UA-51566014-1 Catatan Harian

Senin, 17 Agustus 2020

Success Is Not A Self-made Product

 

  (Review The Outliers by Malcolm Gladwell) 

 

            Hai. Jadi saya baru selesai baca buku, dan itu membuka perspektif saya ke beberapa hal yang sebenarnya “the way it is”, tapi pandangan sebagian orang terlanjur stuck oleh konsensus masyarakat. Judulnya Outliers: The Story of Success.

            I  know the definition of success depends on our personal reference. Nah, bukunya Malcolm Gladwell ini menubirkan kesuksesan orang-orang yang kemudian disebut ‘Outliers’. Tapi outliers di sini adalah mereka yang sukses melampaui rata-rata umat manusia. Kalau bahasa konspirasinya itu Elite Global.

            Membaca buku ini berpotensi membuat kamu (yang sering merasa gagal) sedikit lega. Karena sukses itu bukan cuma tentang kerja banting tulang lempat lembing, tetapi memang ada beberapa variable yang membuat kesuksesan mudah bagi sebagian orang, dan susah ampun-ampunan bagi lainnya.

Selama ini sukses terlanjur dipandang sebagai mukjizat individual, ketika sejatinya banyak faktor yang menopang. Orang sukses tidak lahir sendirian, mereka diantarkan ke titik itu. Oleh apa? Ya oleh hal yang mau dibahas di sini:

·         Kesempatan

 

Seseorang lahir bersama privilege yang menyertai mereka. Yaitu hak istimewa yang tidak dimiliki kebanyakan manusia. Bentuknya macam-macam, bisa berupa well educated parents, fisik rupawan/rupawati, otak cemerlang dan kesempatan (tentunya masih banyak).

 

Outliers, pastinya adalah orang yang memiliki kesempatan dan melejit melalui itu. Tidak mungkin seorang yang tak berkesempatan belajar baca-tulis, mengharumkan nama negara sebagai peraih nobel sastra. Melek aksara merupakan modal utama untuk menuangkan pikiran melalui kata-kata. Jalan satu-satunya adalah memiliki peluang yang merupakan setapak pertama dari segala pencapaian.

 

Sebut saja Ernest Hemingway, peraih nobel sastra tahun 1954. Ia lahir tahun 1899 dari seorang ibu musisi dan ayah ahli fisika. Keduanya merupakan orang-orang well educated dan well respected. What’s more a kid could ask for?

 

Hemingway menjalani masa sekolah di tahun-tahun ketika perang dunia I meledak, dan tidak banyak orang cukup nyaman sekadar belajar. Tapi dia memiliki kesempatan yang tentu berguna jauh ke jenjang panjang kehidupannya.

 

Jelas bahwa sukses merupakan akumulasi keuntungan yang dimanfaatkan individu bersangkutan. Tapi masyarakat terlalu sering kagum buta terhadap kesosokan. Tanpa melihat kenapa rumput tetangga lebih hijau.

 

·         The Great Ten Thousand Hours

 

Pernah dengar kalau ingin jadi ahli di suatu bidang, kita perlu practice setidaknya sepuluh ribu jam? Itu kalau dilakukan secara konsisten selama 8jam/perhari, memakan waktu sekitar tiga setengah tahun. Tapi kita kan makhluk sosial yang punya peran dan tanggung jawab, seperti sekolah, kerja, tidur, ngerumpi dll, sepuluh ribu jam jelas waktu yang sulit dicapai dalam tiga tahun straight. It’s an enormous amount of time, you need to have a parents who support you as much as your effort for the passion itself. You can’t be poor because side job or everything you do to earn money won’t spare enough time to practice.

 

See? It costs a lot. Untuk mencapai sepuluh ribu jam seseorang butuh kondisi khusus.

 

·         Geniuses

 

Kalian pasti punya teman sekolah yang saking pinternya, nilai raport dia macam karya seni: estetis dan nyaris mustahil kecuali dikerjakan ahli. Orang-orang yang bikin kita bertanya mereka makan apa, atau ibunya waktu hamil ngidam apa (nyemil buku kali ya). Aliasnya keponakan Einstein.

 

Nah mereka ini bisa jadi jenius. Dan jenius itu bakat alami, seorang yang secara natural merupakan outliers. Tapi apakah selepas sekolah mereka sungguhan jadi outliers atau minimal tokoh nasional? Belum tentu.

 

Ada seorang bernama Cristhoper Langan yang sering disebut Epitome of American Genius. Dia berbicara pada usia 6 bulan, baca-tulis umur 3 tahun dan menguasai matematika tingkat professor di usia 16 tahun (itu umur ketika segala yang saya pikir adalah tidur cepat dan bangun tengah malam untuk menyelasaikan PR). Langan memahami buku yang digunakan kurikulum selama 2 hari, dan berangkat sekolah hanya ketika ujian. Tapi siapa juga bakal protes, gurunya pun mungkin tidak lebih pintar dari dia. IQnya mencapai 195 poin, jauh di atas Einstein. Tapi apakah dia kemudian menjadi seseorang yang dicatat sejarah? Kecuali bahwa dia meraih IQ tertinggi, tidak. Dia mencukupkan diri sebagai pemilik peternakan kuda, hidup dengan damai di pedesaan bersama anak-istri.

 

Tentu semasa sekolah Langan merupakan ultimate outliers, melesat dapat beasiswa hingga perguruan tinggi, lebih dari mereka yang lahir dengan sosial privilese. Faktanya dia memang begitu kekurangan, dalam wawancara di buku ini, diceritakan bahwa ia benar-benar telanjang selama beberapa jam untuk menunggu baju kering (tak ada baju lain). Sayang beasiswanya terhenti karena sang ibu lupa memperbaharui rincian keuangan. Drop outlah ia, macet di tengah jalan.

 

Langan yang jenius tidak berminat mengejar gelar akademik ke ujung dunia. Jadi pemilik peternakan kuda merupakan upgrade yang jauh melebihi orang tuanya. Ia tumbuh di keluarga yang memicu anak untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Bayangkan jika Langan bertukar posisi dengan Hemingway, apakah mereka tetap orang yang sama?

 

Kecerdasan dan pencapaian pada akhirnya bukan sesuatu yang sebanding. Orang jenius belum tentu jadi outliers. Segala potensi yang Crish Langan punya berakhir dalam kefrustrasian. Dia tahu seharusnya bisa mencapai lebih, mungkin benar-benar menjadi Elite Global, tetapi Langan tidak tahu caranya. Dia tidak mastering sesuatu yang orang standard bisa melakukannya, seperti kemampuan negoisiasi dan komunikasi. In other words, not even a genius makes his success alone.

 

·         Cultural Legacies

Cultural Legacy merupakan warisan kebudayaan yang mempengaruhi kesuksesan seseorang. Emang ada? Ada banget.

Faktanya, siapa kita tidak bisa dipisahkan dari tempat asal kita, mau selupa apapun kacang pada kulitnya. Sebab cultural legacy mempengaruhi attitude dan behavior seseorang. Misal, mengapa orang Batak banyak yang jadi pengacara hebat? Konon di Batak ada kampung yang menjadi titik penegakan hukum di Samosir. Terdapat pengadilan berupa batu berbentuk meja dengan kursi melingkar. Sudah menjadi habit orang sana untuk mempersidangkan konflik melalui hukum adat, yang disaksikan masyarakat. Bisa disimpulkan bahwa sukses merupakan produk dari tempat-tempat dan lingkungan seseorang berasal.

 

            Hal-hal di atas merupakan sedikit yang terdapat di buku Outliers. Saya tidak mengatakan bahwa orang dengan privilege bisa sukses tanpa usaha. Tetapi hak-hak itu berkontribusi banyak persen dari kesuksesan mereka. Setiap orang berangkat dari titik nol yang berbeda.

            Buku ini menyadarkan bahwa kesuksesan tidak dimonopoli otak cemerlang saja, tetapi mereka—yang memiliki kesempatan, kekuatan dan keteguhan hati— untuk meraihnya. Kamu diizinkan belajar tanpa interupsi pun sudah merupakan privilege besar. Banyak orang yang baru buka buku sudah diteriaki, “Kae loh joglone reged, mbok disapu. Cah wedok jagongan wae.” The least we can do is to give that kind of privilege to our kids.

            Oke sampai di sini. Teruslah hidup karena waktumu masih ada.

 

 

Senin, 15 Juni 2020

Lesson From “The Things You Can See Only When You Slow Down”





One of the nicest thing from reading a self-help book is that you can found a lot of contemplative quotation. Nah, beberapa hal yang mau saya bagikan (dari buku berjudul di atas) antara lain:
  •  I’m sure you have heard the saying “Cogito Ergu Sum”. Yep, the famous “Aku berpikir maka aku ada.” Dahulu saya cuma bisa meraba-raba maksud dari proverb latin tersebut. Kira-kira (menurut saya) adalah eksistensi kita nyata karena jelas-jelas kita dapat memikirkan hal tersebut. Tetapi buku karangan Haemin Sunim ini memberikan insight baru. Realita/kenyataan ada karena pikiran kita. Dunia/universe bukan hanya yang ada di dalam pikiran/kehidupan kita. Ada banyak tempat lain, bangsa lain, dan kehidupan lain. Sekaligus, sebagian kecil tersebutlah yang menjadi universe kita. Itulah kenapa ada yang mengatakan bahwa the whole universe existed in ourselves.


Bagaimana? Bingung? Saya juga. Tenang, masih banyak hal-hal membingungkan lainnya. I guess this is perks of being “The Things You Can See Only When You Slow Down”

  •          Kita tidak selalu apa yang kita pikirkan. Pernah baca (di buku Mark Manson) bahwa otak manusia merupakan penipu ulung. Otak cenderung memproses hal-hal negatif dan melakukan banyak denial. Itulah kenapa kita merasa buruk ketika over thinking. Don’t believe everything we thought about ourselves. Apalagi mempercayai sepenuhnya judgement orang lain tentang kita. If you wish to clear away the clouds of your thoughts, simply keep your mind in the present. The clouds of thought linger only in the past or the future (Haemin Sunim).

  •         Ketika memaksa seseorang menyetujui pemahaman kita, sekalipun benar, sesungguhnya ego kitalah yang sedang berperan. Terkadang kita mencampuri urusan orang lain, merasa melakukan itu untuk kebaikan mereka. Tanpa sadar kita sedang menganggap mereka tidak mampu mengambil keputusan untuk diri sendiri. Don’t give advice unless you’re asked. Ketika memaksa, sejatinya kita bukan melakukan kebaikan, tetapi melancarkan rasa haus akan kontrol.


Begitu pula dengan cinta, saat kita berniat mengubah, berarti bukan mencintai orang itu melainkan mencintai ilusi kita sendiri. Cherish the person, not our feeling. 
  • ·    When you are making a decision, try to assess how many people it will benefit. If it satisfies only your ego and unnecessarily hurts many, then it is the wrong decision (Haemin Sunim).


Rabu, 15 April 2020

Piece of Mind: Suicidal



11 April 2020


            Jadi, saya follow salah satu language enthusiast di twitter, sejauh kemarin tweet beliau saya anggap berkualitas dan sarat informasi, kadang juga berupa motivasi. Tapi tadi sore saya terkejut karena tweetnya sangat heart stopping. He’s trying to hurt himself in way most people wouldn’t understand.

            Saya harap beliau selalu baik-baik saja, dan mudah-mudahan dengan adanya tweet itu siapapun nggak akan menyakiti dia lagi, tidak pula dirinya sendiri. Dan gara-gara itu, saya jadi berkesimpulan bahwa most people in twitterland respond better toward some issues than other social medias. Beberapa tahun lalu ada seorang yang commit suicide dan entah siapa menggunggah ke fb (itu tetangga desa btw tapi saya nggak kenal). Nah pas saya baca kolom komentar, rasanya mau nangis. Isinya hujatan, penghakiman, lelucon bahkan, padahal yang sedang mereka bicarakan adalah manusia, literally manusia yang sudah nggak bernyawa. Menurut saya respon kayak: kurang iman, mau mati kok bilang-bilang, gitu doang bunuh diri, komentar demikian bukan hanya dangkal tapi jahat.

            The thing is, same problem could happen to two people but the respond can be very different. Misalnya aja ketika orangtua meninggal, sekeluarga pasti responnya beda-beda. Si A bisa kehilangan motivasi hidup, si B justru termotivasi buat jadi tulang punggung keluarga, si C hancur banget sampe pengin nyusul. Perbedaan respon ini faktornya banyak, dan sensitivitas manusia kan beda-beda, perspektifnya atas suatu peristiwa juga beda (krn dipengaruhi pergaulan, konsumsi bacaan/seni/hobi). Coba dirasain, misal jadi B, bijak nggak ngomong ke si C bahwa B harus jadi tulang punggung (sementara dia tahu Si C ini masih bocal yang labil).

            Semakin tua, saya sadar bahwa manusia hampir selalu lebih rumit dari kelihatannya. Respon mereka terhadap orang, peristiwa dan situasi, berbeda-beda tergantung yang dihadapi. Manusia seperti menggunakan topeng dan kepribadian merupakan caranya memainkan peran. Orang lain yang hanya tahu sekelumit, tidak bisa menghakimi sebab pengetahuannya terhadap yang bersangkutan sekadar yang dibagikan saja. Karena itu, tidak bijak juga menjustifikasi tindakan suicidal, meskipun kenal pun kita tidak tahu sejauh mana pikiran mereka bekerja.

            Masih berkaitan dengan suicidal, ndelalah saya baru selesai baca buku yang satu topik. Judulnya All The Bright Places. Memang itu buku fiksi, tapi fiksi juga ditulis dengan riset, dan kita bisa mengambil pelajaran dari esensinya. Self-harm, dalam semesta behavioral manusia, sering dianggap sebagai upaya cari perhatian. Orang cenderung menganggap aneh dan caper manusia-manusia yang punya tendensi self-harm. Dan ya, memang benar, mereka mencari perhatian. Tetapi perhatian itu sungguhan perhatian, yang mengosongkan pikiran, yang melegakan sesak di dada, yang menampung kata-kata sebab ia mau didengar bukan dihakimi.

            Kebanyakan, kode suicidal ini hanya dianggap caper belaka, dan tidak dipedulikan kecuali sungguhan terjadi. People never care unless the person die.

            It will generally be found that, as soon as the terrors of life reach the point at which they outweigh the terrors of death, a man will put an end to his life (Arthur Scoepenhaur). Kematian itu menakutkan bagi yang hidup, beberapa orang masih berpikir demikian. Sampai pikiran-pikiran itu menguasai dirinya, seperti kegelapan yang mengambil alih lalu dia tidak melihat alasan apapun selain pergi menuju ketiadaan. Dalam kondisi demikian, orang yang bersangkutan merasa sendirian, dan tak punya pilihan lain meskipun sebenarnya ada. Dia hanya ingin menghilang.


           
           



Minggu, 22 Maret 2020

Get to Know Stoicism





Have you read Filosofi Teras? Yes, you should. It’s somehow helps the reader to makes amend with themselves. No, I’m not the marketing team haha. It just, the book gives some positive impact on my perspective. And I’m started to read books related to it—so far only one book xixi.

Filosofi Teras is not underrated and its popularity doesn’t diminish the value of it. But, I agree with the writer who says that Filosofi Teras is still basic in the whole stoicism. But it is enough to attract you into stoicism.

If you wanted to know what stoicism is, just use google. Things I want to share here is what I catch from that book. Oh, and I have read Marcus Aurelius’s Meditations. This is it:

·         Focus on Things Under Our Control.

This world favored dichotomy much. In the planet of things, stoicism divide everything into two: things under our control like our effort, our daily habit and mainly our very own perspective, etc. The rest is the uncontrolled things, such as people’s opinion, the result of our effort (since it’s involve someone else’s judgement), etc.

Sometimes people mix those things up. As a result we often doing denial a lot, looking for any error to blame rather than evaluating ourselves. It is ourselves: the culprit, the very person who responsible toward everything and need to be blame first. And if we have try our best but still lose the battle, it’s mean the other competitor just better than us. At least we’ve put maximal effort (thing under control) and defeated by great external. It’s way more honorable rather than losing because of our minim effort.

·         Mind Control

This point kinda related with point one. It is our perspective that sometimes hurt us the most. For example when we have broken heart. We blame the person who (we suspect) caused it. Does that person really responsible over the heart we carried? Actually not, it us who put too much expectation on someone. In fact nobody obligate to fulfill our wish as we are to them.

As Epictetus said, “It’s not thing that trouble us, but our judgement about things.” Sometimes we are disturbed by external (or uncontrolled thing) much. It is actually us who trouble ourselves by making some scenarios in our head. For example, one of your closest friend had a birthday party but didn’t invite you. What would you think? Did you by chance feel betrayed? Well then, it’s means you still affected by external things. The only fact here is that your friend doesn’t invite you, period. Your various judgement such your friend disrespect you or he/she is forgetting you, are the actual venom of your hurt feeling.

See, the way someone sees thing is very influential to their own peace. Don’t disturb yourself by making scenarios. Even if your judgement were true, so what? It doesn’t affect your wellbeing, right? Thoughts are not facts.

·         Validate (People Who Hurt Us Maybe Don’t Have Real Intention)

In line with the point above, we need to confront our thought. Aduh… saya capek ya berusaha pake bahasa Inggris (mana belum tentu bener), jadi intinya begini, orang (yang kita kira) menyakiti kita sesungguhnya belum tentu bermaksud menyakiti. Makanya ada istilah “kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja.” Karena hati manusia adalah daleman yang sangat privat alias hanya diri kita sendiri yang tahu.

Kita pakai contoh yang tadi. Bisa saja si teman yang nggak mengundang kita memang acaranya dikhususkan untuk keluarga. Tanpa disadari dia sudah menyakiti kita padahal nggak bermaksud, atau bahkan dia nggak berpikir sejauh kamu. Dan meskipun dia memang sengaja menyakiti kamu, dia pasti bergerak atas motivasi yang dikira benar, atas egonya sendiri.

Jadi orang-orang yang menyakiti kita justru harusnya justru diberi simpati. Mereka kekurangan common sense atas pantas/tidak pantas dalam memperlakukan orang lain. Jadi lebih baik dimaafkan saja untuk ketenangan kita.

Nah kan, jadi semakin susah cari celah buat sakit hati? Ya memang itu poinnya. Punya hati kok disakiti sendiri. Tindakan orang lain nggak akan pernah menyakitkan selama kita nggak mengizinkannya. Kita harus jadi tuan atas perspektif sendiri. Setuju? In the end, it’s internal peace that we need the most.

·         Give Ourselves Time Before React

This is it. Sometimes we are too fast to spat, quick to judge and eventually make tubir or hurt someone else’s feeling. Coba pikir apakah sesuatu yang bikin kita marah masih menjengkelkan tiga hari ke depan? Kalau enggak berarti sepele sekali. Stoicism teach us to control the automatic judgement of ours. Yakni dengan cara berikut:

-          Ingat bahwa kita sendiri nggak sempurna
-          Ingat bahwa efek kemarahan lebih berbahaya dari penyebabnya (dalam hubungan interpersonal)
-          Ingat bahwa orang menjengkelkan kita belum tentu bermaksud begitu. It could happen out of common sense.

Jadi perlu ada periode tertentu sebelum marah (misal kasih jeda bernafas/hitung 15 hitungan dll), gunanya adalah untuk menjernahkan pikiran kita.
.
.
Ya itu aja sih inti yang mau saya tuliskan. Soalnya biar nggak lupa. Oh ya, saya tetep saranin semua makhluk hidup buat baca Filosofi Teras dan buku-buku stoisisme lain (ada Seneca, Epictetus, Marcus Aurelius dkk). It’s not wise to always test the temper of a creature of flesh and blood especially ourselves. Yang saya sukai dari stoisisme adalah pembahasannya yang fokus pada internal peace dan wisdom sih. Jadi kalau ada sesuatu yang sekiranya sialan itu kita melihat ke diri sendiri dulu, bukan moro-moro nesuni wong. Ini cocok bagi yang short temper atau yang dasarnya sudah ada bakat stoic.



Daftar Pustaka:

Manampiring, Henry. 2018. Filosofi Teras: Penerbit Buku Kompas.

Aurelius, Marcus. 2006. Meditations: Penguin Books.



Rabu, 26 Februari 2020

Bias Gender dalam Kasus Perselingkuhan


Masih ingat video perempuan dilempari uang dan dimaki-maki sebagai pelakor? Iya, yang pakai bahasa jawa itu? Kalau tidak ingat atau belum lahir waktu itu, ya nggak apa-apa sih. Yang akan saya bahas di sini adalah bagaimana stigma perselingkuhan di masyarakat.

            Semua manusia (termasuk kita) punya potensi berselingkuh dari pasangan. Kalau di cerita romance wattpad mungkin selingkuh dilakukan oleh badboy yang dasarnya playboy. Tapi, di realita, selingkuh adalah penyakit yang bisa menjangkit siapa saja. Termasuk pria baik-baik, orang yang memiliki pasangan cantik/ganteng, mereka yang keluarganya tampak baik-baik saja.

            Selama ini jika ada yang selingkuh maka akan langsung menyorot ke dua pihak, yaitu pasangan sah (istri) dan pihak ketiga (pelakor). Misalnya dengan mempertanyakan tingkat kebecusan istri sehingga suami sampai berselingkuh. Atau dengan menghujat pelakor sebagai pihak paling berdosa. Video menghujani pelakor dengan uang yang sempat viral (dan komentarnya), membuktikan bahwa masyarakat gemar sekali mengkambing-hitamkan satu pihak. Parahnya, saking kalap memaki-maki, jadi lupa pada aktor utama dalam drama perselingkuhan itu sendiri: si suami.

            Berikut stigma yang masih melekat di masyarakat kita dalam melihat kasus perselingkuhan:

·         Mewajari Laki-laki Selingkuh

Actually, this is so sick. Saya membaca sebuah artikel di Kompasiana judulnya ‘Mengapa Pria Baik-baik Bisa Selingkuh Juga?’ Oke, pada awal artikel diberi pengantar bahwa artikel tidak ditulis untuk menuduh istri tidak melayani suami dengan baik. Tapi sepanjang artikel, yang ditulis adalah justifikasi mengenai ego dan keinginan pria yang perlu di-boost. Misalnya seperti pria butuh seks bergairah, ingin dipuji di depan umum, istri perlu menjaga penampilan. Tidak ada satu point pun yang merujuk pada kekurangan pria atau ketidakpahamannya akan komitmen sehingga selingkuh.

Oke setidaknya dari artikel tersebut saya jadi mengerti bahwa laki-laki ingin ini ingin itu banyak sekali. Poinnya adalah, selingkuh dianggap sebagai hal wajar karena pria baik-baik pun tetap manusia biasa. The hell! Seolah-olah perempuan yang harus melakukan segala usaha agar pernikahan tetap berjalan, dan laki-laki adalah makhluk yang egonya mesti dijaga. Tanya kenapa???

Di masyarakat, alih-alih mengoreksi ketidakpahaman akan konsep berkomitmen bagi pria, malah lebih suka mengurusi pelakor dan ketidakbecusan istri. Apalagi dengan istilah puber ke dua yang mewajari jika pria jadi lenjeh seperti bocah. Padahal di dunia medis tidak ada istilah puber kedua. Puber hanya terjadi satu kali, yaitu usia 9 – 14 tahun (perempuan) dan 12 – 16 tahun (laki-laki). Dan istilah puber kedua itu entah dari mana dijadikan tameng atas keganjenan pria.

·         Self-Gratification & Intimacy

Menurut Mark Manson (penulis buku best seller The Subtle Art of Not Giving A Fuck), dalam diri manusia terdapat dua kebutuhan mendasar, yakni kebutuhan akan natural desire/kepuasan pribadi (makanan enak, good sex, tidur, games), dan kebutuhan akan intimacy (merasa dicintai dan keinginan berbagi kehidupan). Kedua hal ini harus seimbang dalam sebuah hubungan. Sayangnya, kita tidak bisa mendapat intimacy tanpa mengkompromikan self-gratification, dan sebaliknya. Yang terjadi dalam perselingkuhan adalah salah seorang terlalu mencari kepuasan pribadi dalam hubungan, dan kalau tidak dapat, mencari kepuasan pada selain pasangan. Sedangkan dalam berkomitmen, untuk mendapatkan intimacy seseorang perlu menekan self-gratification, misal kalau merasa tidak dihargai ya tanya dan dengarkan alasan pasangan mengapa mereka melakukan itu.

Pada point ini, jelas bahwa selingkuh merupakan akibat dari komunikasi yang tidak baik, bukan mengakibatkan komunikasi jadi tidak baik. Kalau ada yang kurang dari pasangan ya dikomunikasikan dong, itulah fungsi mulut. Sekaligus, justifikasi bahwa perempuan kurang melayani atau pihak ketiga terlalu menggoda, adalah bentuk ketidakpahaman kita akan konsep komitmen itu sendiri. Karena yang paling perlu dikoreksi adalah perselingkuhannya, apa yang perlu dibenahi dari pelaku dan memperbaiki trigger-nya.

·         Kambing Hitam Bernama Pelakor

Wuh, perempuan semangat dong bahas ini, tercium bau-bau antusiasme haha. Mari buka lagi memori perempuan dihujani uang. Adakah dari kalian yang justru risih melihat itu? Kalau ada, mari kita bergandengan tangan.

Memang wajar bila istri sah marah, tapi tidak lantas berhak melakukan public shaming dengan memvideo dan memviralkan, biar apa?

Lihatlah dengan mata terbuka bahwa yang paling tepat “dijak gelut” adalah pasangan sendiri. People don’t belong to people, jadi pria selingkuh ya karena mereka memutuskan berhianat pada komitmen. Laki-laki kan bukan benda mati yang bisa direbut. Mereka  homo sapiens alias binatang yang berpikir, dan pikiran itu seharusnya digunakan mengontrol perilaku, bukan asal jadi dimana pun dengan siapapun.

Sayangnya lagi, hujatan terhadap pelakor ini sebagian besar datang dari perempuan juga. Sejujurnya, dengan melabrak dan mengatakan bahwa suami direbut, perempuan telah melakukan objektifikasi terhadap laki-laki, yaitu memperlakukan manusia layaknya barang. Your husband is not your property. Tapi dengan mengajak bicara, kita menghormati mereka sebagai subjek dalam hubungan, dan menghormati diri sendiri karena berhasil menahan hasrat untuk tidak internalized misogyny.

Ngomong-ngomong soal penyebab pelakor dihujat, ada istilah queen bee syndrome yang di dalamnya terdapat internalized misogyny. Sindrom ratu lebah ini merasa terancam bila ada perempuan lain yang memiliki kualitas lebih. Sedangkan internalized misogyny adalah hal dalam diri perempuan yang membenci perempuan lain. It takes two to tango. Pada kasus perselingkuhan kan yang bersalah dua pihak, tapi yang mendapat sorotan hanya pihak ketiga. Kalau ada perempuan lain melakukan kesalahan ya ditegur, bukan dipermalukan dan direndahkan. Jika melakukan public shaming, kita hanya menyenangkan jiwa-jiwa penghujat tanpa memberikan solusi.

Demikian hal-hal yang masih menjadi area abu-abu dan menghasilkan penghakiman tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, terjadi bias gender atau pemihakan pada salah satu gender, padahal selingkuh melibatkan banyak faktor. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai encouragement atas stigma bahwa perempuan selalu benar. Tetapi bentuk ekspresi (miris) atas ketimpangan terhadap perempuan. Pun bila yang selingkuh perempuan, kesalahan tetap pada individu yang bersangkutan.  Mohon maaf pula bila ada kata yang menyinggung.

Selasa, 04 Februari 2020

Lessons From The Incident That Change Me Forever



Murakami is right on this saying:

One day you will experience an incident that changed you forever as a human being.

I guess I have experienced that moment myself. I used to think that everyone was kind, at least there’s kindness in someone’s heart even when society think otherwise. It is us who lack of understanding or simply don’t know their personality actually are.

I didn’t change my whole perspective about it though.

It’s just, at certain degrees I’m kinda shifted my pov into this:

Kindness isn’t absolute. It’s so relative depends on where and what kind of angle we look at. Yep, for me, kindness is like a view surrounded by people and its beauty depends on the positions of the observer. It might be good for us but means otherwise to others. And we can’t force it.

When you think you do something good, who knows that it could offends some people. Those people will spat angrily in instant. Don’t be surprised that even your close friend can hate you right away, [or you’ll be surprised that nobody trying to understand your motives]. Anger knows no bounds. It is because the kindness you’re committed to doesn’t fit someone else’s shoe. You aren’t wrong, neither do them.

Not everyone will accept your good intentions. Furthermore, they will hate you for unbenefited them. Especially those who close enough to have expectation on you.

The incident that change me forever got me these lessons:

      1)      Love people as much as you want. But don’t forget to put some distance. Proximity is a fertile ground for expectations. And expectation never ceased to hurt people.

 2)      Think carefully before making decisions that involve others.

      3)      Some people aren’t really wick toward us. Maybe they do bad out of knowledge. Forgive them for your peace.

       4)      Words have powerful impact on human memories. Watch your words.

      5)      Hurt is a matter of perspective. But still people gonna detach you if you are in a different term. So, get a grip, stand on your feet even when it’s mean to be all alone. Stay sane.

I’m most engaged with point 1, tho. Sometimes we damage our mental health by putting too much expectation on ourselves. It goes the same with putting expectation on someone else’s shoulder.

Okay, that’s all the things I wanna share about. Screw tenses.

Peace.



Kamis, 23 Januari 2020

His Way of Loving


Hai. Hari ini saya mau cerita dua hal yang bikin saya bersyukur. Saya merasa perlu menulis ini supaya nggak lupa cara Dia membuat saya takjub.

            Pertama, pas kuliah awal saya pernah ngekos yang bayarnya per tahun. Sudah dibayar lunas, eh pas baru ditempati sekitar sembilan bulanan saya disuruh keluar sama ibu kos. Alasannya karena mau ditempati anak kos baru. Lah  yang bener aja buk? Kan saya bayar setahun yang artinya 12 bulan, kok baru 9 bulan udah diusir. Mana ibu kos ngomong nggak ada manis-manisnya. Di situ saya sedih banget, mau tinggal di mana apa tidur di masjid aja ya. Mana budget saya buat kos perbulan cuma 300 ribu, dan susah naudzubillah nyari kosan harga segitu di Tembalang.

Akhirnya saya nyari kos bareng temen sejurusan yang nggak ada akrab-akrabnya. Tapi dari teman itulah saya kemudian ketemu kos baru dengan segala kemudahannya yang langka banget kalau dicari di Tembalang. Misal harganya yang 250k/bln (bayangkan coy mana ada kos harga segitu di Tembalang, bahkan di tahun 2012), minum dan listrik gratis, nggak ada piket, ibu kosnya baek bat (saya pernah nyuci belum kelar tak tinggal kuliah, eh pulang-pulang udah nangkring di jemuran), makan gratis di hari minggu, setiap puasa dapat takjil. Tapi yang paling berharga adalah teman kosnya yang kayak keluarga.

            Akhirnya saya sadar, kalau ibu kos pertama nggak ngusir, manalah mungkin saya kenal temen-temen kos rasa saudara. MaksudNya mungkin biar saya nggak sendirian, punya temen-temen yang menghibur soalnya tahun 2013 bapak saya pergi. Biar saya adaptasi dan akrab dulu sama temen-temen itu.

            Kedua, Desember 2017 saya mengalami kejadian yang menyedihkan di tempat kerja. Sedih banget pokoknya (to the point I thought about killing myself to prove something to some people). Alay banget? Iya, tapi orang kalau pikirannya lagi nggak beres mana sadar. Karena nggak betah banget, 2018 saya memutuskan resign dari tempat yang kayak neraka itu. Selang beberapa minggu saya sakit. Saya jarang sakit, tapi kali itu lumayan serius sampai berat badannya jadi 40an doang. Pas periksa diagnosanya beda-beda, kadang usus buntu, kadang tipes. Lalu disuruh kakak rontgen, dan taraaa… something is terribly wrong with my lungs.

            Akhirnya lagi, saya mikir bahwa mungkin itu caraNya biar saya istirahat. Kalau diterusin mungkin tubuh ini gagal catch up sama kehidupan. Soalnya aneh sih, kadang suka demam siang-siang, bediri lima belas menit aja mau semaput. Jadi yaudah deh istirahat aja. Plus saya bisa bonding lebih sama keluarga. Bisa bantuin kakak, ibu, bapak-bapak smua yang ada di siniii ehehe. Dan terpenting, supaya saya nggak semena-mena menggunakan tubuh ini, lebih rajin makan dan blabla.

            Jadi, saya menyadari kalau kejadian sesialan apapun pasti ada hikmahnya. Yang diperlukan hanyalah waktu untuk menemukan itu. Jangan buru-buru benci, mungkin orang [yang kita judge] antagonis justru gerbang kita untuk ketemu orang-orang baik. Saya justru pengin bilang makasih sama ibu kos pertama. Everyone who shared a certain period of time with us is important. Mereka punya peran tertentu barangkali, karena itu, jangan benci apalagi menganggap rendah. Kalau kata stoisisme, nggak satu orang pun sanggup menyakiti kita, kecuali kita izinkan. Take control of our own perception, so we could see thing as it is, without labelling it as good or bad.


P.S : I suggest you to read Filosofi Teras. Especially when you felt like WTF-ing everything.