UA-51566014-1 Catatan Harian: 2018

Minggu, 07 Oktober 2018

Review Rainbirds





            “Rainbirds” merupakan novel debut karya Clarissa Goenawan, penulis Singapore kelahiran Indonesia. Jika anda tipe pembaca yang judge the book by its writer, maka pinggirkan dulu segala prasangka mengenai novel perdana. Faktanya, “Raindbirds” ini telah menyabet gelar ‘The Winner of Bath Novel Award 2015’. Penulisnya sendiri, Clarissa Goenawan, memenangkan penghargaan dan muncul di beberapa majalah sastra Singapore, Australia dan Inggris.

            Jika anda penggemar Haruki Murakami maka takkan sulit jatuh hati pada novel ini. Kedua penulis itu sama dalam hal self judging- absurd sense of thoughts – soulful yet ignorant at the same time, membuat karakter-karakter mereka begitu hidup. Menggunakan cara penulisan  liris, Clarissa Goenawan menciptakan tokoh utamanya, Ren Ishida sebagai pusat sekaligus variabel semata dalam dunia paralel yang ia jalani. Manusia keluar-masuk di kehidupannya, sebagian memberi makna besar sementara yang lain hanya remah, dan Ren Ishida adalah poros bagi kebermaknaan tersebut. Tidak hanya tokoh utama, para periferal di sini pun dibuat mengisi perannya secara maksimal oleh sang penulis. Sebutlah Rio Nakajima alias Seven Star, tokoh ini memiliki porsi lumayan yang banyak dalam interaksinya dengan tokoh utama. Dalam sebuah wawancara (oleh difreeman .com), Seven Star ini merupakan karakter favorit sang penulis, yang dalam novelnya adalah pelajar SMA yang sarkas, pendiam, hobi mengutil, pintar tapi antisocial, dan tentu saja, cantik. Sebuah kombinasi sulit untuk ditemukan di dunia nyata, karena gadis pemaksa (yang bicaranya nonfilter) itu ternyata bisa juga menangis lantaran ditolak Ren Ishida.

            Berbicara mengenai Writing Style Clarissa Goenawan, bahasa yang digunakannya cukup simple tetapi memiliki daya evokasi mengesankan. Bukan tipikal prosa puitik namun efektif dalam menggabungkan unsur-unsur pembangun cerita. Seolah tidak ada kata yang terbuang percuma, dan setiap aksara bekerja dengan baik untuk substansi cerita. Perlu diketahui, novel ini dibuka dengan konflik pembunuhan Keiko Ishida (kakak kandung Ren), membuat pembaca nyaris menebak alur yang bakal akrab dengan kejahatan kerah putih. Namun justru sebaliknya, penulis membawa pembaca dalam karangan liris yang penuh tanda tanya. Anda akan menebak-nebak siapakah misteri di balik pembunuhan Keiko Ishida, tetapi pasrah saja pada suguhan penulis yang tidak straight forward.

            Pada awalnya anda mungkin sebal karena chapter-chapter yang dihadirkan tak kunjung memberikan clue mengenai konflik utama. Malahan, kehidupan Ren Ishida beserta sentiment pribadinya terus saja berserak di halaman buku. Rasanya seperti membaca jurnal pribadi seseorang yang tidak mengarah ke manapun selain pengalaman sehari-hari. Namun, akhirnya anda justru heran kenapa tidak menyerah juga. Mengapa? Tentu saja karena gaya penulisannya tak pernah membosankan.

            Sayangnya, ada pertanyaan yang belum jua terjawab hingga ending, atau tidak dinyatakan secara jelas oleh penulis. Namun secara garis besar, “Raindbirds” adalah karya memukau untuk sebuah novel debut, ia menciptakan ukurannya sendiri antara misteri detektif  dan main centric character prose.

            Apakah recommended? Tentu saja!