UA-51566014-1 Catatan Harian: April 2014

Jumat, 25 April 2014

Selamat siang bapak Mochamad Yahyaku…. Apa kabar? Aku kangen sekali pa, bapa kangen jugakah padaku? Pada kami yang tak putus mencintaimu?

Bapa ingat tidak epos Mahabharata dan Ramayana yang dulu sering kita obrolkan. Sekarang banyak karya yang lahir dari dua epos luar biasa itu. Namanya dekonstruksi. Dengan sedikit modifikasi, manusia-manusia yang tak manusiawi itu dihidupkan kembali oleh pemuja sastra. Dulu, ketika kau masih sering menceritakannya…. Aku nyaris tak bisa berkata-kata saking takjubnya. Bagaimana bisa kau hapal dunia tak tersentuh yang semakin hari dikaburkan globalisasi. Menjelmakannya jadi cerita yang menarikku lebih jauh, jatuh cinta pada hal-hal imajiner yang terkadang aneh tetapi memiliki orbit keseimbangannya sendiri. Seolah mengajarkan bahwa kehidupan memang tak adil, tapi dewa-dewi yang ternyata juga bisa keliru itu membuatnya balance.

Entah kenapa sejak bapa pergi, dunia tak semenarik dulu.. . malah cenderung menakutkan karena aku harus menghadapinya tanpa pertimbanganmu. Singkatnya, aku benar-benar kehilangan pria yang kepadanya aku berani manja. Pa, mungkin bapa perlu tahu, ketika ingat bahwa kita takkan ketemu lagi, rasanya aku ingin nangis sendiri. Di antara begitu banyak pria di dunia, tak satupun dari mereka adalah kau. . . nakhoda keluarga yang selalu membercandai awak kapalnya. Sekarang, tentangmu hanyalah ruang kosong tak berpenghuni, pakaian yang terlipat rapi tapi takkan disentuh lagi. Aku baru tau, sungguh baru tau kalau ternyata kehilangan tak sesederhana kelihatannya. Walau sudah lama berlalu perihnya masih terasa seperti baru kemarin saja. Makanya aku membuat tulisan ini sebagai pertanggung jawaban moral. Kalau tidak aku bisa gila pa, merindukan orang yang bahkan tak bisa kutemui dibelahan bumi manapun. Sama seperti membuat puisi karena cinta, membuat cerpen karena peristiwa atau membuat karya apapun yang meringankan isi kepala. Aku tidak menulisnya di buku harian karena terlalu sempit dan melelahkan tangan. Jadi. . . aku tidak gila kan pa? Aku hanya tak ingin seperti ibu yang sering duduk diam, tanpa suara tapi matanya bicara lewat genangan tangis.

Aku tidak tau pa,, dari sudut pandang orang mati sebenarnya hidup itu dagelan macam apa. Atau mungkin di sana kau tertawa melihat kami menangis karena mati ternyata lebih tenang. Setidaknya tak harus merasakan resonansi masalah yang tak kita lakukan.

Beberapa kali Tuhan berbaik hati mengundangmu dalam mimpiku. Entah itu kau atau apa aku tak peduli, bahkan bila jin pun aku masih ingin menemuinya. Beberapa kali yang membahagiakan itu aku melihat wajahmu lebih bersih dari sebelum-sebelumnya. Terlihat muda, mungkin sekitar awal 40 atau tiga puluh akhir. Semoga Dia baik padamu di sana.

Kadang aku heran dengan diriku sendiri. Semua benda di sekitar kita, bahkan kita sendiri adalah titipan. Tapi kenapa aku mencintai kedua orangtuaku lebih dari aku mencintaiNya? Dosa kan ya? Ah sudahlah, perlahan aku juga sedang berusaha memperlakukan seperti benda dunia lainnya. Akan pergi saat waktunya tiba.
Pa,, sekarang aku akan mengabarkanmu tentang keluarga. Walau secara Islam, aku tau bahwa ada tiga hal yang terus mengikuti orang meningal: Keluarga, Harta dan Ilmu. Mungkin kau sudah tau ini, tapi aku tetap ingin mengabarkannya. #Maksa.

Ibu baik-baik saja pa, dia perempuan kuat yang menghadapi semua sendiri. Aku tidak tau dia terbuat dari apa hingga begitu tegar. Makanya cobaan suka bertubi-tubi menghantamnya, berusaha merobohkan benteng pertahanannya. Tapi dia juga manusia biasa pa. Aku tau dia butuh punggung lain untuk bersandar. Atau media lain untuk berbagi masalah, karena selama ini keresahannya hanya tersalur lewat doa. Bapa tidak usah khawatir, jangankan mencari suami pengganti, disuruh move on saja malah marah-marah. Hihi. Dia sangat mencintaimu pa, sepertimu yang bilang tak bisa hidup tanpa ibu. Karena itukah kau memilih pergi duluan?

Pa, ibu orang baik. Tapi terkadang kebaikannya terlalu menyamankan orang. Aku khawatir ada yang memanfaatkan. Orang-orang pamrih itu. . . selalu bisa melihat celah. Dalam hal ini ibu sendiri dan terlalu pelit berbagi informasi, emmm… lebih tepatnya takut suudhon. Tapi Tuhan tak pernah memberi cobaan melebihi kemampuan hambanya kan? Insya Allah aman pa.

Mba ida masih tak ada perubahan. Malah semakin punya kekuatan untuk menjadi keras kepala. Ya, sebenarnya aku bukan dia.. jadi tak terlalu paham kenapa dia harus berkepala batu. Btw, djalu lebih kurus. But he’s the cutes person in our family. Sumpah pa, pasti bapa bakal sayang banget sama dia.

Mas Tomya baik pa. Dia seperti ibu, selalu tenang seolah tak ada masalah. Entah aku tak terlalu tau kehidupan pribadinya, tapi orang tangguh selalu punya cara sendiri kan? Lagian dia sudah biasa hidup susah di pesantren dulu hehe

Gita
Kalau dulu bapa bilang dia item, jelek kayak jrumpul. Mungkin bapa perlu ketawa malu, dia tinggi (memang), sedikit lebih putih dan (menurutku) cantik. Dia rajin sekali belajar, sesuai bimbinganmu dulu. Sudah jarang studi mulut, meski cukup maksa kalau minta diajarin PR. Gita sudah UN, sebentar lagi kuliah pa. Butuh biaya, tapi semoga tak seberat dugaan sekarang. Melihat animo belajarnya, aku rasa dia akan jadi mahasiswi yang keren. Aduuuh aku takut tersaingi :D


Begitulah keadaan kelurga pa, rumah sepi sesepi-sepinya rumah. Bapa jangan pernah merasa makam itu sepi, karena tanpamu, rumah juga tak jauh beda. Bahkan lebih menakutkan. Bapa pergi sudah lebih dari satu semester. Tapi bapa harus ingat, tak seharipun aku membuangmu dalam daftar hal-hal yang terlupakan. Bapa seperti udara kemarin yang mengantarku hidup sampai hari ini. Selamanya, takkan pernah terganti.