedikit tak adil, bertemu-saling mengenal-sayang-sayang-sayang-berpisah begitu saja. Berpisah, bahkan tanpa selamat tinggal yang cukup memadai untuk melanjutkan hidup tanpa orang bersangkutan. Pola semu yang seperti mau membenarkan kata Chairil Anwar, Hidup hanyalah menunda kekalahan.

Padahal siapa kita? Memiliki diri sendiri saja tidak, mengapa ada acara tak ikhlas segala. Sejenis debitur yang tak tahu diri! Bukankah segala sesuatu lebih baik pada tempatnya, pada pemiliknya? Lantas tak cukupkah pinjaman waktu untuk berjumpa dalam ketaatan padaNya?

Ah, sebenarnya kita terlalu dewasa untuk membahas itu lagi dan lagi. Kita terlalu dewasa untuk menangisi sesuatu yang seterang aksioma.


Mbak May, selamat menempuh hidup baru Mbak. Bersama Maha Cinta yang (semoga) menyayangimu lebih besar dari cinta mana pun yang didefinisikan manusia. Allah baik sekali sudah mengenalkanmu padaku, akhwat tangguh, inspiratif dan senantiasa berjuang di kala sehat dan sakit. Nisa sayang mbak May. Insya Allah mbak dapat tempat yang baik, sebagaimana mbak pernah bilang, "tempatkan Allah sebagai cita-cita tertinggi kalian, dek". 

 Jazakillah atas segalanya.

Minggu, 13 September 2015

Epigram dan Selingan


            Frederich Nietzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil menuliskan beberapa epigram mengenai kehidupan. Dan inilah kalimat-kalimat manis yang sudah saya list, check this out:

1. Pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri’—ini adalah perangkap terakhir yang dipasang oleh moralitas, menjerat kita sepenuhnya sekali lagi.

2. Kecintaan pada satu orang adalah barbar, karena ia dilakukan dengan mengorbankan orang lain. Bahkan kecintaan pada Tuhan.

3. Bukan kekuatan dari perasaan-perasaan besarnya, tetapi ketahanan perasaan itulah yang menandakan seorang manusia besar.

4. Beberapa burung merak menyembunyikan ekornya dari semua mata – dan menyebutnya kebanggan.

5. Seseorang yang memandang rendah dirinya sendiri masih menghargai dirinya sebagai seseorang yang memandang rendah dirinya sendiri.

6. Mengerikan jika mati kehausan di tengah laut. Apakah kebenaranmu harus sedemikian asin, sehingga ia bahkan tidak lagi dapat –meredakan dahaga? (kebenaran bukan lagi kebenaran jika dikultuskan, ia menjadi sebuah keyakinan. Maka, menirankan kebenaran justru menghilangkan fungsi ‘benar’ seperti bagaimana harusnya).

7. Laki-laki dan perempuan memiliki emosi yang sama, tetapi temponya berbeda: inilah mengapa pria dan perempuan tidak pernah berhenti salah memahami satu sama lain. (Setuju, kadang-kadang).

8. Hati terikat, jiwa bebas. –jika kau mengikat dan merantai hatimu kuat-kuat, kau dapat memberikan banyak kebebasan pada jiwamu: itulah yang kukatakan, pada suatu hari. Akan tetapi, orang-orang tidak percaya, kecuali saat mereka benar-benar menemukannya.

9. Apakah ada orang yang kadang tidak mempertahankan reputasi baiknya dengan mengorbankan — dirinya sendiri?

10. Malu pada amoralitas kita: inilah satu langkah di tangga yang mengarah menuju rasa malu pada moralitas kita.

11. Sesuai dengan diri kita, kita semua pura-pura lebih sederhana dari yang sebenarnya: inilah cara di mana kita dapat bersantai dari orang lain.

12. Bahaya dalam kebahagian. – ‘ segala sesuatu menjadi benar bagiku sekarang, mulai sekarang aku akan mencintai semua perubahan takdir—siapa yang ingin menjadi takdirku? (Kecuali kalimat terakhir, poin ini mirip ucapan Umar Bin Khattab ra., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tak tau manakah di antara keduanya yang lebih baik bagiku”. Sepertinya, kita memang harus menghadapi segala sesuatu dengan biasa saja. Toh, yang membedakan kejadian menjadi baik atau buruk hanyalah persepsi kita. Acceptance is one of the ‘beyond good and evil’.)

13. Sekali kau berketetapan hati untuk menutup telinga bahkan pada kontra-argumentasi terbaik, maka itu menunjukkan bahwa kau memiliki karakter yang kuat. dan kadang juga kehendak menuju kebodohan. (Dengan konservatif, kamu mengubah dirimu menjadi pribadi teguh sekaligus kolot. Kadang-kadang moderat itu perlu).

14. Tidak ada yang disebut sebagai fenomena moral, yang ada hanya interpretasi moral atas fenomena.

15. Saat cinta atau pun kebencian tidak berperan, tindakan perempuan akan biasa-biasa saja. (Nietzsche punya kecenderungan sok tau tentang perempuan).

16. Sensualitas seringkali mendorong pertumbuhan cinta terlalu cepat, sehingga akarnya tetap lemah dan mudah tercabut. (Aku kira hanya binatang yang saling mencintai karena dorongan sensualitas. Hampir lupa, manusia adalah binatang yang berpikir. Tipis sekali ya).

17. Semua perempuan yang baik menemukan bahwa ilmu pengetahuan adalah bertentangan adalah bertentang dengan kesopanan mereka. ia membuat mereka merasa seakan-akan ada orang yang ingin melihat di balik kulit mereka—atau yang lebih parah! Di balik pakaian dan kosmetik mereka. (Iyakah?)

18. Seseorang yang tidak mengetahui cara menemukan jalan menuju cita-citanya akan menjalani hidup dengan lebih sembrono dan kurang ajar dibandingkan dengan orang yang tidak punya cita-cita.

19. Dalam menghadapi kaum terdidik dan seniman, kita dengan mudah dapat salah dalam memperhitungkan kebalikan: seringkali kita menemukan orang biasa di balik penampilan seorang terdidik yang luar biasa, dan pada kenyataannya kita juga sering menemukan seseorang yang luar biasa di balik penampilan yang biasa.

20. Dalam balas dendam dan cinta, perempuan lebih barbar dibandingkan laki-laki. (Well, ini bukti bahwa laki-laki paling barbar dalam menilai perempuan. Saya perempuan, bahkan tidak pernah sekecil upil pun berniat barbar dalam mencintai seseorang. Barbar adalah urusan subjek dengan objek. Pihak ketiga menonton saja sambil makan jambu!)

21. Dalam membandingkan perempuan dan laki-laki secara umum, kau mungkin berkata bahwa perempuan tidak akan memperoleh kegeniusan sebagai dandanan mereka jika mereka tidak memiliki insting tentang peran pendukung. (peran pendukung  perlu untuk meneguhkan posisi. Itu saja, tidak lebih).

22. Apa yang dalam suatu zaman dilihat sebagai yang jahat biasanya merupakan gema dari sesuatu yang dulunya pernah dilihat sebagai yang baik—atavisme dari cita-cita lama. (Jangan bilang kalau zaman jahiliyah juga bagian dari atavisme. Kiamat sudah dekat)

23. Di sekeliling seorang pahlawan, segala sesuatu menjadi tragedy, di sekililing manusia setengah dewa segala sesuatu menjadi drama satir, dan di sekeliling Tuhan segala sesuatu menjad apa menurutmu? Mungkin ‘dunia’? (Ini favorit saya banget)

24. Cinta mengungkapkan kualitas-kualitas besar dan tersembunyi dari pencintanya—apa yang langka dan merupakan perkecualian dari dirinya: dalam artian bahwa cinta menyembunyikan apa yang biasa-biasa saja. (Itulah kenapa ada orang yang jatuh cinta tanpa pernah bangun. Konyol, sedih, dan herannya masuk akal).

25. Memuji lebih mengganggu dibandingkan menyalahkan. (Ya Allah lindungi saya dari quote ini).

26. Nasehat aneh!. Agar suatu ikatan tetap kuat, pertama-tama gigitlah terlebih dahulu. (Saya tidak tahu apa yang Nietzsche pikirkan saat menulis ini, tapi baiklah, Nasehat aneh).

27. Mendekatnya seseorang yang lebih tinggi adalah menyakitkan karena ia tidak dapat dibalas.

28. ‘Apa yang mengejutkan bukanlah karena kau berbohong padaku, tapi karena aku tidak lagi percaya padamu’.

Sekian epigram dan selingan dari Nietzsche, tolong tidak usah diambil hati.



Minggu, 16 Agustus 2015

Surat Tentang Seabsurd-absurdnya Ekspresi



Assalamualaikum, pa, apa kabar? Semoga engkau dalam keadaan terbaik dari yang bisa kubayangkan. Sudah lama sekali aku tidak menulis surat untukmu, aku bahkan tidak menulis paragraf-paragraf selamat untuk hari ulang tahunmu dan hari-hari yang tampak penting padahal tidak. Ah, maaf, belakangan ini aku terkungkung dalam—katakanlah perasaan terlena pada waktu—sehingga tak banyak berkabar lagi. Tapi bukan berarti aku lupa. Tak pernah sehari pun kosa kata itu mengambil alih peranmu dalam hidupku, karena lupa sudah kuletakkan sebagai kasus durhaka dalam taraf tertentu.

Ngomong-ngomong, sebentar lagi dua tahun kita menjadi keluarga yang hidup dalam dimensi berbeda. Tak apa, sekarang engkau sudah tidak sakit lagi, dan aku pun sudah lebih baik karena tidak melihatmu dalam keadaan sakit. Aku pernah bilang kan, jika kita menyayangi seseorang, maka empati kita akan dua kali lipat lebih menyedihkan. Setidaknya, papa sudah terlepas dari parahnya kamuflase persepsi dalam kehidupan ini. Aku jadi ingin bertanya, apakah benar yang dimiliki manusia hanya jiwa? Baru-baru ini aku membaca sebuah blog yang penulisnya bernama Harun Yahya (secara subjektif aku menjadi tertarik karena nama Yahya di belakangnya), menyatakan bahwa materi itu ilusi, dan segala sesuatu berada dalam kungkungan persepsi. Blog itu, sedikit lagi menjawab semua pertanyaanku tentangNya, dengan penjelasan ilmiah sederhana yang membuatku malu sudah lancang bertanya-tanya. Aku ingin sekali mendengar pendapat dari sudut pandangmu, tapi, ya sudahlah itu kita bicarakan nanti saja.

Kali ini, aku ingin sedikit protes kenapa papa jarang datang ke mimpiku! Meskipun masih takut gelap, aku bukan lagi gadis kecilmu yang takut hantu dan selalu tidur membawa Juz Amma (dulu aku memiliki semacam kepercayaan bahwa orang yang meninggal akan berubah menjadi hantu, pocong misalnya). Jadi kalau mau datang, datanglah saja, dan apapun bentuknya engkau adalah ayahku. Ayah nomor satu. Lagi pula persepsi hantu-hantuan itu sudah lama kuhapuskan, karena berimplikasi bahwa kelak aku akan jadi hantu juga. Fatally creepy, naudzubillah!

Mungkin alasan engkau tidak sudi datang ke mimpiku adalah ibadahku yang memburuk akhir-akhir ini. Iya pa, aku juga menyesal dan merasa munafik untuk itu. Tapi semoga masih ada kesempatan memperbaiki.

Sebenarnya, selain kangen, ada alasan lain aku membuat surat padamu. Seperti biasa, aku ingin menanyakan sesuatu, (ck, bagian ini masih menyedihkan karena komunikasi kita serasa benar-benar putus). Aku ingin bertanya, kenapakah seseorang harus mendiamkan orang lain tanpa alasan yang ybs ketahui? Hal paling sulit dimengerti selain trigonometri dan kawan-kawannya yang seperti alien itu, adalah kenapa proses ‘mendiamkan’ harus ada dalam kamus pertemanan? Kenapa? Kenapaaa?
Diam itu ambigu, menjengkelkan dan absurd Masya Allah. Itulah sebabnya aku lebih takut pada marahmu ketimbang ibu. Sebagai wanita normal, ibu akan merepet satu juz jika marah, tapi setelahnya sudah. Selesai tanpa sisa. Dan aku jadi tahu apa yang membuatnya marah sehingga menjelma Qariah bersuara indah. Berbeda dengan engkau, marahmu diam, hanya diam dengan tatapan maut—jika saja tatapan bisa membunuh, niscaya aku tamat saat itu juga. Ini semua, proses diam dan tatap-menatap yang mengerikan itu, sungguh membuatku kalang kabut. Aku seperti digiring pada fait accompli yang membuatku jadi tersangka tanpa pengacara. Program minta maaf yang diselimuti oleh rasa segan tersebut harus kuhadapi sendirian. Macam kambing hitam yang menawarkan diri untuk dibantai. Rasa-rasanya aku kuat dimarahi macam apapun—kata-kata kasar dan kekerasan tidak termasuk—asal jangan diam.

Parahnya, orang yang marah dalam diam bukan hanya engkau saja, Pa. Salah seorang temanku suka tiba-tiba mendiamkan, bahkan ketika baik-baik saja pada awalnya. Aku nggak ngerti, dan derajat nggak ngerti ini bergerak menuju seratus persen. Bahkan dalam ketidakmengertian ini aku berusaha mengiriminya sms permohonan maaf. Kau tahu pa, minta maaf adalah program yang berat seperti menguliti harga diri. Tapi kulakukan juga. Semua demi waktu keramat, bahwa sesama muslim tidak diperkenankan berselisih lebih dari tiga hari. Ini sudah menjelang dua hari, maghrib nanti waktuku habis telak. Dan engkau perlu tahu, hal menyedihkan nomor satu dari perang dingin ini adalah smsku tidak dibalas, tapi dia update bbm dan melakukan aktivitas sosmed lainnya.

Oh Allah, kuharap engkau mengerti niat hamba mengantarkan maaf. Perkara diterima atau tidak, menjadi urusan dia dan Engkau semata. Tapi tinggal serumah dalam keadaan diam rasanya sedikit mengganggu ketentraman.

Pa, coba jelaskan padaku trik untuk mengatasi jenis marah seperti ini. Jujur, aku lebih bahagia menjadi pihak yang disakiti, daripada merasa bersalah—merasa loh ya, aku bahkan tak tahu apa salahku. Aku kembali pada posisi didiamkan yang tidak enak. Kejadian-kejadian semacam ini menciptakan keyakinan bahwa jika pada waktunya aku berkomitmen nanti, harus ada sejenis pakta dengan pihak kedua, agar tidak ada rahasia di antara kita. Marahlah kalau mau marah, mau memuji tinggal bilang, mau pisah? Silakan kalau alasannya jelas dan bisa diterima. Segala sesuatu yang pada tempatnya adalah hak, dan sebagai orang yang nilai semiotikanya B, aku benci aktivitas perkodean yang tidak konvensional!

Pada dasarnya diam itu menimbulkan prasangka. Dan aku tidak suka berlarut-larut dalam prasangka yang membunuh logika. Memang ada benarnya pepatah yang berkata, “quiet people have the loudest minds”. Tapi si pepatah yang terhormat itu pasti belajar dari tokoh macam Edward Cullen, Aro, Sherlock Holmes, Morpheus, Kaname Kuran, atau Si Buta dari Gua Hantu. Lantas dari mana aku harus mendapatkan ilmu itu, dan hey, they don’t even exist!

Pa, nanti kalau kita bertemu di kehidupan selanjutnya (semoga itu surga), jangan pernah marah macam demikian. Aku bukan mind reader, atau dukun berkekuatan supranatural yang memahami orang dalam sekali kedip. Sampai di sini, aku cuma tertolong oleh keyakinan yang berbunyi, “It isn’t my duty to please everybody.” Lagi pula permintaan maafku seperti beterbangan di udara dan nggak ada artinya. Atau mungkin tidak membalas justru sikapnya yang paling jelas. Entahlah, once more, it’s not my duty to please everybody.

Baiklah, pa, kalau kau ingin mendengar tentang istrimu yang militan dan dermawan (minimal padaku) itu, dia baik-baik saja. Semua pada tempatnya, meski ada satu dua hal yang seperti jalan di tempat dan tidak segera bermuara. Tapi nggak apa, asal berjalan dalam tujuan, kita semua akan sampai.

Sampai jumpa pa, dalam mimpi mungkin, semoga Allah selalu menyayangimu sebagai orang yang mengajarkan tentangNya. Selamat HUT RI, merdekalah dalam definisimu di sana. Terima kasih atas segalanya, atas adzan pertama dan dua puluh tahun yang bermakna lebih dari sekadar waktu.

With love,

Intang.

Minggu, 09 Agustus 2015

Hiperrealitas dan Fiksi yang Terpaksa

cover buku


Jika menulis adalah bekerja untuk keabadian atau aktualisasi diri atau (lagi) perpanjangan eksistensi seseorang di dunia, maka membaca adalah sumbu itu semua. Poros tempatmu memulai setapak pertama dan memahami dunia yang tak pernah selebar daun kelor. Bagusnya, membaca akan mengurangi karat kesombongan seseorang karena tahu bahwa pengetahuannya hanyalah seringan massa debu di udara. Perbandingan buku yang kita baca dengan ilmu dunia jika digabungkan, selalu seperti burung Hud-hud yang melempar belalang ke tengah lautan, teks-teks yang pernah tersentuh mata kita akan tenggelam dalam jutaan kubik gelombang air. Dan bentuknya takkan lebih besar dari satu ekor belalang saja.

            Sayangnya, membaca yang laksana candu itu terkadang menciptakan realitas maya di kepala kita. Ada saja monolog yang tercipta, atau pikiran-pikiran yang mendorong realita mampat pada horizon ekspektasi. Membaca merupakan aktivitas yang memperluas cakrawala tapi mempersempit dimensi, seolah-olah kita lebih besar dari tempurung dan imaji-imaji pribadi. Begitulah kira-kira yang dialami Sekala dalam Taman Sunyi Sekala-nya Aida Vyasa. Novel filsafat satu ini, ah, entah aku harus mereviewnya dari sudut pandang mana. Kompleks, ambigu, rumit sekaligus indah. Begitu banyak warna kontinu tergerlar dalam novel ini serupa spektrum.

            Hal pertama yang membuatku memutuskan membuang waktu untuk membaca 292 halaman novel ini adalah labelnya sebagai novel filsafat. Aku tahu, prosa jenis ini akan kering dialog maupun konflik dan tidak menguntungkan secara literal. Terlebih karena terdapat merek lain bernama autobiografi spiritual, yang sama merugikannya dengan membaca resep masakan tanpa dipraktikkan. Kau tahu kawan, buku paling kuhindari ke dua di dunia ini selain kumpulan rumus IPA adalah autobiografi. Auto –sendiri, biografi –riwayat hidup pribadi, alias buku diary yang diterbitkan. Kenapa? Karena jika diciptakan oleh orang yang kurang pintar menulis, hasilnya akan mirip buku motivasi gagal yang congkak dan sedikit sekali mengandung hikmah. Tapi memang kita tak boleh mengeneralkan segala sesuatu, Catatan Seorang Demostran­-nya Gie, Anak-anak Revolusi-nya Budiman Sudjatmiko, dan mungkin beberapa gelintir di luar sana, adalah autobiografi yang menggetarkan. Ditulis dengan jujur dan tendensius, tapi tidak menghakimi pihak yang namanya tercantum dalam autobiografi. Seakan-akan penulis buku itu menepuk bahumu sambil berkata, “selalu ada alasan untuk sebuah kebencian, kawan”. Membaca buku semacam itu membuatmu sejenak lupa bahwa kau sedang membaca, adalah yang mereka berbicara padamu tanpa jarak tentang dirinya.

            Kira-kira seperti itulah Taman Sunyi Sekala, mengisahkan seorang gadis keturunan Arab—Persia yang haus pengetahuan. Ketertarika pada noir –gelap dan misterius–membawanya  pada Niskala yang merupakan perwujudan noir dalam dirinya. Niskala ia anggap sebagai sosok pujaan. Dan bersama dia, Sekala menceritakan banyak sekali hal absurd.

            Membaca Sekala sangat berbeda dengan novel filsafat lain (bentuk fiksi filsafat memang cenderung mewujudkan diri dengan cara berbeda), misalnya Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder yang meskipun fiksi, sangat cocok dibaca mahasiswa yang mengambil kelas dasar-dasar filsafat. Aku tidak sedang memuji salah satu dan merendahkan yang lain, tapi memang begitulah kenyataan. Dunia Sophie memiliki ranahnya sendiri, sedangkan Sekala adalah fiksi setengah nyata namun nggak layak disebut fakta. Aida Vyasa menuliskannya dengan gaya essay yang sedikit prosais. Gramatika stilistika seperti itu menghadapkanmu pada dua pilihan, hanya dua, yaitu membaca sampai tuntas atau jangan memulai sama sekali. Kamu mungkin lelah dan bosan karena tak kunjung menemukan hikmah, tetapi berhenti di tengah-tengah sama buruknya dengan meletakkan jari-jarimu di antara engsel pintu, terjepit dan sia-sia. Apalagi pada bagian akhir Vyasa membahas sesuatu yang menginspirasi seluruh jagad raya, sesuatu yang kau, aku beserta jutaan batok kepala memiliki definisinya sendiri dan tak pernah paten.

Apa itu? Ah, kamu sudah tahu jawabannya.

Iya, betul itu, apalagi memang. Sudah jangan pura-pura! Apa, coba katakan sekali, kau muak. . .Baiklah mari kita sebut bersama-sama dengan sekali hembusan nafas. 1, 2, 3. . .
.
.
.
Cinta.

Lihat, aku menghadiahkan beberapa space hanya untuk mengucap cinta. Kata benda ini memang luar biasa, sampai Tuhan menciptakan kehidupan dengan segala ketaktertebakkannya dan kita masih bertahan. Kau pikir karena apa? yap, pintar sekali, karena Tuhan tentu saja, orang tua, cita-cita atau bahkan cinta seseorang yang mengikatmu ke bumi seperti gravitasi. Kita tak perlu berbicara apapun tentang cinta, yang ada hanyalah puisi dan bunga-bunga mekar memasuki pikiran juga hati. Ambillah pengertianmu sendiri, maka aku pun begitu.

            Cinta sejati yang entah bagaimana bentuknya, terkadang justru yang paling tidak disadari. Invisible. Seperti simulakrum di mana realitas yang ada adalah realitas semu. Sebagaimana yang Baudrilard katakan dalam Triumph of Simulacra, awalnya citra merupakan representasi realitas, citra menutupi realitas dan citra menggantikan realitas. Dalam hal ini, cinta sejati sebagai realita telah sirna, “Not into nothingness, but into the more real than real”. Cinta sejati menjelma citra  serta hiperrealitas dalam simbol dan tanda. Konon simbol merupakan bahasa paling tinggi dari sebuah makna sebelum menjadi absurd.

Sedangkan cinta-cinta lain yang sering kita bicarakan tak lebih dari manifestasi Lust. Bagiku, Love dan Lust adalah kembar siam yang akan kanibal jika salah satunya tak cukup kuat mengimbangi yang lain. That’s why seperti yang dikatakan Sekala, cinta lebih baik tetap dalam bentuk kata benda. Aku setuju dengan itu, cinta tak harus mengambil hal yang bukan dirinya, ia selalu menempati ruang dengan tepat. Kamu memiliki lebih dari cukup untuk dibagikan tanpa harus mengambilnya dari orang lain. Oleh sebab itu ia harus dua arah, agar ada pihak pemberi dan pihak penerima, semacam pertukaran yang setimpal.

Aku ingin memperlihatkanmu bagian yang paling kusuka dari buku ini. Ketika seorang penulis berbicara cinta.

Aku jatuh cinta pada agama apapun yang membuatku jatuh cinta kepada diriku yang akan membawaku jatuh cinta pada tempat yang kutinggali sehingga aku ingat siapa yang menggerakkan angin sebagaimana aku ingat siapa yang meniupkan roh ke dalam janin ibuku.

Aku jatuh cinta kepada siapa pun yang membawa kerical ini kembali ke jalan yang benar, yaitu jalan yang aku ridai karena aku tahu bahwa diriku takkan bertahan lama dalam jalanan yang tak tentu arah. Aku pun manusia yang merindukan pulang ke rumah teduh.

Aku jatuh cinta pada apapun yang membuatku ingat bahwa deraka dan surga itu tak ada sehingga aku tidak berbuat baik dan menghindari kejahatan hanya karena upah semu yang mampu menurunkan derajatku sebagai hamba tuhan dan bukan hamba-nya yang ditinggikan

Aku jatuh cinta pada kegilaan paling gila yang mana hanya sebuah kehilaan saja yang termasuk kategori kenormalan paling normal seperti gilanya para manusia suci yang mencintai makrifat dan hikmah sehinga dianggap paranoia dan pesakitan.

Aku jatuh cinta kepada para narsis yang mengharfai diri mereka sendiri, seperti para pelacur yang menghargai diri mereka dengan ribuan dolar dan bukan seperti para istri yang seperti dicocok hidungnya.

Aku jatuh cinta kepada mulut berbusa kata-kata.

Aku jatuh cinta kepada diriku sendiri sebagaimana mereka membenciku!!!

(Vyasa, 2006:260)

Pada beberapa bagian, kata-kata Aida sangat aku. Dan di antara itu semua, yang membuatku menghormatinya adalah kemampuannya mencintai Allah SAW. Ya, Tuhannya nabi Muhammadi, aku, kamu, (mereka), matahari, bintang-bintang yang seluruh alam semesta bersandar padaNya, dan Dia tak merasa berat untuk itu. Jangan lupa, Sekala telah banyak makan asam garam buku filsafat bahkan langsung dalam bahasa asalnya. Tapi dia  mencintai agama dan menyebutkan secara gamblang. Di luar sana, betapa banyaknya orang beragama dan mengakui Tuhan, tapi pengecut dalam menyebut nama tertentu bahkan agamanya sendiri. Takut dibilang ngga objektiflah, radikallah, puritanlah, apalah itu yang mengurangi rasa hormat kita pada agama. Bahkan sampai terkesan kita hidup di Negara mayoritas tapi menjunjung tinggi hak-hak minoritas.

Aida Vyasa tidak demikian, ia menghormati agama sebagai cinta yang hakiki. Meski terang-terangan mengaku jatuh cinta pada Frederich Nietsche, mengagumi Chairil Anwar yang semasa hidupnya tak memiliki apapun selain rokok dan masalah, Aida Vyasa mencintai manusia yang dengan akhlaknya mampu menciptakan revolusi dalam damai, yaitu Muhammad SAW. Ia paham betul tragedi Karbala yang mensyahidkan Imam Husein (bin Ali bin Abi Tholib), bahkan mengerti dasar kenapa orang-orang Syiah berani mati (Syiah men, syiah, yang di sini masih tabu dan kurang layak diperbincangkan). Sebagai sekala, ia memuji keindahan Al-Quran dan betapa Tuhan suka bermetafora. Ah, rasanya dia banyak sekali bercerita tentang agama, yang paling menyentuh, dia ingin beridabah dengan tataran makna bukan gerak semata.

Penulis yang menciptakan Niskala-Sekala ini membuktikan hobinya membaca bukan cuma lewat kata-kata. Pengetahuan yang dibagikannya mengatakan itu semua, dan seperti Don Quixote, ia juga menciptakan realitas sendiri. Paparan realitas ini sungguh mengantarkan pada kepercayaan bahwa ini sama sekali bukan fiksi, kecuali bagian akhir yang boleh kamu simpulkan sebagai apa saja. Membaca Sekala bukan cuma membingungkan, tetapi juga menjengkelkan karena kamu akan terlihat bodoh dengan tidak mengetahui apapun.

Akhir kata:


Niskala, aku ingin bertemu orang sepertimu.

Rabu, 29 Juli 2015

Atheisme dalam Filsafat (Mengapa orang filsafat cenderung atheis?)


            Ngapain kamu belajar filsafat? Ndak edan.
            Ngapain kamu belajar filsafat? Mau jadi atheis?

            Kalimat seperti itu kerap terdengar ketika seseorang bersinggungan dengan filsafat. Seakan membaca buku bercover filsafat merupakan indikasi menuju sesat, atau ciri-ciri bahwa pembacanya mau murtad. Tapi sebenarnya tidak demikian kawan, sungguh tidak.

            Filsafat memiliki banyak sekali cabang. Namun dasar paling transenden yang membuatnya jadi seperti samudra makna, adalah rasa skeptis. Orang-orang yang tergabung di dalamnya merupakan individu yang tak pernah mengangguk setuju pada pernyataan umum. Mereka, atau mungkin kita, akan menukil sampai dasar terbawah hingga hasratnya untuk bertanda-tanya terpenuhi. Hal tersebut didukung oleh kebebasan berpikir seluas-luasnya, tanpa tepi dan batasan cakrawala bernama dogma. Meski secara keilmuan filsafat terbagi menjadi beberapa cabang seperti epistemologi, ontology dan aksiologi, yang beranak-pinak menjadi isme-isme bergantung pada tokohnya, kebutuhan akan berfilsafat bagi homo sapiens ini senantiasa dilandaskan pada refleksi. Praktiknya, ketika orang berpikir filsafati, ia akan mengandalkan dirinya sebagai kosmos dan tidak melulu berkutat pada satu aliran. Malah, bukan aliran yang dipilih sebagai metode berpikir, melainkan orang ybs-lah yang memiliki tendensi untuk menjadi salah satu –isme.

            Bisa dikatakan, filsafat merupakan area bebas dogma, dan yang terpenting kamu cukup rasional untuk act like a philosopher. Rasional di sini merupakan kata kunci, bekal paling utama bagi siapapun untuk merasa berhak berfilsafat. Maka jelas, filsafat bukan hanya monopoli mereka yang Ph.D atau mahasiswa pada sebuah gedung bernama Faculty of Humanity, melainkan milik semua yang diberi anugrah akal oleh Yang Maha Kuasa.

            Atas kesadaran bahwa filsafat lebih mengandalkan logika ketimbang menghormati dogma, maka muncullah pemikiran-pemikiran yang menyatakan diri sebagai Ateisme (nah kan, isme lagi. Karena –isme adalah hak bagi sebagian orang). Sebut saja Ludwig Feurbach yang terkenal dengan ‘Manusia menciptakan Tuhan’, mari kita hormati pandangannya sebentar. Menurutnya, keberadaan Tuhan, malaikat, surga-neraka dan agama, merupakan proyeksi manusia untuk mengakui suatu ke-Maha-an. Hegellian (pengikut Hegel –filsuf yang mengasosiasikan Tuhan sebagai roh semesta) satu ini berpendapat bahwa sejatinya itu semua sudah ada dalam diri manusia sebagai kosmos. Manusialah pusat jagat raya sehingga sudah sepatutnya memulangkan ke-Maha-an tersebut dalam dirinya. Feurbach tidak sendirian dalam pandangan akan ateisme, kawannya antara lain Jean Paul Satre (yang terkenal itu), bapak psikoanalisis Freud, dan yang cukup kondang dengan “God Is Dead” yaitu Frederich Nietzche. Namun yang menarik, Nietzsche tidak secara literal menyatakan ateis. Ia menganggap bahwa Tuhan telah mati dalam kehidupan beragama di Eropa, Dia bukanlah sosok humanis dan tidak mampu menyelesaikan berbagai permasalahan. Maka merupakan tugas manusia untuk membunuhnya.

            Menilik keberadaan ateisme dalam filsafat (jangan berputih mata dulu, orang filsafat banyak kok yg ibadah) yang dikukuhkan oleh beberapa tokoh, tidak mengherankan bila beberapa orang memilih untuk berpikir demikian, entah atas pengaruh seseorang maupun berada di bawah tanggung jawab pemikiran sendiri. Tetapi yang seyogyanya perlu diingat dan dipatri dalam hati kita, adalah adagium bahwa filsafat membawa pada kebijaksanaan. Lover of wisdom. Logika dan rasionalitas macam apapun harus diimbangi dengan pengertian awal bahwasanya pergerakan filsafat mengarah pada sikap arif (yg kalau di KBBI berarti menggunakan akal-budi/pengetahuan cs pengalaman). Seseorang belum dikatakan filsuf jika ia belum meraih kebijaksanaan hakiki, yang logis dan mengerti.

            Konon, ateisme merupakan fase awal dari filsafat. Sebagaimana bingung adalah gerbang menuju pengetahuan. Mungkin ada yang belum tuntas dalam pemahaman ontologi, yakni mengenai hakikat hidup yang tidak selesai hanya dengan menjawab pertanyaan ‘apa’. Barangkali aksiologi dapat menawar rasa ingin tahu akan fungsi pengetahuan bagi hidup.

Saya pribadi yakin, berTuhan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Terlepas dari pengakuan bahwa Tuhan kita adalah Dia Yang Satu, tempat bergantung segala sesuatu, tidak beranak maupun diperanakkan, serta tak satu pun yang setara denganNya (terjemahan surat Al-Ikhlas), aforisme tiap individu akan ketuhanan nyatanya cukup jelas. Ia bisa saja seorang agnostic (percaya akan Tuhan namun tak beragama), panteisme (menyamakan Tuhan dg kekuatan semesta) dll. Namun sejatinya ia percaya, bahkan alterego Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathusra (novel tentang pria bernama Zarathusra yang pada usia 30 tahun menyepi untuk mengajarkan humanitas. Namun dalam kesepiannya merasakan ada kekuatan di luar diri yang tak pernah mampu ia tolak), apakah namanya kalau bukan pengakuan atas superioritas Yang Maha?

Entahlah, no matter what, philosophy take us to the wisdom, is it?

Wallahua’lam.

P.S: Catatan ini dibuat bukan atas dasar penelitian. Mohon maaf apabila ada kekeliruan. Apalah saya, cuma anak sastra yang mau tak mau harus bersentuhan dengan filsafat. Karena sastra tanpa falsafah, lebih kering daripada kripik tempe yang dijemur tujuh kali, meaningless.
P.S (one more): Saya belum selesai baca Thus Spoke Zarathusra. Karena selain bahasanya engrish nyebelin, ya begitulah, kadang-kadang saya nggak cukup pintar memahami. Mungkin kamu mau bantu saya baca dan bikin Summary?

            

Selasa, 19 Mei 2015

18 Mei yang Ke 22

Setiap kita, memiliki satu tanggal yang apabila tiba waktunya, orang akan menjabat tangan atau minimal mengucapkan selamat. Kemudian mengalirlah doa-doa, seolah pada hari itu kau terberkati, dan orang-orang demikian bermurah hati. Saat hari itu datang, mungkin sebagian merasa bersuka cita, atau justru mati-matian kecewa karena dirinya merasa tua. Ya, titik itu selalu menarik. Aku sendiri berada di antara keduanya.

Bahagia, tentu saja. Tapi bahagia terkadang cuma kata, yang jika kau ucapkan lebih dari 5 kali maka tak ada rasanya. Seperti hukum Gossen.

Kecewa, bukan itu tepatnya. Mungkin semacam sedih melihat fakta bahwa umur telah berkurang satu tahun. Sementara ‘aku’ masih sepotong kata, unsur bahasa yang jika ingin bermakna, haruslah memiliki predikat.

Aku berada di antara keduanya, dan kau perlu tahu, menjadi orang pragmatis setengah oportunis bukanlah hal mudah. Selalu ada ruang yang terasa mengancam, juga kesempatan untuk berbahagia meski setipis niskala. Hidup seperti hamparan probabilitas yang terbelah dua. Dan manusia adalah lilin yang meleleh oleh waktu, berpendar dalam panas yang melenakan, terbakar habis namun cantik.

18 Mei sudah berlangsung 22 kali dalam hidupku. Ia seperti bilangan waktu pada umumnya, memiliki kesempatan sama besar untuk menjadi masa lalu. Bagiku sendiri, ia semacam teka-teki. Sebuah misteri yang membuatku bertanya-tanya akan berhenti di mana.

Entahlah. Aku hanya ingin mengalami, memberi terang kemudian padam dengan tenang.

Ngomong-ngomong, pernahkah kau merasa ulang tahun itu tak lain merupakan ambivalensi? Orang-orang mengatakan umurmu bertambah, padahal cuma sebatas angka. Dan mereka tak henti mendoakan agar semakin dewasa, padahal kau sudah merasa dewasa sejak mampu berkedip. Konsep ini agak kacau, kawan. Ulang tahun seharusnya jadi peringatan bahwa kita semakin habis, kemudaan semakin menipis.

 Barangkali, satunya-satunya yang perlu kau lakukan adalah berkontemplasi.

Membuka kotak demi kotak cerita selama satu tahun. Berterima kasih pada orang tua: sepasang pertama yang memberimu kehidupan setelah Tuhan. Mungkin juga berterima kasih pada dirimu sendiri, karena tak pernah berniat bunuh diri. Bahwa kau masih terus berjuang meski segalanya terasa stagnan.

Tidakkah kau ingin bertanya bagaimana 21 tahunku?

Oke, aku tak peduli ada yang bertanya atau tidak.

Bagiku, semua usia istimewa. Tak ada golden age. Semua sama manisnya, tergantung kau melihat dari kacamata apa. Aku pribadi bersyukur tak mengenakan kacamata apa pun, terbebas dari frame yang akan memberi sekat. Segalanya kulihat dengan mata yang satu, yang mengalami tiap-tiap usia dengan warna berbeda. Hmmm. . . satu kata untuh keseluruhan 21:

Indah.

Indah yang tak perlu diejawantahkan dengan prasangka. Indah yang tak perlu kata picisan. Indah yang tak membuat malu, dengan seseorang datang ke kelasmu kemudian berlutut seperti 18 yang ke 17. Indah yang tak semu, seperti saat kau terjerat hedonisme. Melainkan,

Indah yang sedikit harfiah.

Seperti ketika kau mengunjungi tempat yang membuatmu ingin menulis puisi.

21 tahun, sebagaimana labirin kosong yang justru membuatku penuh. Alami, dengan tawa berderai dan air mata berlinang. Di sana, ada satu bulan yang merupakan fase teramah di sepanjang usiaku hingga kini. Ternyata, jadi orang lain terkadang menyenangkan juga. Terlebih karena hidup tak selalu memenuhi prinsip dramaturgi. Setiap yang ada harus memiliki peran. Kadang kala, peran seseorang yang menyenangkan pun berhenti ketika kau menyelesaikan masa bakti di suatu desa.

Orang berlalu-lalang datang. Serombongan yang lain pergi. Dan kau hanya berdiri di satu sisi menatap itu semua. Karena suka tak pernah memberikan hak untuk mengikat. Perasaan-perasaan kecil itu seperti noktah dalam sekumparan memori. Melindap halus sebagai kenangan yang tak terlupakan.


Pada akhirnya, segalanya akan seperti seni yang lahir dari sebuah chaos. Mempesona dalam ketidakmengertian kita. Maka, alami saja. Kau juga tak selalu paham bagaimana takdir Tuhan bekerja, bukan?