UA-51566014-1 Catatan Harian: April 2020

Rabu, 15 April 2020

Piece of Mind: Suicidal



11 April 2020


            Jadi, saya follow salah satu language enthusiast di twitter, sejauh kemarin tweet beliau saya anggap berkualitas dan sarat informasi, kadang juga berupa motivasi. Tapi tadi sore saya terkejut karena tweetnya sangat heart stopping. He’s trying to hurt himself in way most people wouldn’t understand.

            Saya harap beliau selalu baik-baik saja, dan mudah-mudahan dengan adanya tweet itu siapapun nggak akan menyakiti dia lagi, tidak pula dirinya sendiri. Dan gara-gara itu, saya jadi berkesimpulan bahwa most people in twitterland respond better toward some issues than other social medias. Beberapa tahun lalu ada seorang yang commit suicide dan entah siapa menggunggah ke fb (itu tetangga desa btw tapi saya nggak kenal). Nah pas saya baca kolom komentar, rasanya mau nangis. Isinya hujatan, penghakiman, lelucon bahkan, padahal yang sedang mereka bicarakan adalah manusia, literally manusia yang sudah nggak bernyawa. Menurut saya respon kayak: kurang iman, mau mati kok bilang-bilang, gitu doang bunuh diri, komentar demikian bukan hanya dangkal tapi jahat.

            The thing is, same problem could happen to two people but the respond can be very different. Misalnya aja ketika orangtua meninggal, sekeluarga pasti responnya beda-beda. Si A bisa kehilangan motivasi hidup, si B justru termotivasi buat jadi tulang punggung keluarga, si C hancur banget sampe pengin nyusul. Perbedaan respon ini faktornya banyak, dan sensitivitas manusia kan beda-beda, perspektifnya atas suatu peristiwa juga beda (krn dipengaruhi pergaulan, konsumsi bacaan/seni/hobi). Coba dirasain, misal jadi B, bijak nggak ngomong ke si C bahwa B harus jadi tulang punggung (sementara dia tahu Si C ini masih bocal yang labil).

            Semakin tua, saya sadar bahwa manusia hampir selalu lebih rumit dari kelihatannya. Respon mereka terhadap orang, peristiwa dan situasi, berbeda-beda tergantung yang dihadapi. Manusia seperti menggunakan topeng dan kepribadian merupakan caranya memainkan peran. Orang lain yang hanya tahu sekelumit, tidak bisa menghakimi sebab pengetahuannya terhadap yang bersangkutan sekadar yang dibagikan saja. Karena itu, tidak bijak juga menjustifikasi tindakan suicidal, meskipun kenal pun kita tidak tahu sejauh mana pikiran mereka bekerja.

            Masih berkaitan dengan suicidal, ndelalah saya baru selesai baca buku yang satu topik. Judulnya All The Bright Places. Memang itu buku fiksi, tapi fiksi juga ditulis dengan riset, dan kita bisa mengambil pelajaran dari esensinya. Self-harm, dalam semesta behavioral manusia, sering dianggap sebagai upaya cari perhatian. Orang cenderung menganggap aneh dan caper manusia-manusia yang punya tendensi self-harm. Dan ya, memang benar, mereka mencari perhatian. Tetapi perhatian itu sungguhan perhatian, yang mengosongkan pikiran, yang melegakan sesak di dada, yang menampung kata-kata sebab ia mau didengar bukan dihakimi.

            Kebanyakan, kode suicidal ini hanya dianggap caper belaka, dan tidak dipedulikan kecuali sungguhan terjadi. People never care unless the person die.

            It will generally be found that, as soon as the terrors of life reach the point at which they outweigh the terrors of death, a man will put an end to his life (Arthur Scoepenhaur). Kematian itu menakutkan bagi yang hidup, beberapa orang masih berpikir demikian. Sampai pikiran-pikiran itu menguasai dirinya, seperti kegelapan yang mengambil alih lalu dia tidak melihat alasan apapun selain pergi menuju ketiadaan. Dalam kondisi demikian, orang yang bersangkutan merasa sendirian, dan tak punya pilihan lain meskipun sebenarnya ada. Dia hanya ingin menghilang.