UA-51566014-1 Catatan Harian: Februari 2020

Rabu, 26 Februari 2020

Bias Gender dalam Kasus Perselingkuhan


Masih ingat video perempuan dilempari uang dan dimaki-maki sebagai pelakor? Iya, yang pakai bahasa jawa itu? Kalau tidak ingat atau belum lahir waktu itu, ya nggak apa-apa sih. Yang akan saya bahas di sini adalah bagaimana stigma perselingkuhan di masyarakat.

            Semua manusia (termasuk kita) punya potensi berselingkuh dari pasangan. Kalau di cerita romance wattpad mungkin selingkuh dilakukan oleh badboy yang dasarnya playboy. Tapi, di realita, selingkuh adalah penyakit yang bisa menjangkit siapa saja. Termasuk pria baik-baik, orang yang memiliki pasangan cantik/ganteng, mereka yang keluarganya tampak baik-baik saja.

            Selama ini jika ada yang selingkuh maka akan langsung menyorot ke dua pihak, yaitu pasangan sah (istri) dan pihak ketiga (pelakor). Misalnya dengan mempertanyakan tingkat kebecusan istri sehingga suami sampai berselingkuh. Atau dengan menghujat pelakor sebagai pihak paling berdosa. Video menghujani pelakor dengan uang yang sempat viral (dan komentarnya), membuktikan bahwa masyarakat gemar sekali mengkambing-hitamkan satu pihak. Parahnya, saking kalap memaki-maki, jadi lupa pada aktor utama dalam drama perselingkuhan itu sendiri: si suami.

            Berikut stigma yang masih melekat di masyarakat kita dalam melihat kasus perselingkuhan:

·         Mewajari Laki-laki Selingkuh

Actually, this is so sick. Saya membaca sebuah artikel di Kompasiana judulnya ‘Mengapa Pria Baik-baik Bisa Selingkuh Juga?’ Oke, pada awal artikel diberi pengantar bahwa artikel tidak ditulis untuk menuduh istri tidak melayani suami dengan baik. Tapi sepanjang artikel, yang ditulis adalah justifikasi mengenai ego dan keinginan pria yang perlu di-boost. Misalnya seperti pria butuh seks bergairah, ingin dipuji di depan umum, istri perlu menjaga penampilan. Tidak ada satu point pun yang merujuk pada kekurangan pria atau ketidakpahamannya akan komitmen sehingga selingkuh.

Oke setidaknya dari artikel tersebut saya jadi mengerti bahwa laki-laki ingin ini ingin itu banyak sekali. Poinnya adalah, selingkuh dianggap sebagai hal wajar karena pria baik-baik pun tetap manusia biasa. The hell! Seolah-olah perempuan yang harus melakukan segala usaha agar pernikahan tetap berjalan, dan laki-laki adalah makhluk yang egonya mesti dijaga. Tanya kenapa???

Di masyarakat, alih-alih mengoreksi ketidakpahaman akan konsep berkomitmen bagi pria, malah lebih suka mengurusi pelakor dan ketidakbecusan istri. Apalagi dengan istilah puber ke dua yang mewajari jika pria jadi lenjeh seperti bocah. Padahal di dunia medis tidak ada istilah puber kedua. Puber hanya terjadi satu kali, yaitu usia 9 – 14 tahun (perempuan) dan 12 – 16 tahun (laki-laki). Dan istilah puber kedua itu entah dari mana dijadikan tameng atas keganjenan pria.

·         Self-Gratification & Intimacy

Menurut Mark Manson (penulis buku best seller The Subtle Art of Not Giving A Fuck), dalam diri manusia terdapat dua kebutuhan mendasar, yakni kebutuhan akan natural desire/kepuasan pribadi (makanan enak, good sex, tidur, games), dan kebutuhan akan intimacy (merasa dicintai dan keinginan berbagi kehidupan). Kedua hal ini harus seimbang dalam sebuah hubungan. Sayangnya, kita tidak bisa mendapat intimacy tanpa mengkompromikan self-gratification, dan sebaliknya. Yang terjadi dalam perselingkuhan adalah salah seorang terlalu mencari kepuasan pribadi dalam hubungan, dan kalau tidak dapat, mencari kepuasan pada selain pasangan. Sedangkan dalam berkomitmen, untuk mendapatkan intimacy seseorang perlu menekan self-gratification, misal kalau merasa tidak dihargai ya tanya dan dengarkan alasan pasangan mengapa mereka melakukan itu.

Pada point ini, jelas bahwa selingkuh merupakan akibat dari komunikasi yang tidak baik, bukan mengakibatkan komunikasi jadi tidak baik. Kalau ada yang kurang dari pasangan ya dikomunikasikan dong, itulah fungsi mulut. Sekaligus, justifikasi bahwa perempuan kurang melayani atau pihak ketiga terlalu menggoda, adalah bentuk ketidakpahaman kita akan konsep komitmen itu sendiri. Karena yang paling perlu dikoreksi adalah perselingkuhannya, apa yang perlu dibenahi dari pelaku dan memperbaiki trigger-nya.

·         Kambing Hitam Bernama Pelakor

Wuh, perempuan semangat dong bahas ini, tercium bau-bau antusiasme haha. Mari buka lagi memori perempuan dihujani uang. Adakah dari kalian yang justru risih melihat itu? Kalau ada, mari kita bergandengan tangan.

Memang wajar bila istri sah marah, tapi tidak lantas berhak melakukan public shaming dengan memvideo dan memviralkan, biar apa?

Lihatlah dengan mata terbuka bahwa yang paling tepat “dijak gelut” adalah pasangan sendiri. People don’t belong to people, jadi pria selingkuh ya karena mereka memutuskan berhianat pada komitmen. Laki-laki kan bukan benda mati yang bisa direbut. Mereka  homo sapiens alias binatang yang berpikir, dan pikiran itu seharusnya digunakan mengontrol perilaku, bukan asal jadi dimana pun dengan siapapun.

Sayangnya lagi, hujatan terhadap pelakor ini sebagian besar datang dari perempuan juga. Sejujurnya, dengan melabrak dan mengatakan bahwa suami direbut, perempuan telah melakukan objektifikasi terhadap laki-laki, yaitu memperlakukan manusia layaknya barang. Your husband is not your property. Tapi dengan mengajak bicara, kita menghormati mereka sebagai subjek dalam hubungan, dan menghormati diri sendiri karena berhasil menahan hasrat untuk tidak internalized misogyny.

Ngomong-ngomong soal penyebab pelakor dihujat, ada istilah queen bee syndrome yang di dalamnya terdapat internalized misogyny. Sindrom ratu lebah ini merasa terancam bila ada perempuan lain yang memiliki kualitas lebih. Sedangkan internalized misogyny adalah hal dalam diri perempuan yang membenci perempuan lain. It takes two to tango. Pada kasus perselingkuhan kan yang bersalah dua pihak, tapi yang mendapat sorotan hanya pihak ketiga. Kalau ada perempuan lain melakukan kesalahan ya ditegur, bukan dipermalukan dan direndahkan. Jika melakukan public shaming, kita hanya menyenangkan jiwa-jiwa penghujat tanpa memberikan solusi.

Demikian hal-hal yang masih menjadi area abu-abu dan menghasilkan penghakiman tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, terjadi bias gender atau pemihakan pada salah satu gender, padahal selingkuh melibatkan banyak faktor. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai encouragement atas stigma bahwa perempuan selalu benar. Tetapi bentuk ekspresi (miris) atas ketimpangan terhadap perempuan. Pun bila yang selingkuh perempuan, kesalahan tetap pada individu yang bersangkutan.  Mohon maaf pula bila ada kata yang menyinggung.

Selasa, 04 Februari 2020

Lessons From The Incident That Change Me Forever



Murakami is right on this saying:

One day you will experience an incident that changed you forever as a human being.

I guess I have experienced that moment myself. I used to think that everyone was kind, at least there’s kindness in someone’s heart even when society think otherwise. It is us who lack of understanding or simply don’t know their personality actually are.

I didn’t change my whole perspective about it though.

It’s just, at certain degrees I’m kinda shifted my pov into this:

Kindness isn’t absolute. It’s so relative depends on where and what kind of angle we look at. Yep, for me, kindness is like a view surrounded by people and its beauty depends on the positions of the observer. It might be good for us but means otherwise to others. And we can’t force it.

When you think you do something good, who knows that it could offends some people. Those people will spat angrily in instant. Don’t be surprised that even your close friend can hate you right away, [or you’ll be surprised that nobody trying to understand your motives]. Anger knows no bounds. It is because the kindness you’re committed to doesn’t fit someone else’s shoe. You aren’t wrong, neither do them.

Not everyone will accept your good intentions. Furthermore, they will hate you for unbenefited them. Especially those who close enough to have expectation on you.

The incident that change me forever got me these lessons:

      1)      Love people as much as you want. But don’t forget to put some distance. Proximity is a fertile ground for expectations. And expectation never ceased to hurt people.

 2)      Think carefully before making decisions that involve others.

      3)      Some people aren’t really wick toward us. Maybe they do bad out of knowledge. Forgive them for your peace.

       4)      Words have powerful impact on human memories. Watch your words.

      5)      Hurt is a matter of perspective. But still people gonna detach you if you are in a different term. So, get a grip, stand on your feet even when it’s mean to be all alone. Stay sane.

I’m most engaged with point 1, tho. Sometimes we damage our mental health by putting too much expectation on ourselves. It goes the same with putting expectation on someone else’s shoulder.

Okay, that’s all the things I wanna share about. Screw tenses.

Peace.