UA-51566014-1 Catatan Harian: September 2013

Jumat, 27 September 2013

Simfoni Kehilangan Metrum Tertinggi

Aku merindukanmu.

Entah harus dianalogikan dengan apa. Semua telah mengalir dalam alunan hidup. Sunyi, sepi, hampa. Tiga kata yang tak terpisahkan dari kepergianmu.

Di bulan ini, tangis keluar lebih banyak daripada keringat. Padahal aku selalu tau waktu takkan mundur sejenak. Menelan duka menjadi racun yang kian pahit ketika diingat. Kecuali kenangan.

Pa, aku tidak mengerti ukuran ikhlas. Jika ikhlas adalah melupakan. Maka mustahil kata itu terjadi. Sementara tak satu haripun kau pergi dari genangan luka. Luka, karena kau takkan kembali untuk menghapusnya.

Dua puluh tahun adalah episode yang berat. Seperti klimaks sebuah cerita, saat kurusetra merah darah. Itupun masih kurang duka, toh mahabrata dirancang sedemikian rupa. Maut, air mata dan cinta, ada di dalamnya. Namun tak lebih dari sekedar epos.

Atau sebenarnya, eposkah hidup itu?

Manusia tak pernah minta dilahirkan. Tetapi ketika ia mulai mencintai hidup. Maut merampas seolah semua haknya. Lalu untuk apa kelahiran, jika ujungnya kematian?.

 Oh, mungkin untuk menjawab rahasiaNya.

Terlalu sederhana jika segenggam tanah dijadikan manusia, untuk kembali ke tanah lagi. Pasti ada misi di dalamnya. Misi yang tak pernah kita tau apa. Mungkinkah bapakku sudah memahami jawabnya. Sehingga bumi mempersilahkan dia kembali?

Aku merindukanmu.

Tapi rinduku ini hanya serupa: “panggilan tak terjawab” di layar ponsel. Sedang aku tak pernah tau bagaimana agar bapa menjawabku.

Aku merasa kehilangan pelindung nyata. Tempat bertanya dan mengadukan apa saja. Suatu hari nanti, ia takkan datang menjabat tangan seseorang yang akan menggantikannya. Tak ada ketika pertama kali aku memakai toga. Bahkan tak ada, untuk sekedar kucium tangannya.

Cinta yang pernah dia beri, cukupkah bagi kami untuk bertahan? Menjalani sisa waktu tanpanya. Tanpa seseorang yang menjadi simbol kekuatan keluarga. Ya, kami kehilangan kepala. Yang selalu memikirkan hari depan dengan logika.

(Tulisan ini hanyalah refleksi perasaan tak sampai. Ketika seseorang kehilangan salah satu metrum tertinggi dalam simfoninya. Saat yang ada kembali ke tiada.)




Sabtu, 14 September 2013

Kepingan


Waktu kecil, kami berempat pernah berandai-andai menghadiahkan mobil. Tinggal di sisi kanan dan kiri rumah. Membangun keluarga besar yang tak beranjak dari sekitar rumah masa kecil.
Waktu  kecil, dia suka sekali mendongeng. Tentu saja tak gratis. Semua harus berdasarkan seberapa besar alat bayar. Ada yang mengandalkan pencabutan uban, pijat atau mengambilkan minum. Dan dia menerima semua jenis pembayaran yang bergantung pada kemampuan.
Dia suka membantu kami mengerjakan PR. Seperti dia suka menambahkan matematika dalam PR kami. Dia juga guru bahasa inggris dan musik yang baik. Aku bisa membaca not balok sejak SD berkat dia. Aku suka puisi dan novel berkat dia. Orang itu, sangat peduli pada pendidikan kami. Membantu menemukan jati diri dalam sejumlah daftar mata pelajaran.
Kalau ada lomba lucu2an, dia pemenangnya. Kalau ada lomba galak2an, dia juga menang. Multi talent kan? Ya, begitulah dia.
Dia sombong. Selama dua puluh tahun menjadi anaknya, aku jarang sekali dipuji. Bagaikan anak adalah beban pemberat. Tapi tanpa dia aku tak akan pernah jatuh cinta pada sastra. Takkan pernah menjuarai lomba. Dan takkan sampai sejauh ini.
Aku tahu sebenarnya belum sampai ke mana-mana. Dia bilang juga begitu.
Belakangan ini, aku baru tahu bahwa ada yang merencanakan aku menjadi the next ‘dia’. Dan orang itu adalah dia sendiri.
Belakangan ini, aku juga tahu dari bibi, dia sering menyebut namaku dengan bangga. Sesuatu yang tak pernah ditunjukkan selama dua puluh tahun terakhir.
Selama ini dia pelit. Tapi ternyata sekadar perhitungan. Karena terlalu terbiasa dengan matematika.
Selama ini dia galak dan suka membodoh2i. Tapi ternyata justru caranya menyemangati.
Salama ini aku terlalu egois untuk menjadi apa yang kuinginkan. Tanpa mengindahkan sarannya.
Dan setelah waktu menutup semua kesempatan, aku baru sadar bahwa aku mencintainya. Mencintainya seperti udara. Sehingga saat kehilangan, dada ini sesak sekali. Takkan ada lagi manusia seperti dia dalam sisa hidupku. Singkatnya, kami takkan bertemu lagi. Sebesar apapun aku merindukannya, tak ada hari yang mau mempertemukan. Kecuali Tuhan berbaik hati memberiku mimpi. Dan mungkin di akhirat nanti.


Kamis, 12 September 2013

Mozaik Agustus

30 Agustus 2013:

aku masih aku yang cuek dan tidak peduli. Dengan bodoh aku terus berpikiran bahwa semua akan baik-baik saja, kembali seperti sedia kala. Meski dasar hatiku menjerit, “air mukanya sudah berubah, kosong, seolah menunggu sesuatu yang entah.”

Dia, orang yang belakangan kusadari bahwa aku sangat menyayanginya, sudah tidak pernah berinteraksi sejak seminggu terakhir. Aku menyesal karena terlalu banyak kebodohan yang mengitari otak, padahal itu hari-hari terakhir. Jika tahu, tidak pernah sedetikpun akan kutinggal, tidak seharipun aku menginap di rumah kakak, dan tidak sekalipun bilang tidak. Ingat betul ketika dia memanggil “Tang” (sapaan tunggalku di seluruh dunia, hanya ayah yang memanggil begitu), melambaikan tangan tanpa suara. Ah, tak bisa dihitung kebodohan yang terlewat.

Malam itu, entah kenapa seorang ‘bapa’ yang selalu sangat sulit dibujuk, tiba-tiba menyerahkan diri untuk dibawa ke rumah sakit. Sikapnya pasrah, tidak menolak bahkan begitu menyenangkan untuk ukuran orang konservatif. Semua terlihat sempurna, apalagi saat melihat ibu yang melihat itu sebagai kesempatan baik. Aku dan adikku yang kebetulan juga bodoh, kami bertiga setuju-setuju saja. Lalu berangkatlah beliau dengan mobil yang baru dibeli sehari sebelumnya. Bersama: ibu, mas bowo, pa Gatot dan pa Sokwan.

31 Agustus 2013:

Bisa dibilang Agustus adalah segalanya. Ramadhan, lebaran, HUT RI dan musim karnaval. Aku menikmati keempat hal itu tanpa tahu sedikitpun hal paling penting yang harus diperhatikan. Sayangnya aku sudah terlanjur menjanjikan waktu pada kakak untuk merawat si kecil Shaka. Tentu saja semua janji harus dipenuhi. Maka tanpa paksaan, Gita juga kutinggal seorang diri.

1 September 2013:

Pagi-pagi, aku pulang ke rumah dan nyaris marah besar karena penghuninya masih tidur. Bayangkan, hari terakhir di rumah, bapa sudah masuk ICCU, dan aku membuang waktu satu jam lebih untuk menunggu orang bangun. Mangkel tiada tara.

Sekitar pukul sepuluh kami (aku & adik) , sampai di RS Harapan Anda. Langsung menuju ruang ICCU, namun bapa sudah dipindah diruang cuci darah. Aku merasa sedikit aneh, kenapa harus ada kejadian cuci darah dalam waktu kurang dari 24 jam. Kenapa tidak ditunggu dulu bagaimana kemajuannya.
Begitu masuk ICCU, kami diusir, katanya bapa sedang di ruang lain. Kami bergegas menuju ruang itu. Ternyata ada mba ida, 2 budheku, tante dan om.

Bagaimana ya, segala sesuatunya sudah terlalu dramatis untuk diceritakan. Bapa, orang paling kuat, keras, galak dan tidak pernah kalah oleh sakit, kondisinya membuat mataku berair secara spontan. Pelupuk mata ini panas, bahkan untuk bernafaspun beliau harus menggunakan ventilator. Anak mana yang tetap biasa saja menyaksikan malaikatnya tidak berdaya. Bapa yang dengan kreatin 300, urium 500 masih bisa sadar, tiba-tiba terlihat lemah. Mba ida dan gita sudah menangis, bahkan budhe dan tante juga. Tapi aku tidak bisa. Kesulitan terbesarku adalah nangis di depan orang lain, kecuali yang hatiku merasa aman bahwa tangisan takkan mengubah persepsi apa-apa. Mataku hujan deras, tapi tak terisak. Hanya mengalihkan pandang ke mana saja barangkali mampet mendadak. Lagipula bagiku nangis memalukan karena aku tak pernah membahagiakan siapapun.

Di sana aku masih bisa menjaganya, mengelus pundak bapa. Berbisik apa saja untuk menghibur walaupun aku tahu itu bukan kalimat yang kuat. Tekanan darahnya 180, urium 300, dia masih berinteraksi meski tanpa suara. Matanya masih bicara.

Siangnya Bapa tidur tenang sekali. Sehabis sholat dzuhur aku juga ketiduran.

Menjelang sore, bapa makan lewat cairan semacam infus. Keadaannya mulai stabil. Dan karena sore adalah jam pembersihan ruangan di mana pasien harus ditinggal sendiri, aku dan ibu pergi untuk makan. Kemudian dilanjut sholat ashar.

Sebelum pulang aku pamit pada bapa. Tekanan darahnya naik 200. “why?” batinku. Begitu melihatku, bapa seperti kaget dan langsung memalingkan kepala agar lebih fokus. Yang kulakukan waktu itu hanya berusaha berbicara sebaik mungkin, mengelus pundaknya dan mencium. Di titik ini aku merasa tenang sudah berhasil mencium kening bapa. Mungkin semacam salim.

Sepanjang perjalanan pulang pikiran tertuju pada satu hal, bapa. Bagaimana bisa merantau  dengan tenang sementara belahan hati dirawat, di ruang ICCU pula. Sepanjang sisa hari walaupun mencoba terus bercanda dengan gita, suasana tak sesederhana tawa kami. Mba ida berusaha menenangkan dengan terus berkata, “bapa akan cepat sehat.” Firasat hatiku menolak, membayangkan September begitu berat, seperti akan kehilangan sesuatu yang besar. Malamnya aku tidak bisa tidur. Kamar berjendela besar memang phobia kecilku. Baru pukul setengah dua kantuk datang. Aneh, mataku berkedut kencang dalam durasi panjang. Lalu mendengar suara hembusan nafas berat entah dari mana. Aku merasa akan ada kejadian yang mencegah keberangkatan besok.

2 Semptember 2013

Setelah hanya tertidur dua jam. Pukul setengah lima gita menggendor pintu kamar dan memaksa mata terjaga. Kami ribut karena dia terus memaksaku mandi. Padahal dingin tidak mufakat. Lalu aku membuka hape, satu pesan berbunyi: “intan mbtn usah pangkat.” (pukul 02-sekian WIB) Aneh, bukankah kemarin sudah direstui untuk berangkat. Aku sih senang2 saja menunda dua puluh empat jam. Toh kuliah pertama adalah nama lain dari ‘jam kosong beruntun.’

Seperti biasa, seusai sholat aku ngaji. Baru dua lembar tiba-tiba adikku menjerit, “Bapaaa..” teriaknya panjang sambil tersedu-sedu

Sontak aku berlari menghampirinya. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tapi semua sejelas tangisnya. Sejelas bagaimana mulutnya Cuma sanggup membentuk satu leksem: BAPA. Tak ada sebab yang meloloskan segala kekuatan untuk berdiri, Lutut serasa ditarik lepas, Gravitasi pergi entah ke mana. Kehilangan besar telah terjadi.

Aku sebisa mungkin membereskan diri sendiri. Mandi, berpakaian rapi dan merapikan rumah. ibu masih di RS bersama bapa. Ah waktu itu aku tak tega menyebutnya jenasah.

Sementara bapa dalam perjalanan pulang, orang berduyun-duyun datang. Aku heran, ada saja yang terus menerus bertanya bapa sakit apa. disuruh menceritakan sejak awal masuk RS. Padahal bicara pun aku sudah merasa kesulitan. Untuk pertama kalinya aku tidak peduli jika harus nangis di depan siapa saja. Tapi tangisan terbesarku terjadi saat mensholati jenasah. Meski tanpa suara, pipiku seperti sungai yang diterjang bandang. Memang, aku selalu sukses menangis dalam diam, tanpa terisak, tanpa sedu sedan. Baru setelah selesai sholat kelopak mata bengkak bak disengat lebah, kepala pening luar biasa. Ini peristiwa yang sulit, jauh lebih sulit daripada tidak lolos SNMPTN.

Ibuku, ya ibuku satu-satunya yang tidak menangis waktu itu. Wajahnya bersih, seolah bapa hanya pergi ke warung sebelah. Disusul masku, yang kendati wajahnya merah, begitu teratur dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Tapi belakangan aku tahu kalau ibu sedih luar biasa. Dia hanya tak mau terlihat lebay, dia mencintai ayah seperti mencintai diri sendiri. Dan masku, saking sedihnya sampai lupa pakai sandal ketika memakamkan. Terbakarlah telapak kakinya di jalan beraspal.

Pukul 1 siang, bapa dimakamkan. Aku ikut. Diluar dugaan, ternyata aku kuat dan biasa saja. Tapi malamnya benar-benar tak terdeskripsikan. Sepanjang sisa tanggal 2 september, aku terus berpikir bapa sedang apa di sana. Ditindih tanah dan pasti gelap sekali. Setiap kepikiran nangis, papasan sama foto nangis, denger tahlil nangis lagi. Benar-benar hari tercengeng selama dua puluh tahun terakhir. Aku pikir ini momen yang saat kecil diadakan lomba nangis, aku akan mendapat turus terbanyak.

Ibu selalu bilang, “orang meninggal itu seperti nonton tv. Tau apa yang terjadi, tapi tak bisa berbuat apa-apa.” Jadi kesalahan, kebaikan, kesedihan akan berdampak pada perasaanya di sana. Pahalanya kini tergantung pada tiga hal. Ilmu yang bermanfaat, amal jariyah dan anak yang soleh. Untuk ilmu yang bermanfaat, bapa seorang guru, jadi Insya Allah terus mengalir. Amal jariyah, aku yakin beliau pernah melakukannya. Anak yang soleh, ini orientasi terbesarku sekarang. Aku percaya, jika kita sama-sama baik, Allah pasti ridho untuk mempertemukan dalam surgaNya. Tidak ada lagi sedih. Bapa sudah menyelesaikan masanya di dunia. Sudah menjadi ayah yang baik dan sangat menghibur.


Wahai makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu. [SHG]

Rabu, 04 September 2013

Untukmu yang (Tak Pernah) Pergi

Sudah selesai pa, tak perlu risau

Pundak kami telah cukup lebar

Memangku sendiri pemberatmu

Berjalan untuk kemudian sampai

Berkumpul lagi dalam suatu masa yang kita tak tahu kapan

Pada istana yakut, ketika kautsar tlah halal


Insya Allah