UA-51566014-1 Catatan Harian: Oktober 2019

Rabu, 30 Oktober 2019

Percakapan #1



            “Sebenarnya yang lelaki inginkan adalah percintaan. Baik diwujudkan melalui persetubuhan atau sekadar berkasih-kasihan.” Kamu menyeruput kopi, melirik dia yang alisnya terangkat sebelah. Wajahnya meruapkan kesinisan. “Tapi perempuan menginginkan pernikahan beserta mahligainya. Kalian tak bisa berhubungan tanpa ekspektasi. Menurutmu siapa yang ribet di sini?”

            Dia mendengus, boro-boro menyeruput kopi, bersikap biasa saja pun tak bisa. Tema-tema semacam ini senantiasa mengubahnya jadi makhluk lain, seketika. “Kamu nggak tahu rasanya jadi perempuan. Setiap kali selalu ditanya kapan nikah seolah kami akan kadaluarsa.”

            “Ya salah masyarakat kan? Kita hidup di lingkungan yang memandang pernikahan sama wajibnya dengan bekerja di instansi.”

            “Tapi itu semua berangkat dari kebiasaan laki-laki yang menyukai daun muda. Dan…” Dia memelankan suara, sesaat tampak keraguan setengah sedih. “Dan memang perempuan punya jam biologis. Kami yang belum menikah di umur tiga puluhan sangat alert, berpotensi jadi perawan sampai mati.”

            Pada bagian ini kamu tak tahan untuk berseloroh. “Kalau begitu serahkan saja keperawanan itu padaku.” Langsung direspon pelototan marah yang sesungguhnya imut daripada menakutkan.

            “Mahal tauk! Lagi, masyarakat kita memandang nilai seorang perempuan terletak pada keperawanannya. Seolah itu suci, dan bila tidak, berarti kotor. Aneh sekali.”

            Kamu manggut-manggut, aneh memang. Di ceruk kepala kamu berpikir, di tempat yang menjunjung tinggi patriarki, menjadi laki-laki merupakan previlese. “Iya sih. Tapi menurutku anggapan begitu tak perlu didengarkan. Apapun yang orang bicarakan di belakang, kan bukan urusan kita. Dan soal jam biologis, kalau tahu, Rachel Weisz melahirkan di usia 48 tahun.”

            Decakan gemas terdengar. Benar dugaanmu, topik sensitif membuatnya terlalu aktif. “Wahai sobat open minded, kalau semua persoalan dikembalikan pada individu, kamu nggak akan nemu solusi untuk masyarakat. Menurutmu feminisme tumbuh dan berkembang karena individunya cuek terhadap stigma? Nggak. Mereka menyatukan suara untuk melakukan pembangkangan kolektif.”

            Frasa pembangkangan kolektif mau tak mau membuatmu tertawa. Tak ada yang tahu, betapa inginnya kamu menjeritkan pernyataan bahwa dia tak perlu melakukan pembangkangan apapun untuk diterima. Tapi, dengan selera apresiasinya yang menyedihkan, dia akan menuduhmu makhluk visual yang memuja penampilan. Fakta, orang cantik tak merasa dirinya cantik. “Lalu apa solusimu?”

            “Stigma yang sudah mengakar seperti itu perlu dilawan dengan penyadaran. Tapi, kesadaran hanya didapat oleh mereka yang menemukan jawab dari pertentangan-pertentangan dalam dirinya. Jadi belum ada solusi konkret. Mungkin, mungkin ya ini, harus dilakukan revolusi kesadaran bersama melalui berbagai media.”

            Termenung, secara tak sadar kamu memperhatikan dia mengiris kue. Entah mana di antara dua itu yang lebih manis. Bicara soal manis, kamu teringat bagaimana perempuan manis matrealis menjerat laki-laki borjuis. Mereka terang-terangan menginginkan materi, fisik adalah hal kesekian.

            “Oke. Perempuan memang cenderung direpoti paradigma masyarakat, itu satu hal.” Ujarmu berusaha mengalihkan topik. “Lantas bagaimana dengan cewek matre, mereka yang membidik laki-laki untuk materi, bukankah itu juga merugikan kaum kami?”

            Dia meletakkan garpu, tergugah topik yang baru saja kamu sodorkan. Kemudian dengan tenang berkata, “Simpel. Perempuan terobsesi menjadi cantik, sebab dunia kejam terhadap yang buruk rupa. Termasuk di antaranya lelaki, siapakah idola kalian jika bukan wanita cantik berutubuh aduhai? Nah, untuk mendapatkan cantik itu diperlukan uang buanyak. Kalian, para pria, menukar ketubuhan wanita dengan materi. Akui saja, pasangan cantik adalah kaki tangan ego untuk dibanggakan.” Dia menghela nafas lelah. “Maka terbentuklah lagi stigma, harga diri lelaki ada pada materi, sementara wanita pada penampilan. Katakanlah, pria membeli fisik, dan perempuan menjualnya untuk mendapat lebih.”

            “Loh tapi memang ada perempuan yang morotin laki-laki, setelah dapat malah ditinggal.” Tentangmu tak terima.

            “Tentu. Itu oknum. Tapi garis besarnya adalah tadi, disebabkan kebutuhan. Kalau bicara kasus per kasus, laki-laki pun sama, pergi dari komitmen setelah pasangannya ganti wujud.” Dia mengibaskan tangan. “Sudahlah, pria dan wanita itu selalu sama rendah atau sama tinggi, tergantung dari sudut mana kita melihat. Dan, hubungan pria-wanita adalah konstelasi domino yang kita tak tahu di mana pangkal dan muaranya. Wanita begini karena lelaki begitu.”

            “Eh makanku udah selesai. Pulang yuk.”

         Tiba-tiba dia berdiri, membayar untuk kemudian membaginya dua. Entah kamu harus bersyukur atau sedih atas egaliterismenya yang mendarah daging, membunuh maskulinitas dan menjadikanmu hanya sekadar kamu.
       Sebenarnya pula, kamu masih ingin diskusi, tapi sedang kekurangan amunisi dan jelas akan kalah dari bakat alamiah perempuan. Mereka berbicara 13 ribu kata lebih banyak dari pria tiap harinya. Jadi, lain kali saja.             
           
           

Kamis, 10 Oktober 2019

Keyakinan, Keadilan dan Kemanusian





Jika melihat sejarah, keadilan selalu datang dari orang yang menggugat, mereka yang berpikir lalu memberontak terhadap hegemoni. Tapi bolehkah kita, manusia, menggugat keyakinan?

            Berkeyakinan maupun tak berkeyakinan, merupakan hak asasi. Bahkan jika seseorang masih bertahan di dalam kekolotan, tak lantas menjadikan manusia lainnya berhak menjajah/memaksa untuk membenarkan satu pihak. Keyakinan, merupakan sesuatu yang begitu privat, melekat pada diri seseorang yang tak bisa diganggu gugat. Mengapa manusia terobsesi menjadikan sesamanya berada di bawah payung yang sama? Entah itu keyakinan beragama, berpolitik maupun berpendapat.

            Jika keyakinan merupakan hak asasi, maka ketidakmengertian kitalah yang menjadi akar dari pertentangan. Masyarakat, adalah ketidakmengertian kolektif yang kemudian menyulitkan. Memangnya omongan masyarakat masih pengaruh? Tentu saja! Para petinggi birokrasi yang galak-galak itu, memangnya bukan bagian masyarakat yang suka mencemooh? Dan untuk mendapatkan keadilan tersebut, hak individu yang mendasar itu, seseorang seperti harus mendebat suatu sistem.

            Tak ada yang salah dari anut-menganuti ideologi. Yang menjadikannya suatu noktah, adalah jika ideologi/keyakinan itu bertujuan menguasai manusia lain. Menginvasi sesuatu yang merupakan hak dasar, demi membenarkan ego suatu kelompok. Bermain perang dominasi, lalu melupakan kemanusiaan.

            Apakah masih penting kuantitas, bila kualitas manusia di dalamnya terabaikan? Apakah berkeyakinan secara membabi buta, bisa menuai keadilan secara merata, dan membahagiakan kita sebagai manusia?

            Tanyakan pada hati terdalam. Kalau jawabannya ya, coba koreksi seberapa banyak ego di sana.
           

Rabu, 02 Oktober 2019

Membaca Logika Anak-anak


(Review Buku Di Tanah Lada)



            Tahu apa hadiah yang sangat berguna bagi bocah cilik cerdas?

            Kamus. Setidaknya, tokoh Ava dalam novel Di Tanah Lada menggunakan itu sebagai Google pribadi. Almarhum kakeknya, kakek Kia, memberikan kamus untuk tempat Ava bertanya kata-kata yang tak dipahami. Rupanya itu merupakan bekal berharga, sehingga Ava tumbuh menjadi bocah yang lebih pintar dari anak usia 6 tahun umumnya. Terutama dalam bahasa Indonesia dan cara berbicara sesuai EYD.

            Novel ini menyabet juara dua dalam sayembara novel DKJ tahun 2014. Tak mengherankan, sebab, Ziggy begitu unik dalam menghidupkan karakter-karakter di novelnya. Mungkin memang itu syarat utama memenangi lomba novel DKJ, unik.

            Selain unik, keistimewaan novel ini adalah cara bercerita penulis. Polos, logis, kekanak-kanakan tapi pintar. Tanah Lada Penuh dengan penderitaan, namun karena diceritakan melalui sudut pandang anak yang jernih, rasanya tidak terlalu sengsara. Malah kejahatan yang terasa gamblang itu bisa menjadi lucu. Misalnya saja kalimat ini:

            ‘Kasihan sepeda sendirian di rumah. Tapi lebih kasihan aku. Aku sering ditinggal sendirian dengan Papa. Aku ingin jadi sepeda.’

            ‘Papa membuang semua mainanku kecuali boneka penguin. Katanya itu pemberian tante, kalau dibuang kepala papa akan dibelah jadi dua. Aku menyesal karena papa tidak membuang boneka penguin.’

            Polos, tajam, penuh perasaan. Membaca novel ini terasa bagai berinteraksi dengan anak kecil. Bahwa logika mereka yang masih meraba-raba, ternyata bisa pahit dirasa. Intinya, Ziggy Z demikian piawai memilih diksi yang mencerminkan anak-anak.

            Secara garis besar Di Tanah Lada mengandung unsur bawang alias mellow. Bahkan hingga ending pun, tidak ada kebahagian nyata yang dirasakan dua tokoh utama, selain interpretasi mereka. Padahal, novel ini menggambarkan bahwa kebahagian anak-anak begitu sederhana. Tak perlu banyak uang dan benda-benda profan. Asal ada seseorang bersikap baik dan manis pada mereka, maka bahagia terasa mudah.

            Banyaknya isu sosial dan humanisme di novel ini, menjadikan Di Tanah Lada cocok untuk kalian yang haus hiburan dan kontemplasi.
Rating: 5/5