UA-51566014-1 Catatan Harian: Agustus 2019

Kamis, 22 Agustus 2019

Terjemahan

Boogeyman
By Rebecca McDowell



“Siapa di sana?”
Kau tahu siapa.
“Aku tak takut padamu.”
Oh, benarkah?
“Tidak. Ibuku bilang kau tidak nyata.”
Para ibu, mereka mengatakan banyak hal, kan?
“Ayahku juga mengatakannya.”
Oh, baiklah dalam hal itu. Ayah adalah soal lain.
“Kau mengejekku?”
Hanya sedikit.
“Kau tidak nyata. Aku tahu karena tak ada ruang untukmu di sana.”
Aye, yakin sekali? Kau tahu seberapa besar aku?
“Tidak, tapi tak ada ruang di lemari untuk siapapun.”
Mungkin aku tidak di sana, kan?
“Kau di mana?”
Kenapa itu penting? Aku tidak nyata, ingat? Kembalilah tidur. Tak ada hal buruk yang akan terjadi padamu.
“Kau bohong. Pergi.”
Aku tak bisa melakukan itu, maaf saja. Aku ke sini untukmu.
“Kau ingin memakanku?”
Demi saripati tanah, tidak. Kau mungkin kotor, kan?
“Lalu apa yang ingin kau lakukan padaku?”
Membawamu pergi, jauh, jauh, jauh. Jauh ke tempat di mana semua anak-anak hilang bermain.
“Tidak.”
Ada lagu-lagu dan permen dan anak-anak lain, sayangku. Tidakkah kau ingin melihat?
“TIDAK.”
Bisa dilakukan dengan cara mudah atau sulit; pilihanmu.
“Aku takkan pergi denganmu. Aku tidak takut padamu. Kalau kau cukup kecil untuk masuk ke lemariku, kau takkan bisa menarikku ke manapun.”
Aku muat di bidal atau memenuhi aula simfoni. Aku bisa pergi ke manapun. Aku bisa berlari di antara tetas hujan atau menenggelamkan kapal, bukan? Aku muat di lemari dan bisa menyeret bocah kecil arogan yang berteriak dari tempat tidur mereka.
“Kau bohong.”
Cobalah pergi ke lorong, kalau begitu.
“Kenapa kau ingin membawaku?”
Karena itulah yang kulakukan, dan selalu kulakukan.
“Kenapa aku?”
Aku mencari yang manis-manis, bocah kecil. Mencari yang manis, dan kau anak manis, bukan?
“Tidak, aku bukan! Aku… aku nakal. Aku sangat nakal.”
Sebagian anak, mereka nakal. Tapi yang paling nakal—aku membawanya juga.
“Oke, aku nakal tapi tidak terlalu nakal.”
Aku tahu.
“Ibuku datang, aku bisa mendengarnya. Aku tahu kau menghilang saat ada dia.”
Aku akan kembali, bocah, camkan itu.
“Aku tidak takut padamu!”
“Kau bicara pada siapa?”
“Ada sesuatu di lemari.”
“Untuk terakhir kali, Toby, tak ada apapun di lemarimu.”
“Ada! Dia bicara padaku! Aku mendengarnya! Dia bilang akan membawaku pergi—”
“Sayang. Dengar—”
“—karena aku manis.”
“—lihat? Closetnya kosong.”
“Aku tahu. Tapi—”
“Kamu mimpi, nak. Itu tidak nyata. Tidak ada apa-apa di sini. Oke?”
“Aku mendengarnya.”
“Tobias.”
“Baiklah, aku tak percaya.”
“Jangan pengecut.”
“Maaf.”
“Tidurlah. Kamu sembilan tahun. Kamu terlalu tua untuk omong kosong ini.”
“Maaf, bu.”
“Tidak… Ibu yang minta maaf, sayang. Ibu tak bermaksud membentakmu. Kau putra kecilku yang manis. Ibu janji, tak ada apapun di lemarimu kecuali baju-baju dan sepatu dan mungkin beberapa helai rambut anjing.”
“Oke.”
“Ibu sayang kamu.”
“Aku juga sayang ibu.”
Mungkin dia ingin aku mengambilmu.
“Dia tidak ingin.”
Dia sanggup bolak-balik ke neraka untukmu, dan lihat bagaimana caramu bicara padanya, selalu cemberut, hm?Mungkin kau memang benar-benar nakal.
“Sudah, tutup mulut.”
Sangat keji. Anak yang keji.
“Mungkin aku harus bangun. Aku hanya tinggal lari dari sini dan turun tangga.”
Pikirmu kau lebih cepat dariku, begitu?
“Kau tak bisa mendapatkanku kalau sampai ke pintu. Karena lampu menyala dan ayah ibuku ada di sana.”
Aku pernah mengambil bocah perempuan kecil yang bisa berlari lebih cepat dari siapapun. Tak seorang pun dapat menangkapnya. Dia sangat terkejut ketika aku meraih segera setelah kakinya turun.
“Kau berbohong lagi.”
Sangat pintar, bukan?
“Aku takkan pergi denganmu. Aku takkan pergi. Tinggalkan aku sendiri.”
Ayolah, sekarang, tak ada gunanya menangis. Kau dengar ibumu. Terlalu tua untuk omong kosong ini.
“Aku tidak menangis. Aku hanya… punya alergi. Aku takkan bangun dari tempat tidur, jadi mungkin sebaiknya kau pergi.”
Kedengarannya benar dan adil. Sampai ketemu besok.
“Itu bodoh. Kita tidak saling bertemu.”
Tapi aku menemuimu. Dadah, Toby!
.
.
“Halo?”
Halo.
“Kau kembali.”
Tentu saja. Lain malam, lain kesempatan.
“Kenapa kau tak pergi ganggu yang lain?”
Bukannya kau yang baru saja memanggilku di kegelapan, nak?
“Aku hanya ingin tahu apakah kau ada di sana.”
Dan aku di sini. Kau telah dipilih. Bukankah itu menyenangkan?
“Dipilih oleh siapa?”
Sidhe.
“She apa? Dia siapa?”
Kau bocah kecil, lucu, ya?
“Terserah. Bilang padanya untuk memilih yang lain.”
Punya ide?
“Aku tak tahu.”
Kedengarannya kau punya.
“Baiklah… tidak, aku tidak bisa. Aku takkan memberitahumu di mana anak-anak lain. Aku tidak akan membantumu.”
Jadi tak ada yang menggangumu di sekolah?
“Tidak.”
Kau cukup lama dalam menjawab.
“Dia duduk di belakangku.”
Oh?
“Dia mengatakan hal-hal kejam padaku, pelan sehingga Miss Danko tak mendengar.”
Apa yang dia katakan?
“Aku tak tahu. Macam-macam.”
Macam apa?
“Dia bilang ibuku seorang pelacur dan aku homo.”
Itu bukan hal yang baik untuk diucapkan, bukan?
“Dia bilang aku sundal dan harus mati dalam api.”
Itu juga bukan hal baik untuk diucapkan. Kau tahu apa artinya? Bukan hal memalukan jika tidak.
“Agak.”
Siapa namanya?
“Ben Brody.”
Sampai ketemu besok, Toby.
.
.
“Apakah kau di sana?”
Aku selalu di sini, kan? Sudah malam, betul?
“Ben tidak sekolah hari ini.”
Kurasa begitu.
“Kepala sekolah ke kelas kami untuk bicara tentang keamanan. Dia memberitahu bahwa Ben tidak di kasur ketika ayahnya datang untuk membangunkan.”
Itu masuk akal.
“Kau mengambilnya?”
Aye.
“Kenapa?”
Kadang, meskipun tidak terpilih, aku mengambil bocah kecil itu karena mereka nakal.
“Oh.”
Kau tiba-tiba sangat diam.
“Kau mengambilnya karenaku?”
Mungkin. Jika aku melakukannya, apakah kau akan bangun dari sana dan sukarela ikut denganku?
“Tidak.”
Sama saja.
“Apa yang akan terjadi padanya?”
Aku tidak yakin. Dia berada di tempatnya.
“Di mana?”
Tidak ke tempat kau akan pergi.
“Mereka tidak… dia takkan terluka, bukan?”
Begitu peduli pada anak yang kasar, pemarah dan tak berperasaan, ya?
“Ya.”
Aku tahu kau anak manis.
“Aku bukan anak manis. Aku takkan pergi denganmu.”
Mari kita lihat, oke? Besok malam, kalau begitu, Toby.
.
.
“Ben Brody belum masuk hari ini.”
Tentu saja. Dia belum kembali.
“Ayahnya masuk tv, menangis.”
Itu membuatmu sedih?
“Begitulah.”
Kukira begitu.
“Kupikir aku akan bahagia kalau dia menghilang, tapi aku merasa lebih buruk.”
Kau bocah baik.
“Aku tak ingin dia terluka. Aku hanya ingin dia berhenti mengejekku.”
Anak nakal menuai apa yang dia tanam, Toby.
“Apa yang kau lakukan pada anak-anak nakal?”
Aku membawa mereka ke suatu tempat, anak-anak baik ke tempat lain.
“Apa yang akan terjadi pada Ben?”
Aku tak tahu, sungguh. Dia bersama tuan rumah yang berbeda-beda, hari ini disayang dan diberi suguhan, besok dipukuli dengan tongkat emas.
“Oh.”
Aku tahu dia menangis. Oh, dia menangis, hampir setiap menit. Aku mendengarnya, semua melalui Tir na nOg, kan? Aku mendengarnya, menangis memanggil ayahnya seolah hatinya hancur.
“Oh.”
Dan sekarang kau menangis. Kenapa? Kenapa kau menangis untuk bocah yang jahat padamu?
“Aku… aku tidak.”
Jangan menangis untuk baby Ben. Dia takkan pernah menangisi apapun yang dia lakukan terhadapmu.
“Ini lebih buruk.”
Aku tak paham.
“Aku bilang… aku bilang ini lebih buruk. Dia hanya memanggilku dengan julukan. Ini lebih buruk… aku membuatnya menghilang.”
Sama saja. Sampai jumpa di lain purnama, Toby,
.
.
“Kau di sana? Apa kau tahu mama Ben meninggal tahun lalu?”
Ya, dia sudah meninggal.
“Mereka mengatakan itu di tv hari ini.”
Mm hmm.
“Ayahnya menangis lagi di tv. Dia bilang Ben adalah satu-satunya yang dia miliki.”
Aye. Dia seorang ayah yang menyayangi putranya, bukan? Dan sekarang dia tak memiliki siapapun, benar?
“Aku tidak menginginkan ini.”
Tapi kau melakukannya. Kau memberitahuku tentangnya. Memintaku mengambilnya, bukan?
“Aku… tidak, tidak, aku hanya…”
Dia telah pergi, nak. Dia telah pergi, ayahnya sendiri, dan kau aman di tempat tidur, seperti yang kau mau.
“Tolong bawa dia kembali.”
Membawanya kembali?
“Bawa Ben kembali. Tolong? Aku tak ingin siapapun terluka.”
Apa yang kau harapkan?
“Aku… bukan ini. Bukan ini yang kumau.”
Kau seperti ini lagi, menangisi bocah yang tak pernah baik padamu.
“Tolong? Tolong bawa dia kembali.”
Mungkin. Mungkin aku bisa.
“Sungguh?”
Kalau kau ikut denganku.
“Tidak!”
Tawar-menawar, ya? Ikut denganku, sendirian, dan aku akan mengembalikan iblis kecil mengerikan itu ke tempat tidurnya.
"Tidak."
Salahmu dia menghilang, kalau begitu?
“Tapi…”
Aku takkan membawamu ke tempat di mana aku membawanya. Aku akan membawamu ke suatu tempat di mana kau bisa bermain dan makan biskuit cokelat, ya? Toby?
“Bagaimana dengan ayah dan ibuku? Apakah aku bisa bertemu mereka lagi?”
Akan ada banyak ibu dan ayah baru di sana, sayangku. Dan ayah ibumu akan merindukanmu, tapi kau memiliki saudara perempuan, kan? Mereka masih punya bayi, betul?
“Kalau kau membawaku, aku tak bisa kembali?”
Kalau begitu, bagaimana dengan tawaran lain. Kau ikut denganku sekarang dan tinggal sebentar, tiga hari. Setelah itu, kalau kau masih ingin pulang, aku akan membawamu kembali.
“Benarkah?”
Iya. Toby, anak manis.
“Dan kau akan mengembalikan Ben seperti biasa, dan takkan pernah membawanya lagi?”
Aku janji, oke?
"Kalau begitu ... kalau begitu baiklah. Kalau aku bisa kembali setelah tiga hari, dan kau akan membawa Ben pulang selamanya, aku akan pergi."
Bagus sekali, Toby. Rentangkan tanganmu. Rentangkan, dan aku akan meraihmu.
.
.
“Boleh aku minta permen lagi, Lady mother?"
"Tentu boleh, cintaku yang manis, Toby-ku."
“Ini sudah berapa hari ya?”
“Sayangku yang tersayang, matahari telah terbit di Tir n Ng tiga kali. Mengapa kau bertanya?”
"Um ... aku tidak tahu. Maksudku, aku tak ingat. Kurasa ... bukankah aku harus melakukan sesuatu setelah tiga hari?"
"Tentu saja tidak, Sayang. Apa yang harus kau lakukan? Kau punya segalanya di sini."
"Aku hanya ... kupikir aku mengingat sesuatu tiga hari."
"Mungkin kau memimpikannya, sayang.”
"Sebenarnya, kupikir aku memang bermimpi."
"Apa mimpimu, sayang?"
"Aku bermimpi tentang sebuah kamar dengan tempat tidur dan meja serta lemari.”
“Oh?”
"Di luar jendela, matahari bergerak sangat cepat, berulang-ulang ... dan ada seorang wanita yang menangis dan menyebutkan namaku, rambutnya telah berubah jadi semakin abu-abu saat dia bangkit ... dan ... .Melihat tangisannya membuatku sedih ... aku ... bayi kecilnya. "
"Kamu memimpikan ibu lain? Betapa itu membuatku sedih. Kupikir kau adalah putraku."
“Oh—”
"Apakah aku bukan ibu terbaik, paling baik, paling dermawan dan pengasih yang pernah kamu miliki?"
“Aku… aku tidak.”
"Sebenarnya aku tak ingin bermain hari ini. Aku sangat kesal. Aku mungkin cuma merajuk."
"Maaf, Lady mother. Itu hanya mimpi. Aku yakin itu tidak berarti apa-apa."
“Sungguh?”
“Ya, sungguh, tolong jangan marah padaku.”
“Tentu tidak, sayangku. Tolong, jangan nangis.”
"Ya. Aku terlalu tua untuk omong kosong itu."
“Ya?”
"Aku ... aku tidak tahu. Aku tidak tahu dari mana itu. Kurasa ... kurasa itu ada di mimpiku."
"Aku mencintaimu, sayang."
"Aku juga mencintaimu, Lady mother."



Note: Merasa aneh?
Oke kujawab sendiri. Jadi ini cerpen yang seluruhnya berisi dialog, tanpa narasi dan deskripsi. Tapi karakternya bisa kuat kan? Setuju gak, penulis yang keren adalah mereka yang menciptakan gaya sendiri.
Btw, kayaknya, ini salah satu cerpen yang bakal kuingat seumur hidup. Sederhana tapi ngena.





Minggu, 18 Agustus 2019

Terjemahan



Pria Tanpa Wanita

(Haruki Murakami)
.
.
.

            Panggilan itu muncul selepas pukul satu dini hari dan membangunkanku. Telepon-telepon yang berdering di tengah malam selalu terdengar kasar dan memekakkan, seperti beberapa alat logam biadab yang digunakan untuk menghancurkan dunia. Rasanya sudah menjadi tugasku, sebagai bagian dari umat manusia, untuk menghentikan itu, jadilah aku bangkit dari kasur, berjingkat ke ruang tamu, dan menerima panggilan.

            Suara rendah pria menginformasikanku bahwa seorang wanita telah menghilang dari muka bumi selamanya. Suara tersebut milik suami si wanita. Setidaknya itulah yang dia katakan. Dan dia melanjutkan. Istriku bunuh diri rabu lalu, katanya. Bagaimanapun juga, kupikir aku harus memberitahumu. Bagaimanapun juga. Sejauh yang bisa kubaca, tak ada setetes pun emosi dalam suaranya. Seolah-olah dia membaca barisan yang ditujukan untuk telegram, yang hampir tak berspasi antara satu kata ke lainnya.

            Apa responku? Pasti ada sesuatu yang kuucapkan, tapi aku tak bisa mengingat. Pokoknya, ada jeda hening panjang. Seperti lubang dalam di tengah jalan yang kami berdua menatap ke sana dari sisi berlawanan. Lalu, tanpa sepatah kata, seakan meletakkan karya seni rapuh di lantai, pria itu menutup telepon. Aku berdiri di sana, dalam balutan kaos putih dan bokser biru, mencengkeram telepon dengan percuma.

            Bagaimana dia bisa tahu aku? Entahlah. Apakah si wanita menyebutkan namaku pada suaminya, sebagai pacar lama? Tapi mengapa? Dan bagaimana dia tahu nomer teleponku  (yang mana tidak terdaftar)? Terutamanya, kenapa aku? Kenapa suaminya mendatangi masalah dengan meneleponku untuk memberi tahu sang istri telah meninggal? Aku tak bisa membayangkan si wanita meninggalkan permintaan seperti itu dalam catatan perpisahan. Kami telah putus bertahun-tahun lalu dan tak pernah bertemu satu sama lain sejak—bahkan tidak sekali pun. Kami bahkan tak pernah bicara di telepon.

            Itu tidak penting. Masalah yang lebih besar adalah dia tidak menerangkan apapun padaku. Dia pikir dia harus memberitahuku istrinya telah bunuh diri. Dan entah bagaimana dia mendapatkan nomer teleponku. Lebih dari itu, sih—tidak ada. Tampaknya dia berniat meninggalkanku terjebak di tengah, terkatung di antara pemahaman dan pengabaian. Tapi kenapa? Agar aku berpikir tentang sesuatu?

            Misalnya apa?

Aku tak mengerti. Sejumlah tanda tanya cuma melipat ganda, layaknya bocah mengecap stempel memenuhi seluruh halaman di sebuah buku catatan.

            Jadi aku masih belum tahu kenapa ia bunuh diri, atau bagaimana ia melakukannya. Bahkan jika aku ingin menyelidiki, tiada jalan untuk itu. Aku tak tahu di mana ia tinggal, dan terus terang aku bahkan tidak tahu dia telah menikah. Sehingga tak tahu nama nikahnya (dan pria di telepon tak menyebutkan namanya). Berapa lama mereka telah menikah? Apakah mereka memiliki anak—atau anak-anak?

           Tetap, kuterima apa yang suaminya beritahukan. Aku tak merasa perlu meragukannya. Setelah meninggalkanku, dia melanjutkan hidup di dunia ini, kemungkinan jatuh cinta pada orang lain, menikahinya, dan rabu lalu—untuk alasan apapun dan maksud apapun—dia mengakhiri hidup. Bagaimanapun. Jelas ada sesuatu dalam suara pria itu yang secara mendalam menghubungkannya dengan dunia orang mati. Dalam keheningan larut malam, bisa kudengar koneksi itu, dan menangkap sebuah kilatan dari pertautan tersebut. Jadi meneleponku demikian, setelah pukul satu pagi—entah sengaja atau tidak—sudah merupakan keputusan tepat. Jika dia menelepon pada pukul satu siang, aku takkan pernah mendeteksi ini. Pada waktu kuletakkan telepon dan kembali ke kasur, istriku telah bangun.

            “Telepon apa tadi? Apakah seseorang meninggal?” tanya istriku.

            “Tak ada yang meninggal. Tadi salah sambung.” Jawabku, suaraku pelan dan ngantuk.


        Istriku, tentu saja, tak percaya, karena suaraku sendiri diwarnai hawa kematian juga. Jenis perasaan gelisah yang dibawa almarhum sangat menular. Bergerak melalui telepon seperti getaran lemah, mentransformasikan bunyi kata-kata, membawa dunia selaras dengan getarannya. Namun istriku tak mengatakan apapun. Kami berbaring di kegelapan, mendengar kesunyian dengan seksama, tenggelam dalam pikiran masing-masing.


TBC Bosque!