UA-51566014-1 Catatan Harian: Oktober 2013

Jumat, 18 Oktober 2013

Teruntuk Malaikatku

Malaikatku,

Ya, aku tau sebenarnya kau malaikat. Kalau tidak, mengapa rela membiayai tanpa balas jasa. Kalau tidak, siapalah manusia ini dibanding semesta. Kalau tidak, mana mungkin aku menulis ini untukmu.

Cintaku, kau ada di urutan ke tiga bersama ayah. Yang wajib kusembah bila memang Tuhan berkenan membagi sesembahanNya. Sungguh tiada hak bagi hati ini untuk berkata ‘tidak’. Pada senyum yang selalu memberi tanpa pernah meminta. Hanya berharap lewat keriput yang aku tahu tak sesederhana kelihatannya.

Ibu, kau mungkin belum tau. Dalam setiap air mata yang kau susut dengan jarik kumalmu, adalah perih yang sama di pelupuk mataku. Ketidaksempurnaan yang kau tunjukkan lewat getar di tasbihmu, adalah rindu tak sampai yang aku juga punya. Inilah yang menyakitkan. Malaikatku tak pernah mampu mengatasi sifat manusiawinya. Dia tetap sakit, dia tetap terluka, dia tetap rapuh oleh pedang bernama kehilangan. Aku harus bagaimana? Terhadap beban yang tak mau dia bagi. Berduka dari tempat yang jauh ini, sementara di sana kau bernafas dengan atmosfer kesulitan. Bukankah mencintai berarti terluka bersama?

Ya Allah, aku sungguh takut. Semakin hari rasa takut ini kian gigantis dan hampir meledak. Waktuku, dia tidak tau sampai kapan memberi rentang pada kebahagian. Setitik saja, agar semua terlihat manis tanpa perlu menyesal. Karena aku sudah terlalu banyak menelan pahit kepergian tanpa berpartisipasi dalam senyumnya. Tidak ingin semua terjadi pada malaikat tunggalku kini. Metrum tertinggi, puisi dan pelitaku satu-satunya.

Tolong jangan ambil dia dulu.

Atau bila aku tak punya cukup waktu untuk membahagiakannya. Bahagiakan dia dengan cara terbaikMu.

Segala milikMu, hanya akan kembali padaMu. Bantu hamba Ya Rabb. Untuk melaksanakan kewajiban seluruh persendian ini terhadap perantara eksistensi. Agar bisa mencintainya dengan bakti sejak membuka mata hingga tertutup nanti. Menutup lukanya dengan prestasi dan senyum kebanggaan. Membayar segala kekurusannya dengan keringat. Serta mengembalikan seluruh kehampaan yang tengah direnggut pembatas kehidupan.

Ayah bilang, harapan adalah rahmat Tuhan bagi alam semesta. Jika tanpa harapan tidaklah sudi seorang ibu melahirkan anaknya. Kalimat itu, sejak awal dia sudah menegaskan bahwa aku lahir dengan segenggam harap. Ya Allah, di manapun dia sekarang, tolong sampaikan bahwa aku sedang berusaha memenuhi apa yang lahir bersama kelahiranku. Seperti doanya agar memiliki keturunan yang tidak memutus amal. Dengan segala kenangan, cinta dan puing-puing kebersamaan yang tersisa, semoga malaikatku bisa menyaksikan kesuksesan. Karena dialah sekolah pertamaku. Langkah awal menuju setapak kemegahan dunia. Allahhummaghfirlana Wali Wa Lidina Warhamhumma Kama Rabbayana Saghira.