UA-51566014-1 Catatan Harian: Januari 2015

Selasa, 13 Januari 2015

Episode Skripsi


Perjalanan kuliah seperti bom waktu yang menunggu meledak pada titik ini. Sks, KKN, IPK, semua dikumpulkan demi memasuki sebuah ruang eksekusi bernama skripsi. Seolah-olah ini satu-satunya barometer untuk mengukur kompetensi mahasiswa.

Orang-orang di sekitar mendadak rajin. Seperti ada setan dari perpustakaan yang merasuki mereka. Membuat masing-masing kami terpaksa dan harus menuju perpus. Tempat paling representatif seantero FIB, juga paling berpotensi membikin pengunjung terantuk-antuk dalam kantuk. Di ruang yang seperti gudang buku itu, ada sudut terpencil yang biasa dihuni angkatan tua. Sudut yang hanya ada meja, kontak charger dan lemari-lemari berisi karya ilmiah mahasiswa. Tempat tersebut senantiasa disambangi oleh kepala-kepala yang aku yakin sebenarnya pikiran mereka tak serta merta berada di sana. Dahulu, saya menganggap sudut itu sebagai tempat pesakitan, dengan wajah-wajah merana macam terdakwa yang tak bisa lari dari sidang. Sekarang, saya sendiri mulai tahu rasanya.

Sebenarnya bayang-bayang itu sudah tampak dari lama. Sejak semester 3, saya dan teman-teman mulai dijejali penelitian, baik yang berupa tugas maupun lomba. Dari situ pula saya jadi tahu, penelitian juga bisa dijadikan salah satu jalur bagi mahasiswa untuk mencari uang. Lalu, puncaknya pada semester 5, teknik penulisan ilmiah menjadi pengantar bagi muara bernama skripsi.

Kata senior-senior, skripsi tidak semenakutkan yang kita duga. Saya juga sadar sih, terkadang pikiran para awam jauh lebih mengerikan dari faktanya. Dan memang, sejauh ini yang paling sulit adalah mengejar dosen. Karena kadang-kadang mereka lebih absurd dari angin, ada tapi tak nampak, bisa dirasa tapi sulit dikejar. Semoga itu saja, karena begitu pun sudah cukup memakan waktu. Terlebih skripsi adalah tugas tanpa deadline yang cuma bisa diatasi yang bersangkutan.

Yang meresahkan adalah, perlahan saya mulai sangat realistis. Mulai kehilangan sentuhan fiktif dan semakin jauh dari mimpi menjadi juru dongeng. Segala sesuatunya perlahan memiliki batas, kemungkinan-kemungkinan yang dulu manis berubah menjadi rasa skeptis. Kalau-kalau dunia fiksi akan meninggalkan saya dengan kenyataan yang menyergap.

Bahwa masuk sastra bukanlah jaminan untuk menjadi pendongeng yang berjaya. Dan ternyata lagi, sastra dalam lingkup akademik tetaplah persoalan yang menyita waktu. Bukan berarti saya takut pada skripsi, tetapi, keharusan untuk mengompensasi hobi itulah yang membuat para pengkhayal macam saya semakin jauh menuju jatuh. Jauh dari harapan, jauh dari waktu luang untuk membaca, dan mau tidak mau jauh dari teman-teman maya. Ini seperti masa transisi dari peri dongeng menjadi peri kayangan, atau pengkhayal menuju manusia profesional. Padahal, tanpa novel, tanpa sajak, tanpa dongeng, tanpa fiksi, hidup saya terasa hampa. Karena bagi saya, mereka sudah seperti udara, dan menjauh seperti ini tak pernah menghentikan saya untuk merindu mereka.

Tapi, saya akan mencoba baik-baik saja. Dan memang harus seperti itu. Karena skripsi juga karya bukan? Setelah pernah ada episode memaksakan diri dengan jurnalistik, mungkin ini bukanlah sesuatu yang buruk. Seperti kata dosen seminar, “kamu itu harus belajar mencintai objek. Biar mengerjakan segala sesuatunya dengan gembira dan penuh totalitas.”

Ya, harus berusaha. Dan lagi, saya sudah kangen menuliskan nama bapak dan ibu di prakata. 

Rabu, 07 Januari 2015

Manusia, Tuhan, Alam

Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya… hakikat… manusia…

Lirik lagu di atas seketika melintas di kepala ketika mendaki. Ya, sekarang saya sedikit paham kenapa orang yang sudah pernah naik gunung selalu ingin balik lagi. Ada begitu banyak katarsis dari setapak terjal, dingin yang menggigit dan kadang-kadang matahari yang hangat tapi bersahabat. Alam seperti ibu yang memeluk kaki kecil para pendaki, membiarkan mereka menapak untuk melihat betapa Tuhan itu arsitek yang tak pernah cela. Dan berada di kehijauan yang nyaris menyentuh langit, kau akan berujar pada diri sendiri. . . nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Sayangnya, belakangan ini banyak ditemui pendaki yang kurang dewasa. Membuang sampah anorganik sembarangan, lalu menunjukkan eksistensi lewat tulisan-tulisan di batu atau kalap melihat si cantik (bunga2 macam edelweiss, daisy ungu dll) kemudian memborongnya turun tanpa perhitungan. Itukah pecinta alam?

Sejak film tentang alam marak dan naik gunung menjadi ngetrend, mencintai alam membias pada banyak makna. Orang berbondong-bondong naik gunung, mencari spot indah dan memamerkan foto dengan tagline #penaklukan.. hohoho seolah gunung adalah tantangan yang harus dibikin k.o

Padahal, alam bukan gunung saja. Kita sama-sama tau, alam adalah segala yang di langit dan bumi. Baik itu laut, gua, danau, rawa apalagi gunung. Dan pecinta alam, apakah harus selalu berkutat di gunung saja, namun apatis terhadap limbah yang setiap musim menyumbat sungai dan menimbulkan banjir? Saya rasa, eh, kita rasa.. tidak kan?

Jika alam adalah segala yang di langit dan bumi, maka sebagai pecinta, seyogayanya kita tidak boleh pilih kasih bukan? Sesekali, kita perlu juga mendengar ombak yang konon merupakan suara paling merdu di dunia. Sesekali, kita harus belajar mengerti kenapa udara senantiasa memilih tempat tinggi dan banyak pohon. Kemudian berkali-kali, kita harus sadari, alam pun sama sebagai ciptaan Tuhan, memiliki siklus untuk sebuah harmoni. Maka jangan sedih apalagi marah ketika mereka berontak, kita saja belum sepenuhnya memahami limbah yang dibuang setiap hari itu menyakiti atau tidak.

Mencintai alam tidak harus muluk-muluk dengan naik gunung atau kesana – kemari mencari jawab pada rumput yang bergoyang. Kawan, seperti kata pepatah, jika kita tidak bisa membahagiakan orang yang kita cintai, maka setidaknya tidak usah menyakiti. Cukuplah mencintai dengan sederhana, semisal memejamkan mata lalu menghirup udara sejuk dan merasakan angin membelai kita dengan bahasa mereka. Di puncak, sibukkan diri dengan merasakan betapa kecilnya manusia dibanding semesta. Bahwa pemandangan adalah bonus dari nafas yang terpotong-potong saat mendaki, lutut yang gemetar saat menapak dan pundak yang lelah membawa beban. Sungguh alam dan segala estetikanya merupakan hadiah manis dari Tuhan. Mereka selalu berdiri di sana sebagai keindahan. Tanpa kita daki, tanpa diarungi atau disibak oleh pisau-pisau kecil yang jahat.

Cintailah sehebat yang kaubisa. Secara sehat, dengan diam dan merenungi apa yang pernah kita perbuat untuk mereka. Sementara mereka telah memberi tanpa pernah kita hitung. Mari sini, kita singkirkan segala kesombongan. Jika tak mampu berbuat lebih, cukup kantongi dulu setiap sampah yang kaucipta sampai ia menemukan tempatnya. Biarkan semua sampah berakhir di tong sampah. Di mana pun itu. Bahkan jalanan, taman serta ruang kelas juga termasuk bagian dari alam yang rindu dicintai.

Naik gunung, arung jeram, pesiar, bukanlah sejenis prestasi yang patut dibanggakan. Toh, cinta tidak dihitung dari frekuensi seseorang naik gunung atau seberapa sering orang mendayung. Cinta adalah bahasa hati yang tidak bisa diukur oleh kata-kata, ia bisa dirasai dan dimaknai jika sudah maujud dalam bentuk tindakan. Lagi pula seperti kata Soe Hok Gie, patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.

Bukankah sebaik-baik cinta adalah yang membawa kita pada kebaikan dan berbuat baik?

Dan di atas itu semua, mari berterimakasih kepada yang menciptakan segala sesuatunya dengan indah, dengan terarah.
Ambarawa, 6 Januari 2015

Dok: Inet



Selasa, 06 Januari 2015

Mantra Dari Negeri Dongeng

Dahulu kala, ketika alam semesta berbicara dalam satu bahasa, hidup peri kecil bernama Venus. Peri itu bermimpi selamanya bisa menulis dongeng, peris seperti tokoh dalam cerita yang pernah ia baca. Menurut Venus, dongeng adalah dunia serba mungkin. Membuatnya tidak takut menjadi siapapun, apapun. Dongeng memberi Venus kekuatan untuk terbang tanpa sayap, melukis cakrawalanya sendiri dan berlari menggapai keinginan paling mustahil sekalipun.

            Sebagai peri kecil, Venus memiliki kebiasaan yang jauh berbeda dari teman-temannya. Venus suka menjelajah dan terbang ke mana arah, termasuk ke negeri manusia di mana terdapat satu ruang penuh buku. Ruang yang di kepalanya terpetakan sebagai surga.

 Suatu ketika, Venus sedang menjelajahi ruang itu, tiba-tiba matanya tertumbuk pada satu buku misterius. Tepat di halaman 311, ia menemukan sebuah mantra yang berbunyi:

            Majulah terus hai juru-juru dongeng!
          Tangkaplah setiap sasaran tujuan hati. Dan jangan takut!
          Segala sesuatunya ada, segala sesuatunya benar
          Dan bumi hanyalah sebutir debu di bawah telapak kaki kita.

Venus begitu terpesona pada mantra itu. Seolah ada kekuatan magis yang meruap dari tiap aksara. Kemudian ia berjanji akan mengingatnya ketika lelah dan ingin berhenti melangkah.



Note: satu-satunya fakta dari tulisan di atas adalah  quote W.B. Yeats dalam novel Perahu Kertas. Saya suka sekali sama dua kalimat terakhir: Segala sesuatunya ada, segala sesuatunya benar. Dan bumi hanyalah sebutir debu di bawah telapak kaki kita.