UA-51566014-1 Catatan Harian: 2013

Jumat, 18 Oktober 2013

Teruntuk Malaikatku

Malaikatku,

Ya, aku tau sebenarnya kau malaikat. Kalau tidak, mengapa rela membiayai tanpa balas jasa. Kalau tidak, siapalah manusia ini dibanding semesta. Kalau tidak, mana mungkin aku menulis ini untukmu.

Cintaku, kau ada di urutan ke tiga bersama ayah. Yang wajib kusembah bila memang Tuhan berkenan membagi sesembahanNya. Sungguh tiada hak bagi hati ini untuk berkata ‘tidak’. Pada senyum yang selalu memberi tanpa pernah meminta. Hanya berharap lewat keriput yang aku tahu tak sesederhana kelihatannya.

Ibu, kau mungkin belum tau. Dalam setiap air mata yang kau susut dengan jarik kumalmu, adalah perih yang sama di pelupuk mataku. Ketidaksempurnaan yang kau tunjukkan lewat getar di tasbihmu, adalah rindu tak sampai yang aku juga punya. Inilah yang menyakitkan. Malaikatku tak pernah mampu mengatasi sifat manusiawinya. Dia tetap sakit, dia tetap terluka, dia tetap rapuh oleh pedang bernama kehilangan. Aku harus bagaimana? Terhadap beban yang tak mau dia bagi. Berduka dari tempat yang jauh ini, sementara di sana kau bernafas dengan atmosfer kesulitan. Bukankah mencintai berarti terluka bersama?

Ya Allah, aku sungguh takut. Semakin hari rasa takut ini kian gigantis dan hampir meledak. Waktuku, dia tidak tau sampai kapan memberi rentang pada kebahagian. Setitik saja, agar semua terlihat manis tanpa perlu menyesal. Karena aku sudah terlalu banyak menelan pahit kepergian tanpa berpartisipasi dalam senyumnya. Tidak ingin semua terjadi pada malaikat tunggalku kini. Metrum tertinggi, puisi dan pelitaku satu-satunya.

Tolong jangan ambil dia dulu.

Atau bila aku tak punya cukup waktu untuk membahagiakannya. Bahagiakan dia dengan cara terbaikMu.

Segala milikMu, hanya akan kembali padaMu. Bantu hamba Ya Rabb. Untuk melaksanakan kewajiban seluruh persendian ini terhadap perantara eksistensi. Agar bisa mencintainya dengan bakti sejak membuka mata hingga tertutup nanti. Menutup lukanya dengan prestasi dan senyum kebanggaan. Membayar segala kekurusannya dengan keringat. Serta mengembalikan seluruh kehampaan yang tengah direnggut pembatas kehidupan.

Ayah bilang, harapan adalah rahmat Tuhan bagi alam semesta. Jika tanpa harapan tidaklah sudi seorang ibu melahirkan anaknya. Kalimat itu, sejak awal dia sudah menegaskan bahwa aku lahir dengan segenggam harap. Ya Allah, di manapun dia sekarang, tolong sampaikan bahwa aku sedang berusaha memenuhi apa yang lahir bersama kelahiranku. Seperti doanya agar memiliki keturunan yang tidak memutus amal. Dengan segala kenangan, cinta dan puing-puing kebersamaan yang tersisa, semoga malaikatku bisa menyaksikan kesuksesan. Karena dialah sekolah pertamaku. Langkah awal menuju setapak kemegahan dunia. Allahhummaghfirlana Wali Wa Lidina Warhamhumma Kama Rabbayana Saghira.


Jumat, 27 September 2013

Simfoni Kehilangan Metrum Tertinggi

Aku merindukanmu.

Entah harus dianalogikan dengan apa. Semua telah mengalir dalam alunan hidup. Sunyi, sepi, hampa. Tiga kata yang tak terpisahkan dari kepergianmu.

Di bulan ini, tangis keluar lebih banyak daripada keringat. Padahal aku selalu tau waktu takkan mundur sejenak. Menelan duka menjadi racun yang kian pahit ketika diingat. Kecuali kenangan.

Pa, aku tidak mengerti ukuran ikhlas. Jika ikhlas adalah melupakan. Maka mustahil kata itu terjadi. Sementara tak satu haripun kau pergi dari genangan luka. Luka, karena kau takkan kembali untuk menghapusnya.

Dua puluh tahun adalah episode yang berat. Seperti klimaks sebuah cerita, saat kurusetra merah darah. Itupun masih kurang duka, toh mahabrata dirancang sedemikian rupa. Maut, air mata dan cinta, ada di dalamnya. Namun tak lebih dari sekedar epos.

Atau sebenarnya, eposkah hidup itu?

Manusia tak pernah minta dilahirkan. Tetapi ketika ia mulai mencintai hidup. Maut merampas seolah semua haknya. Lalu untuk apa kelahiran, jika ujungnya kematian?.

 Oh, mungkin untuk menjawab rahasiaNya.

Terlalu sederhana jika segenggam tanah dijadikan manusia, untuk kembali ke tanah lagi. Pasti ada misi di dalamnya. Misi yang tak pernah kita tau apa. Mungkinkah bapakku sudah memahami jawabnya. Sehingga bumi mempersilahkan dia kembali?

Aku merindukanmu.

Tapi rinduku ini hanya serupa: “panggilan tak terjawab” di layar ponsel. Sedang aku tak pernah tau bagaimana agar bapa menjawabku.

Aku merasa kehilangan pelindung nyata. Tempat bertanya dan mengadukan apa saja. Suatu hari nanti, ia takkan datang menjabat tangan seseorang yang akan menggantikannya. Tak ada ketika pertama kali aku memakai toga. Bahkan tak ada, untuk sekedar kucium tangannya.

Cinta yang pernah dia beri, cukupkah bagi kami untuk bertahan? Menjalani sisa waktu tanpanya. Tanpa seseorang yang menjadi simbol kekuatan keluarga. Ya, kami kehilangan kepala. Yang selalu memikirkan hari depan dengan logika.

(Tulisan ini hanyalah refleksi perasaan tak sampai. Ketika seseorang kehilangan salah satu metrum tertinggi dalam simfoninya. Saat yang ada kembali ke tiada.)




Sabtu, 14 September 2013

Kepingan


Waktu kecil, kami berempat pernah berandai-andai menghadiahkan mobil. Tinggal di sisi kanan dan kiri rumah. Membangun keluarga besar yang tak beranjak dari sekitar rumah masa kecil.
Waktu  kecil, dia suka sekali mendongeng. Tentu saja tak gratis. Semua harus berdasarkan seberapa besar alat bayar. Ada yang mengandalkan pencabutan uban, pijat atau mengambilkan minum. Dan dia menerima semua jenis pembayaran yang bergantung pada kemampuan.
Dia suka membantu kami mengerjakan PR. Seperti dia suka menambahkan matematika dalam PR kami. Dia juga guru bahasa inggris dan musik yang baik. Aku bisa membaca not balok sejak SD berkat dia. Aku suka puisi dan novel berkat dia. Orang itu, sangat peduli pada pendidikan kami. Membantu menemukan jati diri dalam sejumlah daftar mata pelajaran.
Kalau ada lomba lucu2an, dia pemenangnya. Kalau ada lomba galak2an, dia juga menang. Multi talent kan? Ya, begitulah dia.
Dia sombong. Selama dua puluh tahun menjadi anaknya, aku jarang sekali dipuji. Bagaikan anak adalah beban pemberat. Tapi tanpa dia aku tak akan pernah jatuh cinta pada sastra. Takkan pernah menjuarai lomba. Dan takkan sampai sejauh ini.
Aku tahu sebenarnya belum sampai ke mana-mana. Dia bilang juga begitu.
Belakangan ini, aku baru tahu bahwa ada yang merencanakan aku menjadi the next ‘dia’. Dan orang itu adalah dia sendiri.
Belakangan ini, aku juga tahu dari bibi, dia sering menyebut namaku dengan bangga. Sesuatu yang tak pernah ditunjukkan selama dua puluh tahun terakhir.
Selama ini dia pelit. Tapi ternyata sekadar perhitungan. Karena terlalu terbiasa dengan matematika.
Selama ini dia galak dan suka membodoh2i. Tapi ternyata justru caranya menyemangati.
Salama ini aku terlalu egois untuk menjadi apa yang kuinginkan. Tanpa mengindahkan sarannya.
Dan setelah waktu menutup semua kesempatan, aku baru sadar bahwa aku mencintainya. Mencintainya seperti udara. Sehingga saat kehilangan, dada ini sesak sekali. Takkan ada lagi manusia seperti dia dalam sisa hidupku. Singkatnya, kami takkan bertemu lagi. Sebesar apapun aku merindukannya, tak ada hari yang mau mempertemukan. Kecuali Tuhan berbaik hati memberiku mimpi. Dan mungkin di akhirat nanti.


Kamis, 12 September 2013

Mozaik Agustus

30 Agustus 2013:

aku masih aku yang cuek dan tidak peduli. Dengan bodoh aku terus berpikiran bahwa semua akan baik-baik saja, kembali seperti sedia kala. Meski dasar hatiku menjerit, “air mukanya sudah berubah, kosong, seolah menunggu sesuatu yang entah.”

Dia, orang yang belakangan kusadari bahwa aku sangat menyayanginya, sudah tidak pernah berinteraksi sejak seminggu terakhir. Aku menyesal karena terlalu banyak kebodohan yang mengitari otak, padahal itu hari-hari terakhir. Jika tahu, tidak pernah sedetikpun akan kutinggal, tidak seharipun aku menginap di rumah kakak, dan tidak sekalipun bilang tidak. Ingat betul ketika dia memanggil “Tang” (sapaan tunggalku di seluruh dunia, hanya ayah yang memanggil begitu), melambaikan tangan tanpa suara. Ah, tak bisa dihitung kebodohan yang terlewat.

Malam itu, entah kenapa seorang ‘bapa’ yang selalu sangat sulit dibujuk, tiba-tiba menyerahkan diri untuk dibawa ke rumah sakit. Sikapnya pasrah, tidak menolak bahkan begitu menyenangkan untuk ukuran orang konservatif. Semua terlihat sempurna, apalagi saat melihat ibu yang melihat itu sebagai kesempatan baik. Aku dan adikku yang kebetulan juga bodoh, kami bertiga setuju-setuju saja. Lalu berangkatlah beliau dengan mobil yang baru dibeli sehari sebelumnya. Bersama: ibu, mas bowo, pa Gatot dan pa Sokwan.

31 Agustus 2013:

Bisa dibilang Agustus adalah segalanya. Ramadhan, lebaran, HUT RI dan musim karnaval. Aku menikmati keempat hal itu tanpa tahu sedikitpun hal paling penting yang harus diperhatikan. Sayangnya aku sudah terlanjur menjanjikan waktu pada kakak untuk merawat si kecil Shaka. Tentu saja semua janji harus dipenuhi. Maka tanpa paksaan, Gita juga kutinggal seorang diri.

1 September 2013:

Pagi-pagi, aku pulang ke rumah dan nyaris marah besar karena penghuninya masih tidur. Bayangkan, hari terakhir di rumah, bapa sudah masuk ICCU, dan aku membuang waktu satu jam lebih untuk menunggu orang bangun. Mangkel tiada tara.

Sekitar pukul sepuluh kami (aku & adik) , sampai di RS Harapan Anda. Langsung menuju ruang ICCU, namun bapa sudah dipindah diruang cuci darah. Aku merasa sedikit aneh, kenapa harus ada kejadian cuci darah dalam waktu kurang dari 24 jam. Kenapa tidak ditunggu dulu bagaimana kemajuannya.
Begitu masuk ICCU, kami diusir, katanya bapa sedang di ruang lain. Kami bergegas menuju ruang itu. Ternyata ada mba ida, 2 budheku, tante dan om.

Bagaimana ya, segala sesuatunya sudah terlalu dramatis untuk diceritakan. Bapa, orang paling kuat, keras, galak dan tidak pernah kalah oleh sakit, kondisinya membuat mataku berair secara spontan. Pelupuk mata ini panas, bahkan untuk bernafaspun beliau harus menggunakan ventilator. Anak mana yang tetap biasa saja menyaksikan malaikatnya tidak berdaya. Bapa yang dengan kreatin 300, urium 500 masih bisa sadar, tiba-tiba terlihat lemah. Mba ida dan gita sudah menangis, bahkan budhe dan tante juga. Tapi aku tidak bisa. Kesulitan terbesarku adalah nangis di depan orang lain, kecuali yang hatiku merasa aman bahwa tangisan takkan mengubah persepsi apa-apa. Mataku hujan deras, tapi tak terisak. Hanya mengalihkan pandang ke mana saja barangkali mampet mendadak. Lagipula bagiku nangis memalukan karena aku tak pernah membahagiakan siapapun.

Di sana aku masih bisa menjaganya, mengelus pundak bapa. Berbisik apa saja untuk menghibur walaupun aku tahu itu bukan kalimat yang kuat. Tekanan darahnya 180, urium 300, dia masih berinteraksi meski tanpa suara. Matanya masih bicara.

Siangnya Bapa tidur tenang sekali. Sehabis sholat dzuhur aku juga ketiduran.

Menjelang sore, bapa makan lewat cairan semacam infus. Keadaannya mulai stabil. Dan karena sore adalah jam pembersihan ruangan di mana pasien harus ditinggal sendiri, aku dan ibu pergi untuk makan. Kemudian dilanjut sholat ashar.

Sebelum pulang aku pamit pada bapa. Tekanan darahnya naik 200. “why?” batinku. Begitu melihatku, bapa seperti kaget dan langsung memalingkan kepala agar lebih fokus. Yang kulakukan waktu itu hanya berusaha berbicara sebaik mungkin, mengelus pundaknya dan mencium. Di titik ini aku merasa tenang sudah berhasil mencium kening bapa. Mungkin semacam salim.

Sepanjang perjalanan pulang pikiran tertuju pada satu hal, bapa. Bagaimana bisa merantau  dengan tenang sementara belahan hati dirawat, di ruang ICCU pula. Sepanjang sisa hari walaupun mencoba terus bercanda dengan gita, suasana tak sesederhana tawa kami. Mba ida berusaha menenangkan dengan terus berkata, “bapa akan cepat sehat.” Firasat hatiku menolak, membayangkan September begitu berat, seperti akan kehilangan sesuatu yang besar. Malamnya aku tidak bisa tidur. Kamar berjendela besar memang phobia kecilku. Baru pukul setengah dua kantuk datang. Aneh, mataku berkedut kencang dalam durasi panjang. Lalu mendengar suara hembusan nafas berat entah dari mana. Aku merasa akan ada kejadian yang mencegah keberangkatan besok.

2 Semptember 2013

Setelah hanya tertidur dua jam. Pukul setengah lima gita menggendor pintu kamar dan memaksa mata terjaga. Kami ribut karena dia terus memaksaku mandi. Padahal dingin tidak mufakat. Lalu aku membuka hape, satu pesan berbunyi: “intan mbtn usah pangkat.” (pukul 02-sekian WIB) Aneh, bukankah kemarin sudah direstui untuk berangkat. Aku sih senang2 saja menunda dua puluh empat jam. Toh kuliah pertama adalah nama lain dari ‘jam kosong beruntun.’

Seperti biasa, seusai sholat aku ngaji. Baru dua lembar tiba-tiba adikku menjerit, “Bapaaa..” teriaknya panjang sambil tersedu-sedu

Sontak aku berlari menghampirinya. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tapi semua sejelas tangisnya. Sejelas bagaimana mulutnya Cuma sanggup membentuk satu leksem: BAPA. Tak ada sebab yang meloloskan segala kekuatan untuk berdiri, Lutut serasa ditarik lepas, Gravitasi pergi entah ke mana. Kehilangan besar telah terjadi.

Aku sebisa mungkin membereskan diri sendiri. Mandi, berpakaian rapi dan merapikan rumah. ibu masih di RS bersama bapa. Ah waktu itu aku tak tega menyebutnya jenasah.

Sementara bapa dalam perjalanan pulang, orang berduyun-duyun datang. Aku heran, ada saja yang terus menerus bertanya bapa sakit apa. disuruh menceritakan sejak awal masuk RS. Padahal bicara pun aku sudah merasa kesulitan. Untuk pertama kalinya aku tidak peduli jika harus nangis di depan siapa saja. Tapi tangisan terbesarku terjadi saat mensholati jenasah. Meski tanpa suara, pipiku seperti sungai yang diterjang bandang. Memang, aku selalu sukses menangis dalam diam, tanpa terisak, tanpa sedu sedan. Baru setelah selesai sholat kelopak mata bengkak bak disengat lebah, kepala pening luar biasa. Ini peristiwa yang sulit, jauh lebih sulit daripada tidak lolos SNMPTN.

Ibuku, ya ibuku satu-satunya yang tidak menangis waktu itu. Wajahnya bersih, seolah bapa hanya pergi ke warung sebelah. Disusul masku, yang kendati wajahnya merah, begitu teratur dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Tapi belakangan aku tahu kalau ibu sedih luar biasa. Dia hanya tak mau terlihat lebay, dia mencintai ayah seperti mencintai diri sendiri. Dan masku, saking sedihnya sampai lupa pakai sandal ketika memakamkan. Terbakarlah telapak kakinya di jalan beraspal.

Pukul 1 siang, bapa dimakamkan. Aku ikut. Diluar dugaan, ternyata aku kuat dan biasa saja. Tapi malamnya benar-benar tak terdeskripsikan. Sepanjang sisa tanggal 2 september, aku terus berpikir bapa sedang apa di sana. Ditindih tanah dan pasti gelap sekali. Setiap kepikiran nangis, papasan sama foto nangis, denger tahlil nangis lagi. Benar-benar hari tercengeng selama dua puluh tahun terakhir. Aku pikir ini momen yang saat kecil diadakan lomba nangis, aku akan mendapat turus terbanyak.

Ibu selalu bilang, “orang meninggal itu seperti nonton tv. Tau apa yang terjadi, tapi tak bisa berbuat apa-apa.” Jadi kesalahan, kebaikan, kesedihan akan berdampak pada perasaanya di sana. Pahalanya kini tergantung pada tiga hal. Ilmu yang bermanfaat, amal jariyah dan anak yang soleh. Untuk ilmu yang bermanfaat, bapa seorang guru, jadi Insya Allah terus mengalir. Amal jariyah, aku yakin beliau pernah melakukannya. Anak yang soleh, ini orientasi terbesarku sekarang. Aku percaya, jika kita sama-sama baik, Allah pasti ridho untuk mempertemukan dalam surgaNya. Tidak ada lagi sedih. Bapa sudah menyelesaikan masanya di dunia. Sudah menjadi ayah yang baik dan sangat menghibur.


Wahai makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu. [SHG]

Rabu, 04 September 2013

Untukmu yang (Tak Pernah) Pergi

Sudah selesai pa, tak perlu risau

Pundak kami telah cukup lebar

Memangku sendiri pemberatmu

Berjalan untuk kemudian sampai

Berkumpul lagi dalam suatu masa yang kita tak tahu kapan

Pada istana yakut, ketika kautsar tlah halal


Insya Allah

Jumat, 30 Agustus 2013

Fakta Tentang Penulis dan Tulisan


Di dalam tulisan yang sehat, tersimpan otak yang stress…

Seorang teman dari KPPI menuliskan itu dalam status Fb. Kalimat sederhana tersebut memang biasa, tetapi tidak sepenuhnya salah. Setidaknya aku sendiri merasakan kebenarannya. Sebuah tulisan tidak akan se-estetis seharusnya jika ditulis orang yang dalam keadaan baik-baik saja. Tidak ada yang terlihat bernyawa bila sebuah tulisan datar tanpa letupan emosi. Sebaliknya, emosi kuat muncul dari tangan orang yang merasakan pedihnya dicabik cobaan hidup.

Soe Hok Gie pernah berkata bahwa kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari tulisannya. Ini benar juga. Dalam tulisan, seseorang bisa sangat komunikatif menyampaikan apa saja. Berbeda dengan kehidupan nyata yang mana harus berhadapan dengan mata ketika bicara. Tidak semua tulisan indah dihasilkan oleh manusia energik yang pandai bergaul. Tetapi sebaliknya, orang pendiam malah terkadang lebih ekspresif saat mneulis. Status misalnya, teman kuliah saya ada yang sangat pendiam. Namun di dunia maya dia begitu aktif menyiarkan kehidupan pribadi. Disadari atau tidak, dunia maya memberi ruang untuk lebih eksis. Karena kehidupan nyata telah mensyaratkan kecakapan untuk sekadar dikenal. Maka orang yang tidak kebagian tempat di dunia nyata, memilih maya sebagai alternatif. Begitu seterusnya sampai yang bersangkutan sadar bahwa dunia maya hanya kosong belaka. Hingga dia melihat kepastian paling pasti tentang kemayaan yang orang-orang sebut sebagai OMONG KOSONG. Karena sampai kapanpun manusia adalah makhluk hidup yang berproses sesungguhnya di dunia nyata.

Menanggapi pernyataan Soe Hok Gie, kecakapan menulis bukanlah hal instan. Ada proses panjang yang dimotori factor I. Tentunya bukan Imut, Irrasional apalagi Innocent. Factor I di sini adalah intelektualitas. Factor ini menjadi sangat penting menilik bahwa tulisan merupakan bangunan informasi, pengetahuan bahasa dan kepiawan interaksi. Ketiga hal tersebut berkolaborasi membentuk tulisan yang bermakna dan hidup. Sedangkan jika kurang salah satunya saja, maka tulisan terasa cacat. Dari tulisan kita bisa membaca kecakapan seseorang dalam berbahasa. Kita bisa memperkirakan pengetahuan tentang yang dia tulis. Seberapa paham atau asalnya dia. Mungkin anda juga melihat saya sebagai orang amatir yang berusaha berbesar mulut lewat kata-kata.


Mengenai Intelektualitas sendiri, saya yakin tidak satu penulis besarpun yang alergi membaca. Kebanyakan mereka adalah orang yang merelakan mata minus demi mengecap manisnya sebuah tulisan. Karena ibarat gelas kosong diisi air terus menerus, seseorang yang selalu mencekoki otak dengan bacaan, pengetahuan mereka akan tumpah oleh hasrat agar tulisannya dibaca. So, mulai membacalah. Ingat, poin terpenting ketika menulis adalah menulis. Bukan berpikir!

Selasa, 20 Agustus 2013

Soeharto dari Sudut Pandang Orang Awam

Presiden ke dua Indonesia, ingat kan? Jendral ‘besar’ kita. Saya ingin membicarakan dari sudut pandang pribadi sebagai orang yang bukan apa-apa. Motivasi saya sederhana, yakni karena ayah dan ibu memujanya bagai dewa, bahkan ketika reformasi membeberkan dosa beliau. Tentu waktu itu saya masih kecil, anak 5 tahun tahu apa tentang politik. Saat itu yang terasa kuat hanyalah harga jajan melangit seperti roket NASA. Dan ayah ibu masih tanpa pertimbangan mengagumi Soeharto.

Mendekati SMA, paradigmaku berubah. Revolusi berdarah tahun 65 itu tak hanya angin lewat bagi sejarah Indonesia. Ada konspirasi, konsolidasi dan penyudutan yang hingga kini buram di mata media. Seperti kita tahu, media adalah refleksi pemahaman beberapa orang yang terkadang justru membutakan masyarakat luas. Saya memposisikan diri sebagai orang yang mempertanyakan, bukan membicarakan sesuatu karena memang paham betul. Tidakkah anda merasa, betapa janggalnya kudeta yang sekarang dikenal sebagai hari kesaktian pancasila. Sejak SD sampai SMA yang ditanamkan adalah nilai bahwa pancasila yang saking luhurnya tetap menang ketika diguncang pemberontakan. Lalu politik hidup di bagian mana sehingga menyisakan kontroversi tiada dua. Tidakkah guncangan atas pancasila hanya kedok dari pencuri gelap di dalamnya? Yang mencuri kekayaan ideologi serta memusnahkan dengan tajuk kebesaran pancasila.

Kalau memang PKI sejahanam perkataan media, kenapa tidak menyisakan segilintir orang sebagai saksi kunci untuk menjelaskan kepada dunia motif mereka? Kenapa militer seolah bernafsu dan sangat radikal membasmi PKI sampai ke pengikut-ngikutnya? Sampai pemerintah Orba merasa perlu mencantumkan golongan KTP berdasarkan bersih atau tidaknya darah kita atas PKI. Rapi sekali kegiatan pembasmian itu. Masyarakat digiring pada pemfokusan gerakan ekonomi, sementara roll sejarah digulung di belakang layar. Menyisakan tanda tanya besar yang sepertinya hanya terjawab Tuhan.

Dengan gagahnya mata seluruh Indonesia dibuat buta oleh suatu pihak yang entah siapa. Saat the real president terlalu sibuk dengan selir-selirnya, rencana kudeta yang ternyata telah disampaikan oleh Letkol Untung tetap dilaksanakan secara dramatis. Hanya saja pelakunya belum jelas siapa. Membuat seseorang merasa berhak bertindak yang sialnya lagi dikuatkan SUPERSEMAR. Setelah pembantaian para jendral usai, proses pembutaan kolektif dimulai.  Buktinya, tidak ada satu makhluk pun bertanya tentang pembunuhan massal di Bali yang mencapai 500 ribu-sejuta jiwa. Ada begitu banyak rahasia yang sayangnya teroganisir begitu rapi. Penembak misterius, penggusuran dan perebutan tanah oleh oknum berwenang yang kenyataannya sama sekali tak berwenang menghilangkan nyawa orang. Angka itu, yang bahkan ditemukan oleh mahasiswa S3 bernama Ben Anderson dari Universitas Cornell, sangat tidak manusiawi. Penangkapan para aktivis, pembredelan Koran kecuali hasil binaan ABRI, dan apapun berbau gugatan semua hilang dari peredaran. Hasilnya adalah KKN menjadi budaya kesekian Indonesia yang hingga kini sulit di tumpas. Otoritarian yang membungkam itu benar-benar membuat manusia normal sesak nafas. Kecuali yang dimanjakan keaadaan.

Kekerasan yang tersistem demikian baik itu melanggeng sampai 32 tahun lamanya. Menjelma semacam tumor yang kelihatan jinak namun mendesak. Indonesia jadi macan Asia yang mengaum lapar. Menyembunyikan pelanggaran HAM yang terus diaborsi sebelum berbuntut panjang. Sungguh masa kelam yang tidak sopan diungkit kembali karena pelakunya sudah kembali dari tiada ke tiada.
Namun, alangkah baiknya kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja bukan? Baiklah.

Pernah membaca Soeharto The Untold Story? Yang berkat ketebalannya para calon pembaca jadi underestimate terhadap diri sendiri. Di situ bapak pembangunan Indonesia dikisahkan berdasarkan fakta dari orang terdekat. Beliau yang konon katanya keturunan bangsawan namun dipinggirkan atas ketidakjelasan, memiliki wibawa yang tiada tara. Kewibawaan disertai keistimewaan moral itu sungguh mengantarkan Indonesia pada gerbang kemakmuran (sementara). Sebagai tentara yang terbiasa dengan rencana sistematis, Soeharto mengembalikan rasa percaya diri anak bangsa untuk bangga menjadi bangsanya. Kunjungan incognito selalu mengevaluaai tanpa basa-basi daerah terpencil sekalipun.

Melalui buku itu, saya jadi menerka, bahwa secara personal Soeharto berkepribadian kuat dan menarik. Ada saja sisi baik yang membuat orang tak lupa sosoknya. Dan siapa pun sepakat, bahwa Soeharto adalah presiden terbaik sepanjang masa (setidaknya sampai sekarang). Tidak ada yang sanggup membuat Indonesia dianggap sebagai ‘kakak tua’ bagi Negara-negara ASEAN. Menerjemahkan begitu banyak masalah kependudukan untuk direfleksikan bersama solusi. mungkin pada awalnya, Soeharto hanya orang yang ingin merubah sistem yang tidak tersistem di negeri ini. Hasilnya pun tidak mengecewakan (dari sisi ekonomi), di masanya orang bangga menjadi Indonesia. Repelita2nya yang hingga VII kali sukses besar. Kecuali Repelita terakhir yang belum sempat tuntas.


Terlepas dari segala kontroversinya, Saya pernah kagum terhadap beliau. Kagumnya siswa pada guru dan kagumnya pengikut pada yang diikuti. Begitu murni dan tanpa alasan. Sekarang juga masih, meski telah berkurang menjadi separuh lebih. Di mata saya, beliau adalah sosok yang hanya Tuhan dan dirinya sendiri saja tahu siapa. Sisanya, tanda tanya [?]

Minggu, 11 Agustus 2013

1434 H

Sudah cukup lama tidak menulis. Berhubung diary ketinggalan di kos, blog sepertinya lumayan membayar.

Lebaran, momen di mana orang-orang berkumpul, berbagi cerita dan saling memaafkan. Yah, seperti itu juga yang terjadi di keluargaku. Walaupun semu, toh terlewat juga.

Lebaran 1434 h ini banyak hal tak disangka yang tiba-tiba masuk begitu saja ke agenda. Tri misalnya, aku tak pernah menuliskan namanya dalam list orang yang ingin ditemui. Lalu dia datang pada tanggal 2 syawal, konyol2an bersama, dengan rese menjulukiku istri kedua dan membuat anak kos macam aku mentraktirnya. Satu hal yang boleh diinget, I’m pretty interest with his joke, and also that face which make everybody smile and little amazed.

3 syawal, kegiatan paling basa-basi yang tumben sekali terasa menarik. Acara matrilineal itu mengharuskanku datang tepat waktu sementara ngaretnya innalillahi. Berangkat pukul 09.00, acara dibuka jam 12.00. Benar-benar perkumpulan orang tak menghargai waktu. Untung banyak adik kecil yang tanpa sadar menghibur dengan keanehan mereka.

Namun, diantara seluruh kejadian unpredictable tadi, aku teramat shock ketika tiba-tiba ada yang menjemput untuk reuni SD. SD coba, diulang lagi biar dramatis ES-DE. Betapa kagetnya menghadapi orang-orang yang memiliki nyaris 40% umur pendidikanku. Entah harus disayangkan atau disyukuri, dua hiburan terbesarku absen. Mengurangi resiko anfal tiba-tiba, karena jantung berdegup terlalu kencang. Dan kesempatan itu melayang begitu saja.


Begitulah 1434 H yang sederhana. Ketidakjelasan yang dijelaskan dalam kesederhanaannya begitu memukau.

Minggu, 28 Juli 2013

Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab

Ganesha, Aku tidak tahu harus bagaimana. . .

Dia bilang dia mau pergi, tapi anehnya aku tidak rela!

Cinta, bukankah itu sebuah titipan???

Entropinya, aku samasekali tak sanggup melihat siapa yang dia maksud? Aku hanya merasa dia takkan menengok kembali. Seperti yang sudah-sudah.

Satu-satunya manusia yang mengajari tanpa dia sadar. Haruskah aku kehilangan guru yang dipilih sendiri oleh hati? Lalu pelajaran-pelajarannya akan jadi kenangan.

Ganesha, kau tahu kan? Dia berbeda dengan manusia yang sering kusebut ‘kamu’.

Atau jangan-jangan, aku memang dilahirkan untuk kehilangan?


Ah Sudahlah, mungkin dia hanya ingin dimiliki Dia.

Jumat, 26 Juli 2013

Eckhart Toile, Stillness Speaks

you lose touch with yourself
when you lose touch with yourself,
you lose yourself in the world
your innermost sense of self
of who you are,
is inseparable from stillness
this is the I am
That is deeper than name and form

Akhirnya

            Aku tahu bagaimana rasanya. Berada pada titik balik antara cinta dan benci. Hati yang cepat berubah sederhana sekali menangkap penyebabnya. Untuk apa yang lebih duka dari tak diberadakan. Menjalani eksistensi semu di hati seseorang. Kaulah luka yang menggores sepanjang nisbinya suka. Mengalun bagai sebersit cahaya hati yang entah apa namanya.

            Tiba-tiba pandangku terhadapmu biasa saja. Setelah tirai cinta kau sampir tanpa peduli. Di dinding kelabu antara ada dan tiada. Sekarang, pergi pun takkan ada panas yang merebak di pelupuk mata. Membuktikan bahwa rasa memang sesederhana kata. Gigantis dengungnya namun tak lebih dari gombal semata. Ya, kau hanyalah persona dalam arti sesungguhnya.

            Suatu ketika, cinta mengajariku bahwa yang sejati tak pernah rumit. Akan datang pada waktuNya, saat ingatan kembali pada rencana di atas rencana. Dia mengarahkanku ke muara, membelai luka yang hakikatnya pelajaran berharga. Menunjukkan sebagian aku yang ada dalam dirinya. Sepotong ‘aku’ yang tersembunyi dalam palung sepi. Diselipkannya doa untuk namanya yang tak pernah meminta. “Han, masih adakah tempat di hatimu yang nyata? Aku ingin ke sana.”

Filsafat. . .

Terimakasih telah membuka selaput tipis antara kami

Menyadarkan bahwa yang ada selalu berdiri di sana

Pada batas antara mencari dan tawakal pada mauNya

Han, tarik aku ke labirin mesramu dengan alam


Kau membuatku percaya, ‘Tabula Rasa’ itu benar adanya!

Kita. . .


Dari tempat biasa, kita bisa menemukan orang-orang luar biasa.

Masih ingat, berawal dari pembagian kelompok yang dikeluhkan. Menjalani hari berat saat beban satu mata kuliah terasa merusak KHS semester itu. Namun dengan adilnya, Tuhan menyelipkan rasa hangat persahabatan. Memberi sedikit kesadaran bahwa proses memang harus demikian adanya.

Terimakasih telah menjadi alarm dalam setiap kelalaian yang akan kuperbuat. Secara tidak langsung, kamu yang sederhana mengajarkanku tentang ‘harga waktu’. Untuk mengacaukan jam tidur siang dengan tugas-tugas sialan yang selalu kau pedulikan. Atas Time Line yang kau buat tanpa butuh perundingan. Namun sepenuhnya sadar, bahwa tanpamu aku cuma kepala tanpa rencana.

Sekali lagi kau memanusiakanku dengan mengingatkan. Malam ini, ketika perantara hadirku di dunia saja bahkan tidak. Rupanya perbedaan adalah keindahan tak kasat mata yang disembunyikanNya dari kecurigaan.

17 Ramadhan,

Apakah kau sedemikian bersahaja namun luar biasa karena menyimpan rahasia. Pada tubuh 24 jam yang merubah paradigma akan suatu interaksi biasa. Menjadi simbiosis mutualisme di bawah naunganNya.

Sahabat, kau memang manusia enerjik yang membangunkanku dari kursi malas. Mengingatkan tentang kehidupan dalam kematian yang mengkerdilkan pemahaman. Atas dasar itulah, aku menyayangimu karena Allah.


Minggu, 14 Juli 2013

Semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu,yang dibutuhkan cuma waktu. (Supernova: Partikel, 69)

Sabtu, 13 Juli 2013

Disorientasi Rasa

Mungkin ini semacam disorientasi
Ketika kau dicintai lamaa sekali
Lalu tiba-tiba cinta itu hanyut tak berbekas

Cuma semacam disorientasi
Saat yang dulu kusebut penggemar, tiba-tiba berubah status jadi sesama
Yang misteri, kenapa selalu tak tertebak dan lenyap?
Seolah antara kita hanyalah jarak
Tak pernah kulihat sebagai syarat “bahagia sederhana”
Membiarkannya pergi untuk tak pernah kembali
Lalu sekali muncul hanyalah manusia tanpa “dirinya sendiri”
Atas dasar apa pertalian mereka tak berterima?

Tidak, mungkin ini cuma semacam disorientasi

Kamis, 04 Juli 2013

Kamis setelah pusing KWU

Kalau Kau Mau, Sebut Saja Curhat!

Tuhan, bahagia itu sederhana kan?

Tetapi kenapa hamba merasa bahagia itu kerumitan nisbi dari sebuah kehidupan. Rasanya tidak ada kebahagian hakiki kecuali merebut dari sisi orang lain. Bagaimana aku dengan nyaman hidup di suatu tempat, mencari niskala dalam peluh kedua orang tua yang pontang-panting mencari hutang. Hingga hidup mereka hanyalah gali lobang-tutup lobang untuk menghidupi manusia-manusia yana entah kapan bisa diambil manfaatnya. Kenapa harus ada beban yang menggelayut di kedua pundak yang mungkin saja tak sekuat sangkaanMu? Adakah yang bisa kutopang barang sedikit untuk menguranginya. Aku tau mereka bertolak belakang yang entah bisa saling melengkapi atau tidak. Sehingga perbedaan hanyalah petaka untuk merasa berhak saling menyalahkan.

Bolehkah kecewa pada diri sendiri?

Ketika ketidakbergunaan ini semakin menyiksa, aku bisa apa? Apakah harus terus meminta dan membuat pinjaman itu menggunung hingga tak teratasi. Sedih rasanya menyaksikan mata yang meminta kita jadi nomor satu. Sementara di sini hanya ada kompetisi yang tidak pernah bisa dilewati kecuali kita merelakan diri untuk lebur di dalamnya. Rasanya hampir meledak saat tau bahwa tiap helaan nafas di tempat menyenangkan ini merupakan halaman yang mereka susut dengan keringat. Dan sama sekali tak cukup memenuhi ruang hari-hari mereka sendiri. Aku tau semua itu, bahkan saat mereka dengan sok kaya bilang “ah, tanggal itu sih bapak udah punya uang”. Bolehkah hamba mengakhiri semua ini agar tak usah ada kamuflase lagi. Karena setiap kamuflase adalah proses lupa yang justru membuat kita semakin ingat.

Kalau membunuh itu tidak dosa, aku sudah melakukannya. Bukan meghilangkan nila yang telah menyebabkan segalanya jadi tak bermakna, tetapi membunuh diri sendiri agar mengurangi sedkit saja beban yang meruang dalam detik-detik hidup kedua malaikatku. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap keluarga memiliki satu nama yang tak boleh disebut. Ya, manusia itu, aku saat menyukainya terlepas dari cara dia hadir di dunia. Tapi aku ingin menghilangkannya, atau setidaknya, membuat dia bukan lagi rahasia. Kenapa Tuhan, adakah orang yang sudah beri bekal pendidikan tinggi, motor, hape dll masih dengan tega menusukkan sembilu ke jantung hati keluarga. Ada! Dan orang itu harus dengan hormat kusebut sebagai KAKAK. Apakah ini bagian dari skenarioMu yang tengah mencapai klimaks? Kalau iya, cepatlah antarkan kami pada penyelesaian yang menghasilkan happy ending.

Di sisi lain, tidak ingin semua berakhir dengan mati.


Memangnya mati itu menyelesaikan masalah? Tidak! Itu seperti jargon sebuah instansi “mengatasi masalah dengan masalah”. Kenyataannya hidup yang hanya sekali ini harus berarti, bagaimanapun caranya. Walaupun aku anak tingah yang tidak mencuri perhatian, terlebih dengan keautisan atas diri sendiri, aku tak ingin kembali sebelum membahagiakan mereka. Setelah menyusahkan, perlu ada upaya pembahagian agar jadi seimbang. Aku milikMu dan hanya akan kembali padaMu. Tapi sebelum itu, ijinkanku mengukirkan senyum pada wajah-wajah yang jadi perantara eksistensiku di dunia.