UA-51566014-1 Catatan Harian: Mei 2012

Minggu, 20 Mei 2012


Sastra Indonesia Modern Mulai Berkembang Sekitar 1920-an


Sastra Indonesia Modern Mulai Berkembang Sekitar 1920-an
Ada beberapa pendapat yang berbeda terkait awal mula sastra Indonesia modern. Slametmuljana, Umar Junus, Nugroho Notosusanto, dan Ajip Rosidi memiliki pendapat masing-masing. Akan tetapi, banyak yang menyetujui bahwa. sastra Indonesia modern mulai berkembang sekitar 1920-an. Mengapa?
Karena, pada tahun 1920-an karya sastra modern mulai mencakup seluruh masyarakat Indonesia. Dan pengarang-pengarang karya sastra tidak lagi terbatas pada orang-orang melayu saja, melainkan sudah banyak pengarang-pengarang dari berbagai daerah di Indonesia. Alasan lain mengapa karya sastra Indonesia modern mulai berkembang pada tahun 1920-an adalah, karena mulai tahun 1920 –an karya-karya sastra mulai menyinggung soal politik dan nasionalisme bangsa Indonesia. 
Sastra Indonesia modern adalah karya sastra yang karya sastranya tidak hanya diciptakan dari orang-orang melayu saja, melainkan sudah berkembang keseluruh wilayah indonesia, ruang lingkup sastra modern juga lebih luas dari pada sastra sastra lama, hampir seluruh masyarakat Indonesia bisa menikmati berbagai karya sastra, berbeda dengan sastra lama yang sebagian besar dibuat oleh pengarang-pengarang dari melayu dan ruang lingkup yag sempit. 

sumber: http://remajasampit.blogspot.com/2012/04/sastra-indonesia-modern-mulai.html

Sastra Indonesia


Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
***
Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.
Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
***
Pada zaman Pujangga Baru (1933—1942), tarik-menarik antara Barat dan Timur tampak tidak hanya pada perdebatan Polemik Kebudayaan, tetapi juga dalam usaha mereka menerjemahkan gagasan itu dalam karya-karyanya. Maka kita dapat melihat puisi-puisi Amir Hamzah cenderung mengungkapkan nafas sufisme dan kosa kata Melayu kuno (Timur). Ia juga banyak menerjemahkan khazanah kesusastraan Timur, khasnya India. Baghawad Gita dan beberapa terjemahan puisi Tiongkok adalah satu contoh usahanya memperkenalkan khazanah kesusastraan Timur itu. Berbeda dengan Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana berteriak lantang menganjurkan agar bangsa Indonesia meniru dan berorientasi ke Barat. Hanya dengan itu, menurutnya, bangsa Indonesia akan mencapai kemajuan. Salah satu novel Sutan Takdir Alisjahbana yang tampak mengusung gagasannya mengenai semangat Barat adalah Layar Terkembang.
Pada masa itu, puisi Indonesia sudah mulai jauh meninggalkangaya pengucapan pantun atau syair. Masuknya pengaruh romantisisme Barat –melalui Angkatan `80 (De Tachtiger Beweging) Belanda— diterima dengan segala penyesuaiannya. Puisi tidak hanya menjadi alat mengangkat dunia ideal, tetapi juga menjadi sarana penyadaran akan kebesaran masa lalu. Romantisisme Pujangga Baru lahir bukan karena kegelisahan atas merosotnya nilai-nilai rohani, spiritualitas, dan terjadinya eksplorasi kekayaan alam, melainkan sekadar mencari bentuk pengucapan baru dalam puisi Indonesia.
***
Perubahan drastis dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik diIndonesia, terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.
Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu yang menempatkannya berada pada titik terendah, ikut pula mempengaruhi kerja kreatif para sastrawan. Maka membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif. Itulah sebabnya, pemerintah pendudukan Jepang menyediakan banyak panggung atau gedung pementasan sebagai sarana penyebarluasan propaganda melalui pementasan-pementasan drama.
***
Selepas Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan pentingnya menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian diwujudkan ke dalam karya-karya sastra yang terbit pada masa itu. Chairil Anwar muncul dengan puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil Anwar menerbitkan Tiga Menguak Takdir (1949) yang menunjukkan penolakan terhadap semangat Pujangga Baru. Menguak Takdir dapat dimaknai sebagai pisau bermata dua: (1) mengusung semangat perjuangan, bahwa nasib bangsa sangat bergantung pada usaha untuk tidak menyerah pada keadaan, pada nasib, pada takdir. (2) menolak segala gagasan yang dianjurkan Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu (i) kebudayaan bangsa harus ditentukan bukan oleh Timur—Barat, melainkan oleh diri sendiri. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” (ii) bentuk pengucapan dalam puisi tidak perlu lagi dengan bahasa yang mendayu-dayu dan berbunga-bunga, tetapi dengan bahasa sehari-hari yang lugas dan langsung. Chairil Anwar yang menjadi tokoh kunci Angkatan 45 seperti meninggalkan jejak yang begitu kuat dalam peta puisiIndonesia. Pengaruhnya terus bergulir sampai periode berikutnya.
Dalam bidang prosa –novel dan cerpen—pengalaman pahit zaman Jepang dan trauma kegetiran perang kemerdekaan (1945—1949) telah menjadi sumber ilham bagi prosais Indonesia. Maka, Idrus mengangkat kegetiran pada zaman Jepang, Pramoedya Ananta Toer mengeksplorasi pengalamannya semasa menjadi gerilyawan dan berjuang melawan tentara Belanda. Demikian juga Mochtar Lubis, Balfas, Toha Mohtar, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusasto, dan beberapa novelis Indonesia lainnya yang dibesarkan dalam gejolak revolusi, mengangkat pengalaman perang sebagai tragedi kemanusiaan yang amat getir, dan di pihak lain digunakan juga sebagai alat untuk menumbuhkan semangat kebangsaan.
Memasuki dasawarsa tahun 1950-an kesusastraan Indonesiaberada dalam situasi yang amat semarak. Selain tentang kisah peperangan, juga muncul semangat kedaerahan dan nafas filsafat eksistensialisme. Sitor Situmorang, Nasjah Djamin, dan teristimewa Iwan Simatupang adalah beberapa nama yang sangat bersemangat memasukkan filsafat eksistensialisme ke dalam karya-karyanya. Iwan Simatupang kemudian menjadi sastrawan penting ketika novel-novelnya diterbitkan selepas peristiwa tragedi 30 September 1965.
Masa suram kesusastraan Indonesia dan umumnya kehidupan kebudayaan Indonesia terjadi pada paroh pertama dasawarsa tahun 1960-an (1961—1965). Ketika itu, slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kehidupan politik di atas segala-galanya. Kesusastraan dan kebudayaan kemudian digunakan sebagai alat perjuangan politik. Pro dan kontra pun terjadi. Terbelahlah sastrawan Indonesia ke dalam beberapa kubu yang mengerucut menjadi dua kubu besar, yaitu golongan sastrawan yang mengusung semangat humanisme universal dan golongan sastrawan yang mengusung sastra dan kebudayaan sebagai alat perjuangan politik dengan penekanan pada sastra yang berpihak pada rakyat. Kelompok pertama mendeklarasikan sikapnya melalui apa yang disebut “Manifes Kebudayaan” dan kelompok kedua tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berporos pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kehidupan kesusastraan dan kebudayaan dalam masa lima tahun itu benar-benar memasuki situasi yang buruk. Perbedaan pendapat dan ideologi menjadi pertentangan fisik dan serangkaian teror. Pelarangan Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno menandai tersingkirnya kelompok Manifes dalam berbagai aspek kehidupan kebudayaan, meskipun mereka terus bergerak melakukan perlawanan.
Pecahnya peristiwa 30 September 1965 yang memicu gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa sekaligus menghancurkan dominasi PKI dalam kehidupan politik nasional. Lekra sebagai underbouw PKI tentu saja ikut menjadi korban. Kelompok sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan seperti keluar dari lubang kematian. Mereka kemudian mengusung karya-karya protes. Taufiq Ismail sebagai tokoh kunci gerakan ini menyuarakan semangat perlawanannya melalui puisi. Penyair lain, seperti Bur Rasuanto, Slamet Sukirnanto, Wahid Situmeang, adalah beberapa sastrawan yang ikut menyuarakan semangat perlawanan itu. H.B. Jassin kemudian menyebut gerakan para sastrawan itu sebagai Angkatan 66.
Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa itu berhasil mencapai perjuangannya dengan pembubaran PKI dan kemudian berdampak pada kejatuhan Presiden Soekarno. Praktis PKI beserta para pendukungnya, berada dalam posisi sebagai pecundang. Kalah dalam perjuangan politiknya. Dan Pemerintah yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru melakukan pembersihan. Sastrawan yang tergabung dalam Lekra dengan sendirinya menjadi pihak yang kalah. Mereka ditangkap, dipenjara, dan tokoh-tokoh pentingnya dibuang ke Pulau Buru.
***
Babak baru muncul dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Trauma terhadap campur tangan politik dalam kebudayaan, khususnya kesusastraan, telah memberi kesadaran, bahwa kesusastraan, kesenian, dan secara keseluruhan, kebudayaan, tidak boleh dimasuki kepentingan politik. Kehidupan kebudayaan harus dipisahkan dari kehidupan politik. Tak ada tempat lagi bagi politik untuk masuk dan mengganggu kehidupan kesusastraan. Anggapan bahwa muatan politik hanya akan mengganggu estetika berkesenian menjadi semacam label penting dalam kehidupan kesenian dan lebih khusus lagi, kesusastraan Indonesia. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia ketika politik dianggap tidak berhak lagi memasuki wilayah kesenian dan kesusastraan.
Selepas tahun 1965 dan terutama memasuki pertengahan dasawarsa 1970-an, sastrawan Indonesia seolah-olah memperoleh saluran kebebasan yang lebih luas. Di pihak lain, mereka menolak campur tangan politik. Maka, usaha mengeksploitasi estetika yang berada jauh di luar politik adalah penggalian pada tradisi, pada sumber kekayaan khazanah kesusastraan sendiri. Di sinilah, kisah-kisah dunia jungkir-balik dalam dongeng-dongeng rakyat menjadi salah satu sumber kreativitas mereka. Selain itu, unsur-unsur mistik Islam—Jawa, sufisme, dan khazanah puisi rakyat, disadari sebagai kekayaan tradisi yang dapat dikemas atau diselusupkan ke dalam bentuk puisi yang lebih modern. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, berhasil memanfaatkan mantera untuk kepentingan estetika puisinya yang mengandalkan kemerduan bunyi. Melalui kredonya yang menolak makna dalam kata, Sutardji menjadi salah satu tokoh kunci penyair Indonesia dasawarsa itu. Arifin C. Noer –dalam drama—berhasil pula memanfaatkan dongeng-dongeng dan teater rakyat, seperti ketoprak dan tanjidor, menjadi unsur penting dalam dramanya. Sementara itu, Kuntowijoyo yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi kejawen, tetapi menyerap juga pengaruh tasawuf dan filsafat Barat (eksistensialisme), berhasil melahirkan sebuah novel, Khotbah di Atas Bukit, yang memperlihatkan percampuran pengaruh-pengaruh itu.
Dasawarsa 1970-an –yang kemudian disebut sebagai Angkatan 70-an— adalah masa berlahirannya karya-karya eksperimentasi. Iwan Simatupang lewat empat novelnya, Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan Kooong, tampil sebagai salah seorang maestro novel kontemporer Indonesia. Sejumlah nama lain, tentu saja masih panjang berderet. Tetapi secara umum, mereka mempunyai semangat yang sama, yaitu “kembali ke akar, kembali ke sumber.”
Memasuki dasawarsa 1980-an sampai pertengahan 1990-an, kesusastraan Indonesia seperti bergulir tanpa gejolak menghebohkan, tanpa hiruk-pikuk. Sejumlah karya memang masih tetap lahir dengan daya kejut yang cukup kuat. Ahmad Tohari lewat trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, menyadarkan kita akan dunia wong cilik dan orang-orang yang terpinggirkan. Umar Kayam dalam Para Priyayi mengukuhkan kekayaan kultur Jawa. Kejutan lain muncul ketika Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan tetraloginya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel yang dikatakannya sebagai novel Pulau Buru itu konon ditulis Pram saat ia berada dalam tahanan di Pulau Buru.
Kejutan lain yang juga penting terjadi menjelang berakhir abad ke-20. Ayu Utami melalui novelnya, Saman (1998) mengejutkan banyak pihak terutama keberaniannya dalam mengungkapkan persoalan seks. Selepas itu, bermunculan sastrawan wanita yang dalam beberapa hal justru lebih berani dibandingkan Ayu Utami. Sebutlah misalnya, Dinar Rahayu (Ode untuk Leopold, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet! 2003, dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) 2004), Maya Wulan (Swastika, 2004).
Jauh sebelum Ayu Utami, sejumlah sastrawan wanita sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang cukup penting, seperti Nh Dini, Titis Basino, Marianne Katoppo, Leila Chudori, Ratna Indraswari, Abidah El-Khalieqy, Helvy Tiana Rosa, atau Dorothea Rosa Herliani. Meskipun begitu, kemunculannya makin semarak justru selepas Ayu Utami itu. Boleh jadi, kondisi itu dimungkinkan oleh runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang ketika itu banyak melakukan represi. Maka, begitu ada saluran pembebasan, berlahiranlah pengarang-pengarang wanita dengan keberanian dan kekuatannya masing-masing. Tercatat, beberapa di antaranya, Fira Basuki, Anggie D. Widowati, Naning Pranoto, Ana Maryam, Weka Gunawan, Agnes Jesicca, Ani Sekarningsih, Ratih Kumala, Asma Nadia, Nukila Amal dan Dewi Sartika.
Yang menarik dari sejumlah karya yang ditulis para pengarang wanita ini adalah usahanya untuk tidak lagi terikat oleh problem domestik. Karya-karya mereka tidak lagi berbicara tentang problem rumah tangga –suami-istri, melainkan problem seorang perempuan dalam berhubungan dengan masyarakat kosmopolitan. Maka, di sana, tokoh-tokoh wanita yang menjadi pelaku utamanya, seenaknya bergentayangan ke mancanegara atau berhubungan dengan masyarakat dunia.

Tulisan ini diambil dari "www.gemasastranusantara.tk" dengan beberapa perubahan
sumber: http://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/sastra-indonesia

MEMUDARNYA APRESIASI PESONA SASTRA DIKAMPUS

Posted on June 4 2011 by Khairani / IM

Pesona adalah suatu bentuk keindahan yang mencitrakan energy suatu hal, bentuk, massa, era, dan sebagainya. Untuk menimbulkan rasa berupa cinta, kasih, sayang, dan kedamaian. Pesona sangatlah penting dalam suatu kehidupan yang ada didunia ini, termasuklah dalam dunia sastra.
Pesona sastra merupakan bentuk nyata yang hadir dan hidup dalam dunia satra yang terus mengalami perkembangan dan pengembangan dalam perwujudannya. Dalam pesona tentu hidup suatu semangat dan jiwa-jiwa antusias yang menjadikan pesona yang kian indah. Antusias yang ada harus dipupuk sedini dan semaksimal mungkin agar jiwa-jiwa sastra kian merebak mengharumkan kesustraan Indonesia. Persoalannya, bagaimana solusi mahasiswa bahasa dan satra yang dalam dirinya mulai mengalami kepudaran antusias terhadap proses kreatif sastra?
Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikann di Indonesia. dalam bidang kebudayaan, bangsa Indonesia memang sudah maju pesat sekarang ini. Kedudukan bangsa Indonesia harus sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya yang ada dibelahan dunia ini. Namun begitu, tentu saja tingkat kemampuan kebudayaan Indonesia seperti yang terlihat sekarang ini merupakan suatu hasil dari proses sejarah yang sangat panjang dan lama.
Melihat sumber dan bukti sejarah sastra kita pada jaman dahulunya, jelas saat ini kita yang merasakan dan menikmati masa kemerdekaan, tentu haruslah bersyukur dan terus mampu menjadi pahlawan sastra agar kekayaan budaya kita lebih bermartabat dan tetap dalam perioritas unggul dari jaman dahulu sampai sekarang hingga masa yang akan datang.
Ditinjau dari dunia perkuliahan mahasiswa merupakan laskar handal yang tangguh dalam melakukan suatu kegiatan dan proses kreatif termasuk dalam dunia satra). Mahasiswa adalah calon-calon pemimpin dunia yang pada nantinya yang siap terjun ke masyarakat dalam mendedikasikan ilmu dan mengabdi pada bumi tercinta Indonesia setelah sekian lama kita menempuh bangku perkuliahan.
Mahasiswa yang berkopeten, terampil, cerdas, secara konpherensif tentunya tidak akan mengabaikan suatu mutu atau kualitas dalam proses pengabdiannya. Bahasa dan sastra Indonesia misalnya, merupakan suatu prodi yang menawarkan dua cabang ilmu antara bahasa dan sastra secara intensif yang dalam penerapannya sangat memerlukan kesiapan mental dan fisik secara matang untuk menelurkan mana yang disebut alumnus bahasa dan sastra Indonesia berkualitas.
Mengapa antusias begitu penting bagi mahasiswa bahasa dan sastra dalam proses kreatif sastra?? Bagaimana kita ketahui bersama, mahasiswa biasanya identik dengan jiwa muda dan terus semangat mengebu-gebu dalam pergaulannya. Semangat dan kreafitas yang ada dalam diri mahasiswa benar-benar harus dipupuk dan diberdayakan secara benar dan tajam.
Jika tidak, maka alkan melenceng dan tidak karuan sampai kemana-mana. Pikirkan, apa jadinya jika sebagai mahasiswa bahasa dan sastra tidak mampu membaca puisi ? tidak mampu menulis?bermain peran juga tidak bisa?, tidak juga mampu melakukan kreatif sastyra lainnya? Tentu gambaran seperti ini sangat menakutkan bukan?
Sebagai mahasiswa penulis ikut mengatakan, antusias itu sangatlah berharga dalam diri seseorang, khususnya mahasiswa bahasa dan sastyra Indonesia. antusia haruslah dikembangkan, dipupuk dan disirami oleh apresiasi ynag bermutu. Mungkin pe,mbaca ada yang berpebdapat, menguasai satu jenis genre sastra itu sudah cukup. Apalagi dalam prodi bahasa dan sastra memiliki dua sub cabang ilmu yang sama-sama penting, anmtara linguistic dan sastranya.
Menurut penulis, antusias yang tidak baik dan mulai memudar ditandai dengan salah satu pendapat tersebut diatas. Jika sudah ada ketikseimbangan antara bahasa dan juga sastra, maka dapat diduga terjadi suatu mis kekompakkan untuk sebuah tujuan proses kreatif. Antusiras yang memudar tidak dapat dilihat dari minim bahkan langkanya kemandirian mahasiswa saat ini dam mengikuti jejak penyair dahulu dalam bidang membaca, termasuklah mengapreasiasi dalam bentuk membaca. Kebanyakan mahasiswa lebih suka menulis prosa,fiksi,naskah drama. Padahal dalam kegiatan apresiasi sesungguhnya, membaca adalah yang harus dilakukan lebih awal sebelum kita melakukan kreatif menulis.
Jika kita kaitkan dalam ilmum kebahasaan keterampilan dalam berbahasa itu diawali oleh menyimak, berbica, membaca, dan yang terakhir adalah menulis jelas sekali bahwa kegiatan menulis tahap terakhir dalam suatu transformasi keilmuan pembelajaran yang telah melewati tiga jenis keterampilan sebelunya termasuk berlaku pada dunia sastra. Tidak menutup kemungkinan, antusias yang mulai tidak tersistem akan berakibat fatal, yaitu dengan fakumnya sastra, atau setingkat yang lebih ringan paling tidak hilangnya pesona sastra dimata mahasiswa bahasa dan sastra. Bagaimana kita mengatasi persoalan tersebut?
Yang pertama adalah menanyakan pada diri kita sendiri, apa tujuan kita memilih prodi bahasa sastra Indonesia? setelah kita dapat menjawab pertanyaan yang kita ajukan dalam diri kita tersebut mulialah melakukan tindakan pengelolaan tujuan, isi dan visi dalam kedudukan kita sebagai mahasiswa bahasa dan sastra. Kedua adalah cara kita yang selama ini memandang sastra lama jauh lebih tenar dibandingkan satra muda yang banyak tersaji dewasa ini. Fakta seperti ini sebenarnya secara tidak langsung menyampaiukan kepada kita bahwa kekompakkan dalam diri atau mahasiswa muda yang kurang baik dan efektif. Jika kekompakkan dan kata sepakat sudah bertenggar di kepala kita masing-masing tentu antusias dalam mengapresiasi sastra untuk proses kreatif sangat mampu terpupuk dengan sempurna dengan baik.

sumber: http://www.indonesiamedia.com/2011/06/04/memudarnya-apresiasi-pesona-sastra-dikampus/

Pandangan Bangsa Luar Terhadap Sastra Indonesia: Ceramah Bersama Berthold Damshauser

Oleh Ansar Salihin
Rumah Puisi Taufik Ismail menggelar acara Ceramah/Kuliah Tamu bersama Prof. Dr. Berthold Damshauser (Universitas Bonn/Jerman). bertema “Pertukaran Sastra Indonesia dan Jerman” di Nagari Aie Angek, Tanah Datar-Sumatera Barat. Sabtu, 10 Maret 2012.
Selain acara seminar atau kuliah tersebut Berthold Damshauser juga membaca puisi dalam bahasa Jerman berdamping dengan sastrawan Sumatera Barat berbahasa Indonesia. Sastrawan tersebut adalah Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Suhendri, Mahatma Muhammad dan Yenti (Guru Bahasa Jerman SMA 1 Padangpanjang) membaca puisi dalam bahasa Jerman berdampingan dengan Taufik Ismail membaca puisi bahasa Indonesia. Kegiatan seperti ini dapat menumbuhkan motivasi bagi generasi muda untuk berkarya sastra. Kegitan tersebut dihadiri oleh beberapa sastrawan Sumatera Barat, mahasiswa dari beberapa kampus yang ada di Sumatera Barat. Selain itu juga dihadiri oleh berbagai sanggar seni dan sastra yang ada di Sumatera Barat seperti Langkar Pena Sumatera Barat, Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang dan Sanggar lainnya.
Berthold Damshauser sastrawan Jerman lahir di Wanne-Eickel (Jerman), 8 Februari 1957. Belajar sastra Jerman dan sastra Indonesia di Universitas Koln (1983) dengan Tesis tentang pengarang Indonesia Trisno Sumardjo. Pada tahun 1984 Studi Pascasarjana (Sastra Indonesia dan Sastra Jawa) di Universitas Indonesia dalam rangka darmasiswa pemerintah R.I. di UI ia juga sebagai dosen tamu jurusan Bahasa Jerman (1985) .
Sejak tahun 1986 mengajar Sastra dan Bahasa Indonesia di Seminar fur Orientalische Sprachen (SOS) Universitas Bonn/Jerman. Bekerja sebagai Editor Orientierungen, majalah mengenai kebudayaan Indonesia yang salah satu fokusnya adalah Sastra Indonesia. Selain itu juga penerjemah puisi dan penyuting beberapa antologi Indonesia dalam bahasa Jerman serta antologi puisi Jerman dalam bahasa Indonesia. Juga giat sebagai resitator puisi. Sekarang Berthold tinggal di Bonn, Jerman. Bersama isterinya Dian Apsari dan anak-anaknya Ayuningtyas dan satria Tristan.
Melihat biografi dan sejarah perjalanan Berthold, ia sangat mengerti tentang sastra Indonesia dan dapat menerjemahkan sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman dan sebaliknya. Bukan semua penerjemah dapat dapat menerjemahkan sastra ke dalam dua bahasa, atau dua budaya. Menerjemahkan karya sastra ke bahasa asing perlu kecerdasan yang luar biasa, misalnya menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Jerman. Pertama Penerjemah harus mengerti tentang kedua tata bahasa, kemudian memahami budaya sastra kedua-dua Negara itu. Setelah itu menerjemahkan karya sastra dari sastra asli ke sastra tujuan, dengan tidak merubah maksud dan tujuannya serta budaya yang terkandung di dalam karya sastra tersebut.
Pertukaran sastra antara dua negara merupakan pertukaran ide tau gagasan antar kedua negara. Perlu diperhatika dalam pertukaran ide ini adalah bagaimana perbandingan karya sastra Indonesia dengan karya sastra Jerman. Kemudian membandingkan peranan bangsa Indonesia terhadap karya sastra dan bagaimana peranan bangsa Jerman terhadap karya sastra. Karena salah satu pendukung dalam pertukaran karya sastra adalah peranan negara terhadap sastra tersebut. Baik itu hubungan antar dua negara maupun lebih dari dua negara. Menjadi pertanmyaan adalah, apakah negara Indonesia mendukung sastranya disebarkan ke negara lain. Berthold mengatakan negara lain memandang karya sastra Indonesia adalah karya sastra kuno. Karya yang masih menganut budaya kuno dan karya sastra yang terkenal di Indonesia menurut pandangan negara lain adalah karya-karya masa lalu, bukan karya sastra yang berkembang di zaman modern. Melalui pertukran sastralah kita membuktikan bahwa karya sastra Indonesia sudah menganut Sastra Modern. Caranya adalah menerjemahkan sastra Indonesia ke beberapa negara asing seperti bahasa Inggris, Jepang, Mandarin, Amerika, Jerman, Arab dan bahasa lainnya yang sangat berperan dalam bahasa internasional.
Pertukaran sastra merupakan pertukaran teks, teks sebagai dasar utama dalam pertukaran budaya kedua negara. Sebenarnya pernah terjadi pertukran budaya tampa teks, itu terjadi pada zaman Niraksara. Akan tetapi sejak ditemukan Aksara atau zaman tulis baca, dimana manusia telah meengenal tulis baca. Perkembangan budaya semakin cepat melalui teks, karena teks paling efektif dalam penyebaran budaya. Begitu juga dengan penyebaran agama melalui teks juga. Misalnya agama Islam menyebarkan agama melalui Alquran dan hadis sebagai panutan. Alquran dan hadis berbentuk teks yang dapat dibaca dan ditulis. Begitu juga dengan agama lainnya semua kitab-kitab kepercayaan manusia pasti berbentuk teks. Melalui pertukran teks tersebut indonesia memperkenalkan budayanya ke bangsa lainnya. Sehingga bangsa lain dapat memandang bagaimana sebenarnya budaya dan sastra Indonesia.
*) Penulis adalah mahasiswa Institut Seni Indonesia, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Jurusrrran Seni Kriya semester IV. Dan bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjan. 
sumber: http://kuflet.com/2012/03/1156/

Konsepsi IBD Dalam Kesusastraan

SASTRA DAN KEBUDAYAAN
Sastra merupakan bagian dari kesenian, dan kesenian adalah unsur dari kebudayaan. Dalam perkembangan, kesusastraan Indonesia dibagi menjadi beberapa periode. Secara umum, sastra Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam sastra Indonesia lama dan modern.
Sastra Indonesia lama atau klasik adalah sastra yang dikembangkan sebelum pengaruh dari budaya luar, budaya terutama Barat. Sastra, lama diperkirakan lahir pada tahun 1500 sampai abad kesembilan belas. Kesusastraan Indonesia baru atau modern adalah sastra yang dikembangkan setelah pengaruh budaya Barat di awal abad kedua puluh.
PERIODE SASTRA INDONESIA
Beberapa kritikus sastra telah menyatakan pendapat atas ini periodisasi sastra Indonesia, yaitu sebagai berikut.
Zuber Usman berpendapat bahwa periodisasi sastra dibagi menjadi:
  1. Sastra Lama
  2. Masa perubahan
  3. Sastra Baru
    1. Masa Balai Pustaka (1908)
    2. Masa Pujangga Baru (1933)
    3. Zaman Jepang (1942)
    4. Angkatan ’45 (1945)
HB Jassin sastra berpendapat bahwa periodisasi dibagi menjadi:
  1. Sastra Sastra Melayu
  2. Sastra Indonesia modern
    1. Angkatan ’20
    2. Angkatan ’33
    3. Angkatan ’45
    4. Angkatan ’66
    5. Angkatan ’80
Dan kedua pendapat, dapat diketahui bahwa karya-karya sebelum angkatan ’20-an atau Perpustakaan Pusat termasuk ke dalam sastra Indonesia lama. Sastra lama, termasuk dongeng, mitos, fabel, legenda, sajak, puisi, gurindam, dan mantra. Karya-karya yang dimulai di dalam Balai Pustaka sampai perkembangannya hingga sekarang termasuk lumbung atau sastra Indonesia modern. Sastra Indonesia baru atau modern terbagi menjadi tiga jenis, yaitu prosa (novel, novel dan cerita pendek), puisi, dan drama.
PERBEDAAN SASTRA LAMA DAN MODERN
Dalam penjelasan untuk memahami sastra lama dan modern, perhatikan dua bentuk puisi berikut :
Kawanku dan Aku
(Karya : Chairil Anwar)
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata…?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mngelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan bergerak tak punya arti.
===================================================================
Pantun Bersuka Cita
(Sumber, Balai Pustaka)
Elok rupanya si kumbang janti
Dibawa itik pulang petang
Tak terkata besar hati
Melihat ibu sudah datang
Berdasarkan bentuk kedua dari puisi itu, tampaknya perbedaan jelas. Di mana bedanya? Tidak menutup kemungkinan, ada juga kesamaan. Untuk menjawab itu, Perhatikan deskripsi berikut dengan seksama.
Berdasarkan bentuk, bentuk pertama dari jenis diklasifikasikan dari sajak. Adapun bentuk kedua, biasa disebut pantun. Seperti yang telah dibahas bahwa pantun itu termasuk karya sastra dari produk lama, sementara sajak itu adalah literatur produk baru, sastra modern Indonesia.
Dalam pantun, ada beberapa aturan yang mengikat. Pantun terikat pada jumlah baris (baris) dalam setiap bait. Terdiri dari empat sajak baris. Setiap lariknya dibentuk dan 8-12 suku kata, misalnya:
E – lok – ru – pa – nya – si – kum – bang – Jan – ti.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sajak dalam setiap bentuk bait nyata a – b – a – b. Pertimbangkan lagi kata terakhir dalam setiap baris sajak. Janti, petang, hati, dan dating, – i – ang, yang memperkuat makna puisi itu.
Selain hal-hal ini, dan dalam hal makna, setiap bait dalam puisi itu terdiri dari dua bagian. Dua yang pertama biasa disebut larik sampiran, sedangkan dua baris berikutnya disebut isi. Kemudian, dalam ayat tidak tercantum pihak yang menciptakannya (anonim). Dengan kata lain, sajak milik masyarakat setempat.
Berbeda dengan sajak, sajak tidak terikat oleh beberapa aturan yang dimaksudkan. Larik untuk pembuatan seperti acak. Anwar menulis ayat puisi “Kawanku dan Aku” sebanyak tujuh baris dari setiap bait bait dengan nomor tidak tetap. Perhatikan puisi ” Kawanku dan Aku ” itu. Bait pertama terdiri dari tiga baris, bait kedua, ketiga, dan keempat hanya satu larik; kelima bait terdiri dari dua larik: satu larik keenam bait, dan bait terakhir dari tiga baris.
Ini merupakan sastra Indonesia baru atau modem yang memiliki kebebasan teknik sastra. Bahkan, dalam beberapa puisi dan penyair lainnya tampak berbeda. Beberapa puisi yang ditulis dalam satu bait dengan sejumlah besar baris. Selain itu, dalam puisi tidak diketahui sampiran dan isi, jumlah suku kata atau sajak akhir.
Perbedaan di antara sastra lama dan modern, antara lain
Sastra Klasik :
  1. Puisi Terikat dan berbentuk kaku
  2. Prosa panjang statis (sesuai dengan keadaan masyarakat lama secara perlahan berubah)
  3. Puisi bebas, baik bentuk dan isi
  4. Istana sentris (cerita tentang keluarga kerajaan raja)
  5. Bentuknya hampir seluruhnya cerita prosa atau dongeng. Pembaca dibawa ke alam mimpi.
  6. Dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Arab
  7. Pengarangnya tidak tidak diketahui (anonim)
Sastra Modern :
  1. Puisi bebas, baik bentuk dan isi
  2. Dinamika baru prosa (selalu berubah dengan perkembangan masyarakat)
  3. Masyarakat sentris (bahan mengambil dan kehidupan sehari-hari)
  4. Sastra karya (puisi, novel, cerita pendek, drama) berdasarkan dunia nyata.
  5. Dipengaruhi oleh budaya Barat
  6. Penulis diketahui dengan jelas
Selain beberapa perbedaan antara karya sastra lama dan modern yang telah diuraikan, persamaan kedua jenis dihitung kecil. Pertama, keduanya diklasifikasikan sebagai jenis puisi. Kedua, kedua sajak dan pantun, baik tema dan tujuan yang sama. Keduanya mengajarkan moral atau kehidupan pembacanya.

sumber: http://rockydui.wordpress.com/2012/03/13/konsepsi-ibd-dalam-kesusastraan/