UA-51566014-1 Catatan Harian: 2019

Minggu, 17 November 2019

Tentang Laut Bercerita





Matilah engkau mati…
Kau akan lahir berkali-kali

Saya sering menangis ketika baca buku, tapi Laut Bercerita, adalah buku yang benar-benar mematahkan hati. Terlalu banyak realita menyakitkan, yang seperti dongeng tapi merupakan kenyataan bagi manusia Indonesia semasa Orba. Betapa mengerikan bahwa manusia bisa berlaku sedemikian jahat pada sejenisnya.

Laut Bercerita adalah buku yang merangkum kisah pemuda bernama Laut, bergantian dengan sang adik, Asmara. Saya tidak akan membicarakan presentasi bukunya, melainkan bagaimana buku ini mempengaruhi perasaan saya. Sudah lama pula saya tak merasa demikian kosong selepas menamatkan sebuah buku. O Leila, why did you do this to me?

Meskipun lahir di masa Orba, tapi saya tidak dibesarkan zaman itu. Ketika ingatan saya masih tipis-tipis terbentuk, ada beberapa manusia yang justru sedang berusaha membangun Indonesia baru. Indonesia yang tidak dinikmati oleh mereka, melainkan kita: adik, anak dan cucu para pejuang reformasi.

When I was child, I used to think that college students are anarchist. Saya besar di keluarga yang mengagumi pemerintah, karena itu, tentu saya menganggap mereka yang berdemo tak lebih dari kang protes belaka. Mat keluh. Mereka memprotes, tapi tidak membawa Indonesia kemana-mana selain keadaan yang lebih parah. Kerusakan fasilitas, tersendatnya transportasi dan terror.

Seiring waktu, terutama setelah kuliah, pandangan saya memudar lalu berhenti. Justru, para mahasiswa kritis itu barangkali orang-orang paling menderita. Tahu kesengsaraan rakyat (termasuk pula bapak-ibunya), ingin protes tapi terikat kampus, terikat posisi mereka sebagai harapan dan beban keluarga. Ketika protes gagal dianggap pengacau, saat berhasil pun tak dapat melakukan apa-apa karena kuasa bukan di tangan mereka. It’s hard to be awake people.

Membaca Laut Bercerita, pembaca diberi kesempatan menjadi Biru Laut Wibisana, mahasiswa Sastra Inggris cum aktivis gerakan mahasiswa dalam menentang Orba. Dalam persona Laut (begitu dia dipanggil), pembaca disuguhkan pada terror yang ditimpakan pemerintah. Bahwa mahasiswa adalah daging segar yang sedang digodog agar masak, tetapi diganggu lalat beterbangan. Lalat dalam hal ini intel, begitu jelinya mengawasi bahkan aktivitas mubah semacam diskusi buku. Jika ditangkap, matilah engkau mati, kembali pun kau akan pulang dengan trauma. Aktivis yang tertangkap akan disiksa sampai mengakui jaringannya; disetrum, berbaring di balok es berjam-jam, disengat semut rangrang, digantung terbalik, apa-apa yang tidak manusiawi, jauh lebih hewani dari terpidana korupsi.

Mengalami jadi Laut, hati saya seakan nggak tertolong. Maksud saya, lihat hidup kita, mudah dan penuh harapan. Sementara di hidup Laut, berharap pun terasa neko-neko. Meski dia senatiasa menggumamkan jargon perjuangan, reformasi, bangsa dsb, Laut sendiri tak lepas dari perasaan bahwa dirinya muluk-muluk. Entah dia akan merasakan Indonesia baru atau tidak
.
Setelah menjadi Laut, pembaca akan dibawa ke sudut pandang Asmara. Adik Laut yang logis itu bahkan kesulitan bersikap rasional kala kehilangan sang kakak. Ia sepi ditinggalkan oleh Laut, benar-benar ditinggal tanpa kabar. Kehilangan itu membungkus keluarganya ke suatu kondisi aneh. Ibu dan bapak mereka tetaplah orang tua yang bersikap seolah Laut masih ada. Menolak kemungkinan bahwa Laut dibinasakan, sehingga mereka tetaplah keluarga dengan empat piring di meja makan, kunjungan ke kamar Laut, dan perbincangan seolah sosok itu sekadar pergi ke kota. Kehilangan yang tanpa kabar memang aneh, pasti sulit menganggap keluarga kita tiba-tiba berhenti eksis. Seperti kata sang penulis, Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan.

Mungkin deskripsi saya kurang sedih. Tapi kesedihan sesungguhnya adalah, saat pelaku kejahatan ham masih berkeliaran tanpa disentuh hukum, bahkan mungkin terlibat dalam oligarki negeri ini. Para orangtua, saudara, kawan, dan kekasih dari para aktivis hilang pun belum mendapat kejelasan hingga detik ini. Padahal setiap kamis mereka menuntut kepastian di depan istana negara, sudah 12 tahun.

Mereka yang hilang atau menghalami penghilangan paksa (desaparecidos), semoga tenang di manapun berada. Perjuangan kalian nggak sia-sia, kalian akan lahir berkali-kali. Dalam setiap tekanan, akan selalu ada pahlawan yang melesat menuntut kebebasan kaumnya. Laut Bercerita membawa sekeping hati kami untuk meletakkan penghormatan kepada kalian. Hostoria magistra vitae!


Jumat, 08 November 2019

Your Oddity

It's kinda surprising that you haven't kill yourself up to this point. You stand up straight as coral. A big lonely coral struck by waves, hurt from time to time. You're strong and fragile at the same time, waiting your time to fall.

What is heaven? You're barely know the difference between life and death. Both of it look the same.

You lose the ability to feel, not even bitterness. You are a coral struck by waves, everything just too much that you ceased to feel anything. You are a coral, as hard as stone as a heart could be.

What is the meaning of life? Is it even meaningful enough to be interpreted?

Rabu, 30 Oktober 2019

Percakapan #1



            “Sebenarnya yang lelaki inginkan adalah percintaan. Baik diwujudkan melalui persetubuhan atau sekadar berkasih-kasihan.” Kamu menyeruput kopi, melirik dia yang alisnya terangkat sebelah. Wajahnya meruapkan kesinisan. “Tapi perempuan menginginkan pernikahan beserta mahligainya. Kalian tak bisa berhubungan tanpa ekspektasi. Menurutmu siapa yang ribet di sini?”

            Dia mendengus, boro-boro menyeruput kopi, bersikap biasa saja pun tak bisa. Tema-tema semacam ini senantiasa mengubahnya jadi makhluk lain, seketika. “Kamu nggak tahu rasanya jadi perempuan. Setiap kali selalu ditanya kapan nikah seolah kami akan kadaluarsa.”

            “Ya salah masyarakat kan? Kita hidup di lingkungan yang memandang pernikahan sama wajibnya dengan bekerja di instansi.”

            “Tapi itu semua berangkat dari kebiasaan laki-laki yang menyukai daun muda. Dan…” Dia memelankan suara, sesaat tampak keraguan setengah sedih. “Dan memang perempuan punya jam biologis. Kami yang belum menikah di umur tiga puluhan sangat alert, berpotensi jadi perawan sampai mati.”

            Pada bagian ini kamu tak tahan untuk berseloroh. “Kalau begitu serahkan saja keperawanan itu padaku.” Langsung direspon pelototan marah yang sesungguhnya imut daripada menakutkan.

            “Mahal tauk! Lagi, masyarakat kita memandang nilai seorang perempuan terletak pada keperawanannya. Seolah itu suci, dan bila tidak, berarti kotor. Aneh sekali.”

            Kamu manggut-manggut, aneh memang. Di ceruk kepala kamu berpikir, di tempat yang menjunjung tinggi patriarki, menjadi laki-laki merupakan previlese. “Iya sih. Tapi menurutku anggapan begitu tak perlu didengarkan. Apapun yang orang bicarakan di belakang, kan bukan urusan kita. Dan soal jam biologis, kalau tahu, Rachel Weisz melahirkan di usia 48 tahun.”

            Decakan gemas terdengar. Benar dugaanmu, topik sensitif membuatnya terlalu aktif. “Wahai sobat open minded, kalau semua persoalan dikembalikan pada individu, kamu nggak akan nemu solusi untuk masyarakat. Menurutmu feminisme tumbuh dan berkembang karena individunya cuek terhadap stigma? Nggak. Mereka menyatukan suara untuk melakukan pembangkangan kolektif.”

            Frasa pembangkangan kolektif mau tak mau membuatmu tertawa. Tak ada yang tahu, betapa inginnya kamu menjeritkan pernyataan bahwa dia tak perlu melakukan pembangkangan apapun untuk diterima. Tapi, dengan selera apresiasinya yang menyedihkan, dia akan menuduhmu makhluk visual yang memuja penampilan. Fakta, orang cantik tak merasa dirinya cantik. “Lalu apa solusimu?”

            “Stigma yang sudah mengakar seperti itu perlu dilawan dengan penyadaran. Tapi, kesadaran hanya didapat oleh mereka yang menemukan jawab dari pertentangan-pertentangan dalam dirinya. Jadi belum ada solusi konkret. Mungkin, mungkin ya ini, harus dilakukan revolusi kesadaran bersama melalui berbagai media.”

            Termenung, secara tak sadar kamu memperhatikan dia mengiris kue. Entah mana di antara dua itu yang lebih manis. Bicara soal manis, kamu teringat bagaimana perempuan manis matrealis menjerat laki-laki borjuis. Mereka terang-terangan menginginkan materi, fisik adalah hal kesekian.

            “Oke. Perempuan memang cenderung direpoti paradigma masyarakat, itu satu hal.” Ujarmu berusaha mengalihkan topik. “Lantas bagaimana dengan cewek matre, mereka yang membidik laki-laki untuk materi, bukankah itu juga merugikan kaum kami?”

            Dia meletakkan garpu, tergugah topik yang baru saja kamu sodorkan. Kemudian dengan tenang berkata, “Simpel. Perempuan terobsesi menjadi cantik, sebab dunia kejam terhadap yang buruk rupa. Termasuk di antaranya lelaki, siapakah idola kalian jika bukan wanita cantik berutubuh aduhai? Nah, untuk mendapatkan cantik itu diperlukan uang buanyak. Kalian, para pria, menukar ketubuhan wanita dengan materi. Akui saja, pasangan cantik adalah kaki tangan ego untuk dibanggakan.” Dia menghela nafas lelah. “Maka terbentuklah lagi stigma, harga diri lelaki ada pada materi, sementara wanita pada penampilan. Katakanlah, pria membeli fisik, dan perempuan menjualnya untuk mendapat lebih.”

            “Loh tapi memang ada perempuan yang morotin laki-laki, setelah dapat malah ditinggal.” Tentangmu tak terima.

            “Tentu. Itu oknum. Tapi garis besarnya adalah tadi, disebabkan kebutuhan. Kalau bicara kasus per kasus, laki-laki pun sama, pergi dari komitmen setelah pasangannya ganti wujud.” Dia mengibaskan tangan. “Sudahlah, pria dan wanita itu selalu sama rendah atau sama tinggi, tergantung dari sudut mana kita melihat. Dan, hubungan pria-wanita adalah konstelasi domino yang kita tak tahu di mana pangkal dan muaranya. Wanita begini karena lelaki begitu.”

            “Eh makanku udah selesai. Pulang yuk.”

         Tiba-tiba dia berdiri, membayar untuk kemudian membaginya dua. Entah kamu harus bersyukur atau sedih atas egaliterismenya yang mendarah daging, membunuh maskulinitas dan menjadikanmu hanya sekadar kamu.
       Sebenarnya pula, kamu masih ingin diskusi, tapi sedang kekurangan amunisi dan jelas akan kalah dari bakat alamiah perempuan. Mereka berbicara 13 ribu kata lebih banyak dari pria tiap harinya. Jadi, lain kali saja.             
           
           

Kamis, 10 Oktober 2019

Keyakinan, Keadilan dan Kemanusian





Jika melihat sejarah, keadilan selalu datang dari orang yang menggugat, mereka yang berpikir lalu memberontak terhadap hegemoni. Tapi bolehkah kita, manusia, menggugat keyakinan?

            Berkeyakinan maupun tak berkeyakinan, merupakan hak asasi. Bahkan jika seseorang masih bertahan di dalam kekolotan, tak lantas menjadikan manusia lainnya berhak menjajah/memaksa untuk membenarkan satu pihak. Keyakinan, merupakan sesuatu yang begitu privat, melekat pada diri seseorang yang tak bisa diganggu gugat. Mengapa manusia terobsesi menjadikan sesamanya berada di bawah payung yang sama? Entah itu keyakinan beragama, berpolitik maupun berpendapat.

            Jika keyakinan merupakan hak asasi, maka ketidakmengertian kitalah yang menjadi akar dari pertentangan. Masyarakat, adalah ketidakmengertian kolektif yang kemudian menyulitkan. Memangnya omongan masyarakat masih pengaruh? Tentu saja! Para petinggi birokrasi yang galak-galak itu, memangnya bukan bagian masyarakat yang suka mencemooh? Dan untuk mendapatkan keadilan tersebut, hak individu yang mendasar itu, seseorang seperti harus mendebat suatu sistem.

            Tak ada yang salah dari anut-menganuti ideologi. Yang menjadikannya suatu noktah, adalah jika ideologi/keyakinan itu bertujuan menguasai manusia lain. Menginvasi sesuatu yang merupakan hak dasar, demi membenarkan ego suatu kelompok. Bermain perang dominasi, lalu melupakan kemanusiaan.

            Apakah masih penting kuantitas, bila kualitas manusia di dalamnya terabaikan? Apakah berkeyakinan secara membabi buta, bisa menuai keadilan secara merata, dan membahagiakan kita sebagai manusia?

            Tanyakan pada hati terdalam. Kalau jawabannya ya, coba koreksi seberapa banyak ego di sana.
           

Rabu, 02 Oktober 2019

Membaca Logika Anak-anak


(Review Buku Di Tanah Lada)



            Tahu apa hadiah yang sangat berguna bagi bocah cilik cerdas?

            Kamus. Setidaknya, tokoh Ava dalam novel Di Tanah Lada menggunakan itu sebagai Google pribadi. Almarhum kakeknya, kakek Kia, memberikan kamus untuk tempat Ava bertanya kata-kata yang tak dipahami. Rupanya itu merupakan bekal berharga, sehingga Ava tumbuh menjadi bocah yang lebih pintar dari anak usia 6 tahun umumnya. Terutama dalam bahasa Indonesia dan cara berbicara sesuai EYD.

            Novel ini menyabet juara dua dalam sayembara novel DKJ tahun 2014. Tak mengherankan, sebab, Ziggy begitu unik dalam menghidupkan karakter-karakter di novelnya. Mungkin memang itu syarat utama memenangi lomba novel DKJ, unik.

            Selain unik, keistimewaan novel ini adalah cara bercerita penulis. Polos, logis, kekanak-kanakan tapi pintar. Tanah Lada Penuh dengan penderitaan, namun karena diceritakan melalui sudut pandang anak yang jernih, rasanya tidak terlalu sengsara. Malah kejahatan yang terasa gamblang itu bisa menjadi lucu. Misalnya saja kalimat ini:

            ‘Kasihan sepeda sendirian di rumah. Tapi lebih kasihan aku. Aku sering ditinggal sendirian dengan Papa. Aku ingin jadi sepeda.’

            ‘Papa membuang semua mainanku kecuali boneka penguin. Katanya itu pemberian tante, kalau dibuang kepala papa akan dibelah jadi dua. Aku menyesal karena papa tidak membuang boneka penguin.’

            Polos, tajam, penuh perasaan. Membaca novel ini terasa bagai berinteraksi dengan anak kecil. Bahwa logika mereka yang masih meraba-raba, ternyata bisa pahit dirasa. Intinya, Ziggy Z demikian piawai memilih diksi yang mencerminkan anak-anak.

            Secara garis besar Di Tanah Lada mengandung unsur bawang alias mellow. Bahkan hingga ending pun, tidak ada kebahagian nyata yang dirasakan dua tokoh utama, selain interpretasi mereka. Padahal, novel ini menggambarkan bahwa kebahagian anak-anak begitu sederhana. Tak perlu banyak uang dan benda-benda profan. Asal ada seseorang bersikap baik dan manis pada mereka, maka bahagia terasa mudah.

            Banyaknya isu sosial dan humanisme di novel ini, menjadikan Di Tanah Lada cocok untuk kalian yang haus hiburan dan kontemplasi.
Rating: 5/5


Kamis, 22 Agustus 2019

Terjemahan

Boogeyman
By Rebecca McDowell



“Siapa di sana?”
Kau tahu siapa.
“Aku tak takut padamu.”
Oh, benarkah?
“Tidak. Ibuku bilang kau tidak nyata.”
Para ibu, mereka mengatakan banyak hal, kan?
“Ayahku juga mengatakannya.”
Oh, baiklah dalam hal itu. Ayah adalah soal lain.
“Kau mengejekku?”
Hanya sedikit.
“Kau tidak nyata. Aku tahu karena tak ada ruang untukmu di sana.”
Aye, yakin sekali? Kau tahu seberapa besar aku?
“Tidak, tapi tak ada ruang di lemari untuk siapapun.”
Mungkin aku tidak di sana, kan?
“Kau di mana?”
Kenapa itu penting? Aku tidak nyata, ingat? Kembalilah tidur. Tak ada hal buruk yang akan terjadi padamu.
“Kau bohong. Pergi.”
Aku tak bisa melakukan itu, maaf saja. Aku ke sini untukmu.
“Kau ingin memakanku?”
Demi saripati tanah, tidak. Kau mungkin kotor, kan?
“Lalu apa yang ingin kau lakukan padaku?”
Membawamu pergi, jauh, jauh, jauh. Jauh ke tempat di mana semua anak-anak hilang bermain.
“Tidak.”
Ada lagu-lagu dan permen dan anak-anak lain, sayangku. Tidakkah kau ingin melihat?
“TIDAK.”
Bisa dilakukan dengan cara mudah atau sulit; pilihanmu.
“Aku takkan pergi denganmu. Aku tidak takut padamu. Kalau kau cukup kecil untuk masuk ke lemariku, kau takkan bisa menarikku ke manapun.”
Aku muat di bidal atau memenuhi aula simfoni. Aku bisa pergi ke manapun. Aku bisa berlari di antara tetas hujan atau menenggelamkan kapal, bukan? Aku muat di lemari dan bisa menyeret bocah kecil arogan yang berteriak dari tempat tidur mereka.
“Kau bohong.”
Cobalah pergi ke lorong, kalau begitu.
“Kenapa kau ingin membawaku?”
Karena itulah yang kulakukan, dan selalu kulakukan.
“Kenapa aku?”
Aku mencari yang manis-manis, bocah kecil. Mencari yang manis, dan kau anak manis, bukan?
“Tidak, aku bukan! Aku… aku nakal. Aku sangat nakal.”
Sebagian anak, mereka nakal. Tapi yang paling nakal—aku membawanya juga.
“Oke, aku nakal tapi tidak terlalu nakal.”
Aku tahu.
“Ibuku datang, aku bisa mendengarnya. Aku tahu kau menghilang saat ada dia.”
Aku akan kembali, bocah, camkan itu.
“Aku tidak takut padamu!”
“Kau bicara pada siapa?”
“Ada sesuatu di lemari.”
“Untuk terakhir kali, Toby, tak ada apapun di lemarimu.”
“Ada! Dia bicara padaku! Aku mendengarnya! Dia bilang akan membawaku pergi—”
“Sayang. Dengar—”
“—karena aku manis.”
“—lihat? Closetnya kosong.”
“Aku tahu. Tapi—”
“Kamu mimpi, nak. Itu tidak nyata. Tidak ada apa-apa di sini. Oke?”
“Aku mendengarnya.”
“Tobias.”
“Baiklah, aku tak percaya.”
“Jangan pengecut.”
“Maaf.”
“Tidurlah. Kamu sembilan tahun. Kamu terlalu tua untuk omong kosong ini.”
“Maaf, bu.”
“Tidak… Ibu yang minta maaf, sayang. Ibu tak bermaksud membentakmu. Kau putra kecilku yang manis. Ibu janji, tak ada apapun di lemarimu kecuali baju-baju dan sepatu dan mungkin beberapa helai rambut anjing.”
“Oke.”
“Ibu sayang kamu.”
“Aku juga sayang ibu.”
Mungkin dia ingin aku mengambilmu.
“Dia tidak ingin.”
Dia sanggup bolak-balik ke neraka untukmu, dan lihat bagaimana caramu bicara padanya, selalu cemberut, hm?Mungkin kau memang benar-benar nakal.
“Sudah, tutup mulut.”
Sangat keji. Anak yang keji.
“Mungkin aku harus bangun. Aku hanya tinggal lari dari sini dan turun tangga.”
Pikirmu kau lebih cepat dariku, begitu?
“Kau tak bisa mendapatkanku kalau sampai ke pintu. Karena lampu menyala dan ayah ibuku ada di sana.”
Aku pernah mengambil bocah perempuan kecil yang bisa berlari lebih cepat dari siapapun. Tak seorang pun dapat menangkapnya. Dia sangat terkejut ketika aku meraih segera setelah kakinya turun.
“Kau berbohong lagi.”
Sangat pintar, bukan?
“Aku takkan pergi denganmu. Aku takkan pergi. Tinggalkan aku sendiri.”
Ayolah, sekarang, tak ada gunanya menangis. Kau dengar ibumu. Terlalu tua untuk omong kosong ini.
“Aku tidak menangis. Aku hanya… punya alergi. Aku takkan bangun dari tempat tidur, jadi mungkin sebaiknya kau pergi.”
Kedengarannya benar dan adil. Sampai ketemu besok.
“Itu bodoh. Kita tidak saling bertemu.”
Tapi aku menemuimu. Dadah, Toby!
.
.
“Halo?”
Halo.
“Kau kembali.”
Tentu saja. Lain malam, lain kesempatan.
“Kenapa kau tak pergi ganggu yang lain?”
Bukannya kau yang baru saja memanggilku di kegelapan, nak?
“Aku hanya ingin tahu apakah kau ada di sana.”
Dan aku di sini. Kau telah dipilih. Bukankah itu menyenangkan?
“Dipilih oleh siapa?”
Sidhe.
“She apa? Dia siapa?”
Kau bocah kecil, lucu, ya?
“Terserah. Bilang padanya untuk memilih yang lain.”
Punya ide?
“Aku tak tahu.”
Kedengarannya kau punya.
“Baiklah… tidak, aku tidak bisa. Aku takkan memberitahumu di mana anak-anak lain. Aku tidak akan membantumu.”
Jadi tak ada yang menggangumu di sekolah?
“Tidak.”
Kau cukup lama dalam menjawab.
“Dia duduk di belakangku.”
Oh?
“Dia mengatakan hal-hal kejam padaku, pelan sehingga Miss Danko tak mendengar.”
Apa yang dia katakan?
“Aku tak tahu. Macam-macam.”
Macam apa?
“Dia bilang ibuku seorang pelacur dan aku homo.”
Itu bukan hal yang baik untuk diucapkan, bukan?
“Dia bilang aku sundal dan harus mati dalam api.”
Itu juga bukan hal baik untuk diucapkan. Kau tahu apa artinya? Bukan hal memalukan jika tidak.
“Agak.”
Siapa namanya?
“Ben Brody.”
Sampai ketemu besok, Toby.
.
.
“Apakah kau di sana?”
Aku selalu di sini, kan? Sudah malam, betul?
“Ben tidak sekolah hari ini.”
Kurasa begitu.
“Kepala sekolah ke kelas kami untuk bicara tentang keamanan. Dia memberitahu bahwa Ben tidak di kasur ketika ayahnya datang untuk membangunkan.”
Itu masuk akal.
“Kau mengambilnya?”
Aye.
“Kenapa?”
Kadang, meskipun tidak terpilih, aku mengambil bocah kecil itu karena mereka nakal.
“Oh.”
Kau tiba-tiba sangat diam.
“Kau mengambilnya karenaku?”
Mungkin. Jika aku melakukannya, apakah kau akan bangun dari sana dan sukarela ikut denganku?
“Tidak.”
Sama saja.
“Apa yang akan terjadi padanya?”
Aku tidak yakin. Dia berada di tempatnya.
“Di mana?”
Tidak ke tempat kau akan pergi.
“Mereka tidak… dia takkan terluka, bukan?”
Begitu peduli pada anak yang kasar, pemarah dan tak berperasaan, ya?
“Ya.”
Aku tahu kau anak manis.
“Aku bukan anak manis. Aku takkan pergi denganmu.”
Mari kita lihat, oke? Besok malam, kalau begitu, Toby.
.
.
“Ben Brody belum masuk hari ini.”
Tentu saja. Dia belum kembali.
“Ayahnya masuk tv, menangis.”
Itu membuatmu sedih?
“Begitulah.”
Kukira begitu.
“Kupikir aku akan bahagia kalau dia menghilang, tapi aku merasa lebih buruk.”
Kau bocah baik.
“Aku tak ingin dia terluka. Aku hanya ingin dia berhenti mengejekku.”
Anak nakal menuai apa yang dia tanam, Toby.
“Apa yang kau lakukan pada anak-anak nakal?”
Aku membawa mereka ke suatu tempat, anak-anak baik ke tempat lain.
“Apa yang akan terjadi pada Ben?”
Aku tak tahu, sungguh. Dia bersama tuan rumah yang berbeda-beda, hari ini disayang dan diberi suguhan, besok dipukuli dengan tongkat emas.
“Oh.”
Aku tahu dia menangis. Oh, dia menangis, hampir setiap menit. Aku mendengarnya, semua melalui Tir na nOg, kan? Aku mendengarnya, menangis memanggil ayahnya seolah hatinya hancur.
“Oh.”
Dan sekarang kau menangis. Kenapa? Kenapa kau menangis untuk bocah yang jahat padamu?
“Aku… aku tidak.”
Jangan menangis untuk baby Ben. Dia takkan pernah menangisi apapun yang dia lakukan terhadapmu.
“Ini lebih buruk.”
Aku tak paham.
“Aku bilang… aku bilang ini lebih buruk. Dia hanya memanggilku dengan julukan. Ini lebih buruk… aku membuatnya menghilang.”
Sama saja. Sampai jumpa di lain purnama, Toby,
.
.
“Kau di sana? Apa kau tahu mama Ben meninggal tahun lalu?”
Ya, dia sudah meninggal.
“Mereka mengatakan itu di tv hari ini.”
Mm hmm.
“Ayahnya menangis lagi di tv. Dia bilang Ben adalah satu-satunya yang dia miliki.”
Aye. Dia seorang ayah yang menyayangi putranya, bukan? Dan sekarang dia tak memiliki siapapun, benar?
“Aku tidak menginginkan ini.”
Tapi kau melakukannya. Kau memberitahuku tentangnya. Memintaku mengambilnya, bukan?
“Aku… tidak, tidak, aku hanya…”
Dia telah pergi, nak. Dia telah pergi, ayahnya sendiri, dan kau aman di tempat tidur, seperti yang kau mau.
“Tolong bawa dia kembali.”
Membawanya kembali?
“Bawa Ben kembali. Tolong? Aku tak ingin siapapun terluka.”
Apa yang kau harapkan?
“Aku… bukan ini. Bukan ini yang kumau.”
Kau seperti ini lagi, menangisi bocah yang tak pernah baik padamu.
“Tolong? Tolong bawa dia kembali.”
Mungkin. Mungkin aku bisa.
“Sungguh?”
Kalau kau ikut denganku.
“Tidak!”
Tawar-menawar, ya? Ikut denganku, sendirian, dan aku akan mengembalikan iblis kecil mengerikan itu ke tempat tidurnya.
"Tidak."
Salahmu dia menghilang, kalau begitu?
“Tapi…”
Aku takkan membawamu ke tempat di mana aku membawanya. Aku akan membawamu ke suatu tempat di mana kau bisa bermain dan makan biskuit cokelat, ya? Toby?
“Bagaimana dengan ayah dan ibuku? Apakah aku bisa bertemu mereka lagi?”
Akan ada banyak ibu dan ayah baru di sana, sayangku. Dan ayah ibumu akan merindukanmu, tapi kau memiliki saudara perempuan, kan? Mereka masih punya bayi, betul?
“Kalau kau membawaku, aku tak bisa kembali?”
Kalau begitu, bagaimana dengan tawaran lain. Kau ikut denganku sekarang dan tinggal sebentar, tiga hari. Setelah itu, kalau kau masih ingin pulang, aku akan membawamu kembali.
“Benarkah?”
Iya. Toby, anak manis.
“Dan kau akan mengembalikan Ben seperti biasa, dan takkan pernah membawanya lagi?”
Aku janji, oke?
"Kalau begitu ... kalau begitu baiklah. Kalau aku bisa kembali setelah tiga hari, dan kau akan membawa Ben pulang selamanya, aku akan pergi."
Bagus sekali, Toby. Rentangkan tanganmu. Rentangkan, dan aku akan meraihmu.
.
.
“Boleh aku minta permen lagi, Lady mother?"
"Tentu boleh, cintaku yang manis, Toby-ku."
“Ini sudah berapa hari ya?”
“Sayangku yang tersayang, matahari telah terbit di Tir n Ng tiga kali. Mengapa kau bertanya?”
"Um ... aku tidak tahu. Maksudku, aku tak ingat. Kurasa ... bukankah aku harus melakukan sesuatu setelah tiga hari?"
"Tentu saja tidak, Sayang. Apa yang harus kau lakukan? Kau punya segalanya di sini."
"Aku hanya ... kupikir aku mengingat sesuatu tiga hari."
"Mungkin kau memimpikannya, sayang.”
"Sebenarnya, kupikir aku memang bermimpi."
"Apa mimpimu, sayang?"
"Aku bermimpi tentang sebuah kamar dengan tempat tidur dan meja serta lemari.”
“Oh?”
"Di luar jendela, matahari bergerak sangat cepat, berulang-ulang ... dan ada seorang wanita yang menangis dan menyebutkan namaku, rambutnya telah berubah jadi semakin abu-abu saat dia bangkit ... dan ... .Melihat tangisannya membuatku sedih ... aku ... bayi kecilnya. "
"Kamu memimpikan ibu lain? Betapa itu membuatku sedih. Kupikir kau adalah putraku."
“Oh—”
"Apakah aku bukan ibu terbaik, paling baik, paling dermawan dan pengasih yang pernah kamu miliki?"
“Aku… aku tidak.”
"Sebenarnya aku tak ingin bermain hari ini. Aku sangat kesal. Aku mungkin cuma merajuk."
"Maaf, Lady mother. Itu hanya mimpi. Aku yakin itu tidak berarti apa-apa."
“Sungguh?”
“Ya, sungguh, tolong jangan marah padaku.”
“Tentu tidak, sayangku. Tolong, jangan nangis.”
"Ya. Aku terlalu tua untuk omong kosong itu."
“Ya?”
"Aku ... aku tidak tahu. Aku tidak tahu dari mana itu. Kurasa ... kurasa itu ada di mimpiku."
"Aku mencintaimu, sayang."
"Aku juga mencintaimu, Lady mother."



Note: Merasa aneh?
Oke kujawab sendiri. Jadi ini cerpen yang seluruhnya berisi dialog, tanpa narasi dan deskripsi. Tapi karakternya bisa kuat kan? Setuju gak, penulis yang keren adalah mereka yang menciptakan gaya sendiri.
Btw, kayaknya, ini salah satu cerpen yang bakal kuingat seumur hidup. Sederhana tapi ngena.