UA-51566014-1 Catatan Harian: Juli 2013

Minggu, 28 Juli 2013

Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab

Ganesha, Aku tidak tahu harus bagaimana. . .

Dia bilang dia mau pergi, tapi anehnya aku tidak rela!

Cinta, bukankah itu sebuah titipan???

Entropinya, aku samasekali tak sanggup melihat siapa yang dia maksud? Aku hanya merasa dia takkan menengok kembali. Seperti yang sudah-sudah.

Satu-satunya manusia yang mengajari tanpa dia sadar. Haruskah aku kehilangan guru yang dipilih sendiri oleh hati? Lalu pelajaran-pelajarannya akan jadi kenangan.

Ganesha, kau tahu kan? Dia berbeda dengan manusia yang sering kusebut ‘kamu’.

Atau jangan-jangan, aku memang dilahirkan untuk kehilangan?


Ah Sudahlah, mungkin dia hanya ingin dimiliki Dia.

Jumat, 26 Juli 2013

Eckhart Toile, Stillness Speaks

you lose touch with yourself
when you lose touch with yourself,
you lose yourself in the world
your innermost sense of self
of who you are,
is inseparable from stillness
this is the I am
That is deeper than name and form

Akhirnya

            Aku tahu bagaimana rasanya. Berada pada titik balik antara cinta dan benci. Hati yang cepat berubah sederhana sekali menangkap penyebabnya. Untuk apa yang lebih duka dari tak diberadakan. Menjalani eksistensi semu di hati seseorang. Kaulah luka yang menggores sepanjang nisbinya suka. Mengalun bagai sebersit cahaya hati yang entah apa namanya.

            Tiba-tiba pandangku terhadapmu biasa saja. Setelah tirai cinta kau sampir tanpa peduli. Di dinding kelabu antara ada dan tiada. Sekarang, pergi pun takkan ada panas yang merebak di pelupuk mata. Membuktikan bahwa rasa memang sesederhana kata. Gigantis dengungnya namun tak lebih dari gombal semata. Ya, kau hanyalah persona dalam arti sesungguhnya.

            Suatu ketika, cinta mengajariku bahwa yang sejati tak pernah rumit. Akan datang pada waktuNya, saat ingatan kembali pada rencana di atas rencana. Dia mengarahkanku ke muara, membelai luka yang hakikatnya pelajaran berharga. Menunjukkan sebagian aku yang ada dalam dirinya. Sepotong ‘aku’ yang tersembunyi dalam palung sepi. Diselipkannya doa untuk namanya yang tak pernah meminta. “Han, masih adakah tempat di hatimu yang nyata? Aku ingin ke sana.”

Filsafat. . .

Terimakasih telah membuka selaput tipis antara kami

Menyadarkan bahwa yang ada selalu berdiri di sana

Pada batas antara mencari dan tawakal pada mauNya

Han, tarik aku ke labirin mesramu dengan alam


Kau membuatku percaya, ‘Tabula Rasa’ itu benar adanya!

Kita. . .


Dari tempat biasa, kita bisa menemukan orang-orang luar biasa.

Masih ingat, berawal dari pembagian kelompok yang dikeluhkan. Menjalani hari berat saat beban satu mata kuliah terasa merusak KHS semester itu. Namun dengan adilnya, Tuhan menyelipkan rasa hangat persahabatan. Memberi sedikit kesadaran bahwa proses memang harus demikian adanya.

Terimakasih telah menjadi alarm dalam setiap kelalaian yang akan kuperbuat. Secara tidak langsung, kamu yang sederhana mengajarkanku tentang ‘harga waktu’. Untuk mengacaukan jam tidur siang dengan tugas-tugas sialan yang selalu kau pedulikan. Atas Time Line yang kau buat tanpa butuh perundingan. Namun sepenuhnya sadar, bahwa tanpamu aku cuma kepala tanpa rencana.

Sekali lagi kau memanusiakanku dengan mengingatkan. Malam ini, ketika perantara hadirku di dunia saja bahkan tidak. Rupanya perbedaan adalah keindahan tak kasat mata yang disembunyikanNya dari kecurigaan.

17 Ramadhan,

Apakah kau sedemikian bersahaja namun luar biasa karena menyimpan rahasia. Pada tubuh 24 jam yang merubah paradigma akan suatu interaksi biasa. Menjadi simbiosis mutualisme di bawah naunganNya.

Sahabat, kau memang manusia enerjik yang membangunkanku dari kursi malas. Mengingatkan tentang kehidupan dalam kematian yang mengkerdilkan pemahaman. Atas dasar itulah, aku menyayangimu karena Allah.


Minggu, 14 Juli 2013

Semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu,yang dibutuhkan cuma waktu. (Supernova: Partikel, 69)

Sabtu, 13 Juli 2013

Disorientasi Rasa

Mungkin ini semacam disorientasi
Ketika kau dicintai lamaa sekali
Lalu tiba-tiba cinta itu hanyut tak berbekas

Cuma semacam disorientasi
Saat yang dulu kusebut penggemar, tiba-tiba berubah status jadi sesama
Yang misteri, kenapa selalu tak tertebak dan lenyap?
Seolah antara kita hanyalah jarak
Tak pernah kulihat sebagai syarat “bahagia sederhana”
Membiarkannya pergi untuk tak pernah kembali
Lalu sekali muncul hanyalah manusia tanpa “dirinya sendiri”
Atas dasar apa pertalian mereka tak berterima?

Tidak, mungkin ini cuma semacam disorientasi

Kamis, 04 Juli 2013

Kamis setelah pusing KWU

Kalau Kau Mau, Sebut Saja Curhat!

Tuhan, bahagia itu sederhana kan?

Tetapi kenapa hamba merasa bahagia itu kerumitan nisbi dari sebuah kehidupan. Rasanya tidak ada kebahagian hakiki kecuali merebut dari sisi orang lain. Bagaimana aku dengan nyaman hidup di suatu tempat, mencari niskala dalam peluh kedua orang tua yang pontang-panting mencari hutang. Hingga hidup mereka hanyalah gali lobang-tutup lobang untuk menghidupi manusia-manusia yana entah kapan bisa diambil manfaatnya. Kenapa harus ada beban yang menggelayut di kedua pundak yang mungkin saja tak sekuat sangkaanMu? Adakah yang bisa kutopang barang sedikit untuk menguranginya. Aku tau mereka bertolak belakang yang entah bisa saling melengkapi atau tidak. Sehingga perbedaan hanyalah petaka untuk merasa berhak saling menyalahkan.

Bolehkah kecewa pada diri sendiri?

Ketika ketidakbergunaan ini semakin menyiksa, aku bisa apa? Apakah harus terus meminta dan membuat pinjaman itu menggunung hingga tak teratasi. Sedih rasanya menyaksikan mata yang meminta kita jadi nomor satu. Sementara di sini hanya ada kompetisi yang tidak pernah bisa dilewati kecuali kita merelakan diri untuk lebur di dalamnya. Rasanya hampir meledak saat tau bahwa tiap helaan nafas di tempat menyenangkan ini merupakan halaman yang mereka susut dengan keringat. Dan sama sekali tak cukup memenuhi ruang hari-hari mereka sendiri. Aku tau semua itu, bahkan saat mereka dengan sok kaya bilang “ah, tanggal itu sih bapak udah punya uang”. Bolehkah hamba mengakhiri semua ini agar tak usah ada kamuflase lagi. Karena setiap kamuflase adalah proses lupa yang justru membuat kita semakin ingat.

Kalau membunuh itu tidak dosa, aku sudah melakukannya. Bukan meghilangkan nila yang telah menyebabkan segalanya jadi tak bermakna, tetapi membunuh diri sendiri agar mengurangi sedkit saja beban yang meruang dalam detik-detik hidup kedua malaikatku. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap keluarga memiliki satu nama yang tak boleh disebut. Ya, manusia itu, aku saat menyukainya terlepas dari cara dia hadir di dunia. Tapi aku ingin menghilangkannya, atau setidaknya, membuat dia bukan lagi rahasia. Kenapa Tuhan, adakah orang yang sudah beri bekal pendidikan tinggi, motor, hape dll masih dengan tega menusukkan sembilu ke jantung hati keluarga. Ada! Dan orang itu harus dengan hormat kusebut sebagai KAKAK. Apakah ini bagian dari skenarioMu yang tengah mencapai klimaks? Kalau iya, cepatlah antarkan kami pada penyelesaian yang menghasilkan happy ending.

Di sisi lain, tidak ingin semua berakhir dengan mati.


Memangnya mati itu menyelesaikan masalah? Tidak! Itu seperti jargon sebuah instansi “mengatasi masalah dengan masalah”. Kenyataannya hidup yang hanya sekali ini harus berarti, bagaimanapun caranya. Walaupun aku anak tingah yang tidak mencuri perhatian, terlebih dengan keautisan atas diri sendiri, aku tak ingin kembali sebelum membahagiakan mereka. Setelah menyusahkan, perlu ada upaya pembahagian agar jadi seimbang. Aku milikMu dan hanya akan kembali padaMu. Tapi sebelum itu, ijinkanku mengukirkan senyum pada wajah-wajah yang jadi perantara eksistensiku di dunia.