UA-51566014-1 Catatan Harian: Mei 2015

Selasa, 19 Mei 2015

18 Mei yang Ke 22

Setiap kita, memiliki satu tanggal yang apabila tiba waktunya, orang akan menjabat tangan atau minimal mengucapkan selamat. Kemudian mengalirlah doa-doa, seolah pada hari itu kau terberkati, dan orang-orang demikian bermurah hati. Saat hari itu datang, mungkin sebagian merasa bersuka cita, atau justru mati-matian kecewa karena dirinya merasa tua. Ya, titik itu selalu menarik. Aku sendiri berada di antara keduanya.

Bahagia, tentu saja. Tapi bahagia terkadang cuma kata, yang jika kau ucapkan lebih dari 5 kali maka tak ada rasanya. Seperti hukum Gossen.

Kecewa, bukan itu tepatnya. Mungkin semacam sedih melihat fakta bahwa umur telah berkurang satu tahun. Sementara ‘aku’ masih sepotong kata, unsur bahasa yang jika ingin bermakna, haruslah memiliki predikat.

Aku berada di antara keduanya, dan kau perlu tahu, menjadi orang pragmatis setengah oportunis bukanlah hal mudah. Selalu ada ruang yang terasa mengancam, juga kesempatan untuk berbahagia meski setipis niskala. Hidup seperti hamparan probabilitas yang terbelah dua. Dan manusia adalah lilin yang meleleh oleh waktu, berpendar dalam panas yang melenakan, terbakar habis namun cantik.

18 Mei sudah berlangsung 22 kali dalam hidupku. Ia seperti bilangan waktu pada umumnya, memiliki kesempatan sama besar untuk menjadi masa lalu. Bagiku sendiri, ia semacam teka-teki. Sebuah misteri yang membuatku bertanya-tanya akan berhenti di mana.

Entahlah. Aku hanya ingin mengalami, memberi terang kemudian padam dengan tenang.

Ngomong-ngomong, pernahkah kau merasa ulang tahun itu tak lain merupakan ambivalensi? Orang-orang mengatakan umurmu bertambah, padahal cuma sebatas angka. Dan mereka tak henti mendoakan agar semakin dewasa, padahal kau sudah merasa dewasa sejak mampu berkedip. Konsep ini agak kacau, kawan. Ulang tahun seharusnya jadi peringatan bahwa kita semakin habis, kemudaan semakin menipis.

 Barangkali, satunya-satunya yang perlu kau lakukan adalah berkontemplasi.

Membuka kotak demi kotak cerita selama satu tahun. Berterima kasih pada orang tua: sepasang pertama yang memberimu kehidupan setelah Tuhan. Mungkin juga berterima kasih pada dirimu sendiri, karena tak pernah berniat bunuh diri. Bahwa kau masih terus berjuang meski segalanya terasa stagnan.

Tidakkah kau ingin bertanya bagaimana 21 tahunku?

Oke, aku tak peduli ada yang bertanya atau tidak.

Bagiku, semua usia istimewa. Tak ada golden age. Semua sama manisnya, tergantung kau melihat dari kacamata apa. Aku pribadi bersyukur tak mengenakan kacamata apa pun, terbebas dari frame yang akan memberi sekat. Segalanya kulihat dengan mata yang satu, yang mengalami tiap-tiap usia dengan warna berbeda. Hmmm. . . satu kata untuh keseluruhan 21:

Indah.

Indah yang tak perlu diejawantahkan dengan prasangka. Indah yang tak perlu kata picisan. Indah yang tak membuat malu, dengan seseorang datang ke kelasmu kemudian berlutut seperti 18 yang ke 17. Indah yang tak semu, seperti saat kau terjerat hedonisme. Melainkan,

Indah yang sedikit harfiah.

Seperti ketika kau mengunjungi tempat yang membuatmu ingin menulis puisi.

21 tahun, sebagaimana labirin kosong yang justru membuatku penuh. Alami, dengan tawa berderai dan air mata berlinang. Di sana, ada satu bulan yang merupakan fase teramah di sepanjang usiaku hingga kini. Ternyata, jadi orang lain terkadang menyenangkan juga. Terlebih karena hidup tak selalu memenuhi prinsip dramaturgi. Setiap yang ada harus memiliki peran. Kadang kala, peran seseorang yang menyenangkan pun berhenti ketika kau menyelesaikan masa bakti di suatu desa.

Orang berlalu-lalang datang. Serombongan yang lain pergi. Dan kau hanya berdiri di satu sisi menatap itu semua. Karena suka tak pernah memberikan hak untuk mengikat. Perasaan-perasaan kecil itu seperti noktah dalam sekumparan memori. Melindap halus sebagai kenangan yang tak terlupakan.


Pada akhirnya, segalanya akan seperti seni yang lahir dari sebuah chaos. Mempesona dalam ketidakmengertian kita. Maka, alami saja. Kau juga tak selalu paham bagaimana takdir Tuhan bekerja, bukan?

Jumat, 01 Mei 2015

Tentang Anak 15 Tahun Paling Tangguh Di Dunia (Kafka on The Shore)




            “But metaphors can reduce the distance."
"We're not metaphors."
"I know, but metaphors eliminates what separates you and me.” 
           
Pergi, ke mana pun itu, agaknya merupakan cara terbaik untuk menguji seberapa tangguh dirimu. Coba, bagaimana seseorang bisa merasa tangguh sementara ia selalu berada dalam zona nyaman. Selalu berada di tengah-tengah apa yang dikenal dan mengenalnya.

Itulah yang berusaha dibuktikan oleh Haruki Murakami. Ia mengeluarkan sang tokoh utama, Kafka Tamura, dari kehidupan standar yang mengantarkannya hingga usia 15 tahun. Sebagaimana stereotipe tokoh utama, Kafka memiliki pikiran yang lebih mendominasi sikapnya ketimbang tata nilai yang ditetapkan masyarakat umum. Tidak tertarik pada pendidikan, cerdas, gemar membaca, tidak tertarik pada pertemanan apalagi memiliki sahabat. Segala yang ada padanya, ditentukan oleh pengetahuan yang didapat dari buku dan seseorang lain bernama gagak. Seseorang lain itu adalah Kafka dalam bentuk bisikan yang secara halus mempengaruhi perilakunya.

Kafka On The Shore, bisa dibilang merupakan roman tentang anak 15 tahun yang berusaha menjawab pertanyaan alamiah berwujud “Who am I?”. Pertanyaan yang menggebu-gebu minta dijawab itu, pada akhirnya justru menjadi simalakama yang mengantarkan Kafka pada masalah. Payahnya, masalah tersebut bukan saja mengenai krisis identitas, tetapi juga semacam Oedipus complex dan sibling relationship yang sangat kompleks. Dalam petualangannya, Kafka secara (tidak) sengaja membuktikan kutukan ayahnya yang seorang perupa terkenal dunia. Bahwa ia akan membunuh sang ayah, terlibat asmara dengan ibunya dan menyetubuhi kakaknya. Adakah kutukan yang lebih indah dari itu?

Memang dalam perjalanannya Kafka tidak melaksanakan kutukan itu sendirian. Ada tangan-tangan tidak terlihat yang membantunya mewujudkan hal tersebut. Seperti pria tua aneh bernama Nakata, Hoshino, Oshima dan lainnya, mereka tak ubahnya benang merah yang menghubungkan Kafka dengan arti dari semua. Termasuk dua perempuan yang sangat mempengaruhinya secara psikologis, yakni nona Saeki dan Sakura. Secara teori, mereka adalah kakak dan ibu biologis Kafka. Namun siapa yang peduli pada teori, di kehidupan nyata, segala kejadian akan terjadi begitu saja. Protes pada takdir hanyalah sesuatu sekonyol mempertanyakan kenapa setelah hari minggu itu hari senin, atau kenapa H tidak marah karena diletakkan setelah I. Oke, bingung kan? Kalian akan semakin bingung jika tidak menyelesaikan membaca novel setebal 597 halaman ini.

Membaca Kafka On The Shore sama lelahnya dengan memperhatikan hidup seseorang. Seperti kebanyakan novel terjemahan (jepang) pada umumnya, Kafka On The Shore hampir mendapat predikat membosankan jika anda tidak tahan dengan teka-teki dan filosofi. Murakami terkadang nampak basa-basi saja jika membicarakan tokohnya. Muncul satu per satu tanpa penjelasan apapun. Terlebih gaya berceritanya yang berganti sudut pandang tiap bab. Semakin membuat anda tidak sabar dan bertanya-tanya di mana letak kewarasan si pengarang.

Untungnya, hal-hal membosankan tidak terjadi dari awal hingga akhir cerita. Selalu ada pelangi setelah badai, kan?

Kafka On The Shore pun demikian. Ketika teka-teki mulai membuka dirinya untuk dipahami, segala sesuatunya jadi menarik. Seolah pengarang merancang cerita dengan sangat detail. Ada begitu banyak sign yang tiba-tiba saja mempesona. Hal-hal yang tampaknya imajinasi belaka, nampak rasional. Kecurigaan Kafka bahwa dirinya tak setangguh yang diduga, tidak terbukti. Persiapan fisik untuk menghadapi pelarian memang tak berguna, namun jiwa dewasa yang terperangkap dalam tubuh 15 tahun itu sangat membantu.

Yang lebih menarik lagi, di luar konteks cerita, pengarang berhasil menempatkan para tokoh sebagai orang cerdas bukan dari kata-kata saja. Melainkan dari cukilan pengetahuan yang seperti ingin membuktikan diri, bahwa satu sama lain memang layak untuk sebutan pintar. Misalnya, di sini kamu bisa tahu musik-musik klasik, nama-nama filsuf dan ajarannya, sedikit tentang spritiual dan cara terbaik membunuh orang dengan bayonet.


Dengan demikian, Murakami semacam memberikan referendum bahwa dirinya memang penulis kelas dunia. Tidak berlebihan kalau kita menyebutnya sebagai Franz Kafka-nya Jepang, setuju kan?