UA-51566014-1 Catatan Harian: Renungan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Januari 2016

#1

Bagi saya, jika ada hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini, adalah meminta maaf dan memaafkan. Hal termudah pun hampir senada, meminta maaf dan memaafkan. Pembahasan mengenai kata maaf ini hampir sama mustahilnya seperti soal kalkulus untuk anak bahasa. Seolah bukan pada tempatnya, tak pernah tepat, dan mengapa tidak kita berbicara mengenai kisah cinta saja, yang ada abadi dalam dongeng-dongeng serta hampir semuram mitos.

            Mungkin, maaf selalu sulit ketika ia berkaitan dengan hati, gudang penyimpan rasa yang tak ada hubungannya dengan indera pengecap. Setiap hati selalu memiliki peraturan sendiri. Jika ia baik maka baiklah segala tentangnya, jika buruk maka penjara paling gelap akan kita temukan di sana. Hati dengan peraturan-peraturannya itu adalah prerogatif individu, tak tersentuh seolah ia ruang terjauh, tak terukur bagaikan samudra paling dalam. Dan suatu ketika, kata maaf hanyalah susunan huruf dan suara yang tak pernah sampai.

            Benar bahwa maaf tak pernah mengembalikan kerusakan apa pun. Tak pernah. Tak perlu kau beri contoh gelas pecah atau apalah, semua terlalu jelas untuk dibicarakan dalam ruang dan waktu yang tak bisa disetel mundur. Manusia adalah debu dalam roda yang berputar ke depan, sekali salah, ia takkan berakhir menjadi benar hanya karena persetujuan atas sebuah maaf. Tapi apakah manusia normal pernah berencana merusak hidupnya dengan rasa bersalah? “Ah, lima menit lagi aku mau meracuni makhluk sombong itu.” atau “Pengecut pantasnya dibuang ke laut sehabis mandi”, tidak kan?

            Lagi pula, kebencian adalah perasaan yang melelahkan. Ia lebih omong kosong dari janji-janji, harapan-harapan dan horizon ekspektasi. Ia perlahan memakan kebaikan, dan setelah dilumat oleh marah yang bertubi-tubi, kita akan menjadi asing pada diri sendiri. Diri kita yang baru tak pernah memberi ruang untuk kedamaian karena ia memasang terali berupa kesempurnaan. Sempurna untuk apa yang terlanjur dirusak, sempurna untuk perjanjian bahwa kompensasi atas kata maaf adalah keadaan seperti semula. Nonsense? Tentu saja! Lebih irasional lagi jika setelah perkara maaf selesai, kita harus bertingkah seolah tak ada apa-apa.

            Apa yang sedang coba saya sampaikan, tidak lain, adalah usaha untuk lepas dari perasaan benci yang sudah mengarat. Waktu untuk memberi syarat atas luka selalu bisa ditebus dengan hal-hal membahagiakan. Kita masih hidup, tinggal di bawah langit yang dua kali sehari berubah warna, maka segala sesuatunya mungkin. Ada bilangan kala tersisa untuk senyuman yang bisa diusahakan. Dibanding bersikukuh pada kebencian yang semakin omong kosong, dan berjelaga seperti mau memberi gelap pada dunia kita. Setiap orang memiliki hak meminta dan diberi maaf, jika tidak, dunia akan selalu merah oleh darah karena nyawa dibalas nyawa.

Saya cukup normal untuk menginginkan hati yang bersih, dan hati yang bersih tak layak menyimpan benci di dalamnya. Seperti kata Agus Noor, "Aku percaya: langit paling luas ialah hati tanpa kebencian."


Sabtu, 16 Februari 2013

Pilihan Adalah Tentang Cara Ikhlas Menyukai


Aku dan Sastra

            Yang kita sukai selalu menggambarkan bagaimana kita. Bagiku sederhana, aku menyukai sastra seperti pagi dan siang yang rela bertukar tempat dengan penuh keikhlasan. Aku mencari makna dalam sastra. Terkadang saat lelah menghampiri, sastra justru datang menawarkan makna yang terbungkus rapi dalam barisan kata. Membuat kehidupan puitis di tengah zaman yang selalu seperti ilmu pasti, jelas dan tergesa-gesa. Sastra dengan mudah terserat ke urat-urat mozaik yang di jalani setiap insan. Sederhana tapi lembut memberi nuansa estetika. Mesra seperti belaian angin di pagi hari yang semilir.

            Aku sebal ketika orang tuaku yang guru matematika itu mengatakan “Sastra adalah jurusannya orang ngelamun”. Meski tidak sepenuhnya salah, tapi ini jelas perkataan picik dengan pemikiran dangkal (maaf ayah:D). Kebanyakan orang memandang bahwa sastra tidak bisa menghidupi. Maka secara intuisi mereka akan melabuhkan cita pada kejelasan yang sebenarnya juga spekulasi terhadap masa depan. Lihat saja, jurusan ekonomi yang paling laris saja lulusannya banyak nganggur. Itu karena apa? Karena mereka berpikiran sama dan memproyeksikan kesamaan tersebut bukan pada aspek yang seharusnya bisa digali. Betapa banyak pemimpi, para pencari sejati, yang akhirnya hanya menjadi mahasiswa menderita lantaran terpetakan oleh keegoisan orang tua. Memangnya siapa yang menjalani? Bagiku sendiri, orang tua hanyalah semacam fasilitator yang seharusnya berada pada batas di mana mereka memberi dan mengerti kemauan anak. Tidak perlu hipokrit bahwa dulu mereka juga manusia yang terkorbankan kepentingan “menjadi”, lalu melapiaskan utopianya pada darah daging sendiri.

            Pernah suatu kali aku bermimpi menjadi dokter. Tampil istimewa dengan jas putih menawan yang mengimplikasikan ketebalan kantong. Sekali suntik duitnya bisa buat beli selusin boneka Barbie dan puluhan bungkus coklat lezat. Tapi impian asal itu tidak berlangsung lama, mungkin hanya berumur sampai aku kelas satu SMP. Di mana pencarian intelektualitas sesungguhnya di mulai. Tempat saat seseorang mencoba menemukan kebahagiaan pada tumpukan buku di perpustakaan. Dan kebahagiaanku terselip pada sajak-sajak puitis Chairil Anwar, kisah rumit yang dibangun STA[1] dan gemerlap dunia remaja gaya Dyan Nuranindya. Rasa suka yang tiba-tiba muncul pada untaian kata mulai kentara ketika menginjak SMA. Melahap semakin banyak novel yang sekarang kukenal menjadi dua macam, serius dan popular. Meski tetap mendapat tantangan saat meminta izin mengambil jurusan Sastra Indonesia. Aku dihujat orangtua habis-habisan, “Mau jadi apa kamu? Nulis aja nggak becus”.

            Manusiawi sekali jika semakin dikekang, seseorang kian garang menentang. Aku tidak ingin seperti 2 orang kakakku yang menjalani kuliah dengan orientasi kerja. Memasrahkan diri untuk berkutat pada hal yang sama sekali tidak kita sukai adalah kebodohan besar. Untuk apa sekolah jika berujung pada muara kemuakan hidup atas terbengkalainya harap. Nyawa kita satu, dan selama ia masih menyatu dengan tubuh, maka cita-cita harus ditegakkan demi kebahagiaan jiwa. Aku memilih sastra sebagai labuhan. Tak peduli tembok tebal yang gagah menghadang antara aku dan sukses masa depan. Toh bagiku memilih berarti sanggup menggendong sendiri beban yang hadir bersama pilihan.
           


[1] Sutan Takdir Alisjahbana

Kamis, 14 Februari 2013

Sekelumit Kisah



 Sosok Ibu Bagiku


            Dia adalah manusia yang selalu sangat cerewet mengenai pilihan, menyuruh ini itu, memaksa makan tepat waktu, juga melarang aku pergi sendiri hanya karena satu kata memuakkan: khawatir. Terkadang aku bosan menjadi anaknya, dicurigai tentang hal-hal yang bahkan tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran.

Sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara, aku tak pernah merasa istimewa di mata Ibu. Beliau sering berat sebelah pada satu-satunya anak lelaki dalam keluarga, Ya kakak keduaku. Alasannya nonsense, “Biar nggak direndahkan istrinya kelak. Lagian kasian, dulu kamu lahirnya terlalu cepat.” Ini jelas tidak masuk akal dan memporak-porandakan nilai keadilan orang tua pada anak.

Dalam keluarga, ibu adalah makhluk yang terlalu banyak melarang. Ibarat organisasi, dia sekretaris yang maha selektif menyaring surat masuk maupun keluar. Selalu rajin ngontrol dan mengomel-ngomeli kegiatan putra-putrinya.

Tapi. . .

Perspektifku banyak bergeser dewasa ini. Ketika tak bisa setiap hari melihat muka letihnya, kritik pedasnya, juga semua jenis larangannya. Pernah aku nyaris tiga bulan tidak bertemu (perpisahan paling lama) saking padatnya jadwal kuliah dan organisasi.. hari libur kemudian membawaku pada semacam syok yang hingga kini masih sulit dipercayai.

Hari itu ayah, ibu dan adik menjemput di stasiun. Begitu masuk mobil aku mendapati suasana mengecewakan: sunyi, sepi dari canda tawa. Hanya adikku yang sibuk menceritakan apa saja (dia memang punya keistimewaan ngobrol lama). Satu hal signifikan yang bisa dicatat dari ibu adalah tubuhnya kurus kering, tulang pipi semakin menonjol dan tak ada selera menyampaikan nasihat-nasihat yang dulu memberisikan telinga.

Sesekali kuamati hubungan ayah dan ibu tak lagi serenyah dulu. Diam lebih banyak menguasai saat mereka bersama. Apa yang terjadi sebenarnya?
Libur hanya sesingkat hitungan jari. Aku hanya butuh 4 angka untuk menyimbolkan betapa cepatnya hari aktif datang. Dan satu yang paling menjengkelkan, aku masih belum mampu menguak misteri di balik diamnya ibu.

Di rantau pikiran itu kembali menyiksa. Menyisakan ribuan tanya yang terjawab oleh derap langkah waktu. Ibu. . ibu. . ibu. Apa yang membuat kau berubah demikian cepat? Adakah ayah selingkuh. Tapi dia pria baik, dan aku yakin janda 5 anakpun takkan mau diperistrinya:D

Setelah lama menunggu, liburan datang dengan segepok perasaan was-was menanti keluarnya IPK (libur semester 2). Kebetulan waktu itu bulan ramadhan. Ternyata suasana di rumah tak berubah. Beku dan bisu. Lebih dingin dari bukit Bandungan pada pertengahan bulan November. Kepulanganku tak membawa perubahan apa-apa selain mengurangi beban psikologis adiku yang terserang kesepian akut.

Suatu ketika ibu mendekati. Yah. . .memang seharusnya begitu. Barangkali dia hendak mengantarkan kisah dari pertanyaanku yang selalu dijawab “Tidak apa-apa”.

Aku langsung menangis. Tanpa aba-aba, tanpa kata-kata. Ternyata kekeliruan besar telah terjadi di keluarga kecilku. Keluarga yang (tadinya) hangat dan penuh rasa bahagia. Kenapa orang sebaik dia bisa mengalami tekanan yang nyaris tanpa toleransi. Di kantor, di rumah, baginya adalah neraka yang terhampar tiap detik. Ayah juga berubah dengan apriori busuknya (seperti aku dulu). Hanya mushola dan sholat saja yang membuat ibu lupa bahwa hidup sudah menjadi si malakama.

Pernah dengan tegar dia berkata : sudah jangan nangis terus, mata sembabmu bisa membuat orang bertanya-tanya.

Naluri malaikatnya sebagai ibu selalu menutupi. Menganggap bahwa yang terjadi sudah tersurat jelas dari tangan Yang Maha Kuasa. Meski beliau juga pernah mewanti-wanti secara tegas, “yang melakukan hal bodoh itu BUKAN ANAK IBU!”

Tiap mengenang itu aku akan menangis tak peduli di mana. Semua orang akan mengecam ibu sebagai orangtua gagal yang telah menciptakan sungai dosa. Kesedihan tak bermuara ini telah menjadi oksigen yang harus kami hirup setiap hari. Bagai nila yang tak punya kasihan merusak susu sebelanga. Kehormatan, kejujuran dan kebahagian menguap bersama aib yang datang dan melekat sepanjang sisa usia. Tetapi beliau yakin bahwa musibah itu ujian baginya, anak adalah perantara saja.

Subhanallah. . .

Rasanya aku tak ingin hidup di dunia jika bukan lahir dari rahimnya.