UA-51566014-1 Catatan Harian: November 2019

Minggu, 17 November 2019

Tentang Laut Bercerita





Matilah engkau mati…
Kau akan lahir berkali-kali

Saya sering menangis ketika baca buku, tapi Laut Bercerita, adalah buku yang benar-benar mematahkan hati. Terlalu banyak realita menyakitkan, yang seperti dongeng tapi merupakan kenyataan bagi manusia Indonesia semasa Orba. Betapa mengerikan bahwa manusia bisa berlaku sedemikian jahat pada sejenisnya.

Laut Bercerita adalah buku yang merangkum kisah pemuda bernama Laut, bergantian dengan sang adik, Asmara. Saya tidak akan membicarakan presentasi bukunya, melainkan bagaimana buku ini mempengaruhi perasaan saya. Sudah lama pula saya tak merasa demikian kosong selepas menamatkan sebuah buku. O Leila, why did you do this to me?

Meskipun lahir di masa Orba, tapi saya tidak dibesarkan zaman itu. Ketika ingatan saya masih tipis-tipis terbentuk, ada beberapa manusia yang justru sedang berusaha membangun Indonesia baru. Indonesia yang tidak dinikmati oleh mereka, melainkan kita: adik, anak dan cucu para pejuang reformasi.

When I was child, I used to think that college students are anarchist. Saya besar di keluarga yang mengagumi pemerintah, karena itu, tentu saya menganggap mereka yang berdemo tak lebih dari kang protes belaka. Mat keluh. Mereka memprotes, tapi tidak membawa Indonesia kemana-mana selain keadaan yang lebih parah. Kerusakan fasilitas, tersendatnya transportasi dan terror.

Seiring waktu, terutama setelah kuliah, pandangan saya memudar lalu berhenti. Justru, para mahasiswa kritis itu barangkali orang-orang paling menderita. Tahu kesengsaraan rakyat (termasuk pula bapak-ibunya), ingin protes tapi terikat kampus, terikat posisi mereka sebagai harapan dan beban keluarga. Ketika protes gagal dianggap pengacau, saat berhasil pun tak dapat melakukan apa-apa karena kuasa bukan di tangan mereka. It’s hard to be awake people.

Membaca Laut Bercerita, pembaca diberi kesempatan menjadi Biru Laut Wibisana, mahasiswa Sastra Inggris cum aktivis gerakan mahasiswa dalam menentang Orba. Dalam persona Laut (begitu dia dipanggil), pembaca disuguhkan pada terror yang ditimpakan pemerintah. Bahwa mahasiswa adalah daging segar yang sedang digodog agar masak, tetapi diganggu lalat beterbangan. Lalat dalam hal ini intel, begitu jelinya mengawasi bahkan aktivitas mubah semacam diskusi buku. Jika ditangkap, matilah engkau mati, kembali pun kau akan pulang dengan trauma. Aktivis yang tertangkap akan disiksa sampai mengakui jaringannya; disetrum, berbaring di balok es berjam-jam, disengat semut rangrang, digantung terbalik, apa-apa yang tidak manusiawi, jauh lebih hewani dari terpidana korupsi.

Mengalami jadi Laut, hati saya seakan nggak tertolong. Maksud saya, lihat hidup kita, mudah dan penuh harapan. Sementara di hidup Laut, berharap pun terasa neko-neko. Meski dia senatiasa menggumamkan jargon perjuangan, reformasi, bangsa dsb, Laut sendiri tak lepas dari perasaan bahwa dirinya muluk-muluk. Entah dia akan merasakan Indonesia baru atau tidak
.
Setelah menjadi Laut, pembaca akan dibawa ke sudut pandang Asmara. Adik Laut yang logis itu bahkan kesulitan bersikap rasional kala kehilangan sang kakak. Ia sepi ditinggalkan oleh Laut, benar-benar ditinggal tanpa kabar. Kehilangan itu membungkus keluarganya ke suatu kondisi aneh. Ibu dan bapak mereka tetaplah orang tua yang bersikap seolah Laut masih ada. Menolak kemungkinan bahwa Laut dibinasakan, sehingga mereka tetaplah keluarga dengan empat piring di meja makan, kunjungan ke kamar Laut, dan perbincangan seolah sosok itu sekadar pergi ke kota. Kehilangan yang tanpa kabar memang aneh, pasti sulit menganggap keluarga kita tiba-tiba berhenti eksis. Seperti kata sang penulis, Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan.

Mungkin deskripsi saya kurang sedih. Tapi kesedihan sesungguhnya adalah, saat pelaku kejahatan ham masih berkeliaran tanpa disentuh hukum, bahkan mungkin terlibat dalam oligarki negeri ini. Para orangtua, saudara, kawan, dan kekasih dari para aktivis hilang pun belum mendapat kejelasan hingga detik ini. Padahal setiap kamis mereka menuntut kepastian di depan istana negara, sudah 12 tahun.

Mereka yang hilang atau menghalami penghilangan paksa (desaparecidos), semoga tenang di manapun berada. Perjuangan kalian nggak sia-sia, kalian akan lahir berkali-kali. Dalam setiap tekanan, akan selalu ada pahlawan yang melesat menuntut kebebasan kaumnya. Laut Bercerita membawa sekeping hati kami untuk meletakkan penghormatan kepada kalian. Hostoria magistra vitae!


Jumat, 08 November 2019

Your Oddity

It's kinda surprising that you haven't kill yourself up to this point. You stand up straight as coral. A big lonely coral struck by waves, hurt from time to time. You're strong and fragile at the same time, waiting your time to fall.

What is heaven? You're barely know the difference between life and death. Both of it look the same.

You lose the ability to feel, not even bitterness. You are a coral struck by waves, everything just too much that you ceased to feel anything. You are a coral, as hard as stone as a heart could be.

What is the meaning of life? Is it even meaningful enough to be interpreted?