UA-51566014-1 Catatan Harian: Januari 2014

Rabu, 29 Januari 2014

Tokoh Wayang yang Keren

Wayang merupakan salah satu warisan kebudayaan yang luar biasa, especially Mahabharata. Epos yang diadopsi dari India ini tak pelak mempesonakan turis dari berbagai Negara. Kendati zaman silih berganti dengan rupa-rupa tradisi popular, kharisma wayang tetap bertahta di hati pecinta budaya. terimakasih sebesar-besarnya kepada Begawan Wyasa selaku pengarang Mahabharata.
Berikut ini tokoh wayang yang keren tidak mufakat versi SAYA:


1) Arjuna/Parta/Dhananjaya/Indraputra/Kauntheya (Nama kecilnya banyak bet. . .)

Adalah tokoh tampan tiada tara yang mempesona begitu banyak perempuan. Diceriakan bahwa pada saat lahir, sukma Arjuna terbang ke langit dan membuat jatuh hati para penghuni kayangan. Tidak mengherankan jika disebut-sebut istrinya mencapai 40 orang yang beberapa diantaranya bidadari. Namun, Arjuna tidak sekadar tokoh yang memiliki kharisma Cassanova dan Don Juan saja. Putra ketiga dari prabu Pandhu Dewanata ini juga tak terbilang kesaktiannya. Hal ini lantaran Arjuna merupakan titisan Bhatara Indra (pemimpin para Dewa), dengan anugrah kesaktian yang diperoleh dari hasil bertapa dan berguru.
            Keahlian utama Arjuna adalah memanah. Dengan busur Gandewa, Arjuna diangkat menjadi raja kayangan atas jasanya membunuh prabu Niwatakaca (Raksasa kayangan). Pokoknya merupakan hal mustahil jika Arjuna kalah. Pun dalam pertempuran melawan Karna dalam Bharatyudha.
            Jika anda penggemar wayang, kemungkinan besar anda sudah tahu bahwa Arjuna memiliki sisi lain sebagai banci. Sifat anomali tersebut didapatnya dari kutukan dewi Ursi. Tetapi toh berguna juga saat dirinya menyamar selama satu tahun di kerajaan Wiratama. Selama pandhawa dihukum buang selama 12 tahun, plus satu tahun menyamar tanpa diketahui, Arjuna menyamar sebagai guru tari bernama Brihanala.
            Namun sebagai manusia biasa, arjuna tidak luput dari kesalahan. Selain kebrengsekannya dalam hal asmara, berikut beberapa (analisis pribadi) yang disayangkan dari Arjuna:
·         Irihati
Ini terjadi tatkala Arjuna diutus Yudhistira untuk bertapa demi mendapatkan kesaktian. Suatu hari ada seekor babi yang mengganggu pertapaannya, tanpa berpikir panjang Arjuna memanah babi tersebut dan membuatnya lari. Karena penasaran apakah panahnya mampu membunuh babi itu atau tidak, Arjuna mengejar. Kemudian ia menemukan babi itu tergeletak mati dengan dua panah menancap. Lalu datanglah prabu Ekalaya mengaku bahwa dirinyalah yang pertama memanah dan membuat si babi mati[1]. Arjuna tidak percaya, lebih tepatnya tidak terima.
            Arjuna yang merasa sakti dengan Gandewa pemberian Dewa Wisnu menantang Ekalaya untuk bertanding memanah. Pertandingan tersebut dimenangkan oleh Ekalaya. Merasa tidak puas, Arjuna yang mengetahui bahwa ternyata Ekalaya merupakan murid resi Drona, segera menagih gurunya. Sebagai resi, Drona yang telah menjanjikan bahwa tak ada yang mampu menandingi kepiawaian memanah Arjuna, dengan berat hati meminta busur milik ekalaya. Busur sakti tersebut adalah hadiah Drona kepada Ekalaya karena keahliannya memanah.
            Pada pertandingan selanjutnya, Ekalaya membawa sang istri turut serta. Istri Ekalaya adalah seorang putri cantik bernama Anggraeni. Kecantikan Anggraeni membuat Arjuna jatuh hati seketika. Setelah mengalahkan Ekalaya yang tidak lagi memiliki panah sakti, Arjuna meminta agar Anggraeni sudi dipersunting. Namun cinta mendalam terhadap suaminya dan kebencian karena Arjunalah yang membunuh, Anggraeni[2] menolak. Ia lalu memilih bunuh diri agar segera menyusul sang suami ke nirwana.
·         Egois
Suatu ketika, setelah berhasil membunuh Niwatakaca si pengacau Kayangan. Bathara Narayana mempersilahkan Arjuna untuk memohon apa saja. Arjuna lalu meminta perlindungan agar Pandhawa selamat dalam Bharatayudha. Menurut Kresna, permohonan tersebut egois karena mementingkan pandawa saja. Ternyata benar, dalam Bratayudha semua prajurit tewas kecuali pandhawa+Drupadi yang sejak awal menjadi pengikut setia kelima suaminya.

            Demikian sekilas tentang Arjuna. Membicarakan penengah pandawa ini takkan ada habisnya, apalagi skandal percintaan yang patut dibukukan dalam kitab tersendiri. Tetapi walau bagaimanapun Arjuna adalah salah satu kunci kemenangan pandawa dalam bharatayudha.

2) Abimanyu/ Angkawijaya
Putra Arjuna dari Wara Sumbadra[1] ini adalah pemuda tampan yang sakti. Ia dikaruniai anugrah menurunkan Raja. Sehingga meski gugur di usia muda, keturunan Abimanyulah yang menjadi penerus bangsa kuru, yakni prabu Parikesit.
            Abimanyu tewas dalam bharatyudha karena menerobos formasi Cakrabiha milik kurawa. Sebelumya, ia bersama Arjuna menumpas lawan dengan panah pasupati. Di antara seluruh prajurit pandawa hanya Arjuna, Kresna dan Abimanyulah yang mampu menembus formasi kurawa yang berupa lingkaran tersbut. Karena bersama sang ayah, Abimanyu dengan gagah berani terus merangsek ke dalam hingga tanpa sadar sudah berada di tengah formasi. Arjuna dan Kresna yang sibuk tidak memperhatikannya. Terang saja Abimanyu menjadi bulan-bulanan Kurawa, apalagi dia belum mempelajari cara keluar dari formasi itu. Di tengah kegentingan, Abimanyu sempat membunuh Laksmana, putra mahkota Hastina yang sekaligus kesayangan Duryudana. Melihat putranya tewas, Duryudana tidak tinggal diam, ia bersama kurawa terus memanah Abimanyu. Puncaknya kepala Abimanyu putus oleh tebasan Jayadrata[2]. Hal ini sungguh memilukan, putra andalan pandawa tewas karena dikeroyok dengan keji. Apalagi gatotkaca, sepupunya yang juga sakti telah gugur oleh adipati Karna.
            Dalam Mahabharata, generasi kedua setelah pandawa dan kurawa tidak diceritakan secara mendalam. Namun saya memutuskan bahwa Abimanyu atau Angkawijaya adalah yang terkeren karena menjadi ayah dari parikesit[3]. Abimanyu tewas ketika dewi Utari tengah mengandung. Tanpa kehadiran Abimanyu, silsilah pandawa musnah sama sekali.

3) Adipati Karna/Suryaputra/Radheya/Prabu Awangga
Dalam Mahabharata, Karna diceritakan sebagai sosok antaggonis yang memihak kurawa. Tetapi entah mengapa saya kagum, dan yakin seratus persen Karna menjadi antagonis karena keadaan.
            Sebelum menikah dengan Pandhu, Kunti merupakan putri raja yang patuh. Karena kepatuhannya, ia dihadiahi mantra oleh seorang resi. Mantra[1] itu berfungsi untuk memanggil dewi manapun. Suatu kali Kunthi iseng dan penasaran ingin mencoba mantra itu. Ia melihat matahari yang bersinar terang dan berharap agar Bathara Surya turun. Setelah membaca mantra hadirlah Bathara Surya di hadapannya. Melihat kecantikan Kunthi (Pritha), Bathara Surya jatuh hati dan menitiskan benihnya pada Kunthi.
            Kunthi yang masih muda ketakutan setengah mati, ia belum siap menjadi ibu dan tidak ingin dikira hamil di luar nikah. Tak berselang lama setelah turunnya bathara Surya, Kunthi hamil. Ayahnya marah besar dan mengurung kunthi di dalam istana. Melihat kesedihan Kunthi, bathara Surya lalu berkata bahwa kelak anaknya akan lahir lewat telinga, sehingga Kunthi dapat terlihat seperti perawan.
            Benarlah, pada hari persalinannya Kunthi melahirkan lewat telinga. Bayinya laki-laki yang sangat tampan[2], berwajah cerah bercahaya dengan anting indah di telinga dan baju zirah[3]. Bayi tersebut kemudian diberi nama Karna yang artinya telinga. Demi menyelamatkan nama baik Prita/Kunthi, Karna dihanyutkan ke sungai. Putra kesayangan bathara Surya ini lalu diadopsi seorang sais kereta bernama Adirata dan istrinya Radha.
            Sejak kecil Karna hidup sederhana dengan ayahnya. Meski tidak sadar bahwa dirinya adalah keturunan dewa, Karna sangat piawai dalam olah kanuragan. Sifat ksatrianya muncul dan mempesonakan Duryudana sehingga diangkat menjadi raja negeri Awangga.
            Selamanya Karna adalah seteru abadi Arjuna. Ia membenci adik seibunya itu karena suka pamer keahlian memanah sejak kecil. Kekuatan mereka nyaris sama, bahkan Karna juga sangat piawai dalam memanah. Mungkin jika Karna tidak sombong serta tidak dikutuk siapapun, dialah satu-satunya orang yang mampu mengalahkan Arjuna. Namun kenyataannya, Arjunalah yang mengalahkan Karna dalam baratayudha. Ketika kereta karna terperosok dalam kubangan darah, ia berusaha mengingat mantra sakti yang dapat membunuh siapapun lawannya. Namun karena kutukan, ia lupa mantra tersebut sehingga dengan mudah tewas oleh busur Arjuna.
            Ada satu kisah yang menarik dalam perseteruan Karna-Arjuna. Kisah ini terjadi pada saat Drupadi[4] mengadakan sayembara, barangsiapa yang mampu memanah tepat sasaran maka akan menjadi suaminya. Namun untuk memanah dengan tepat sangatlah berat. Pemanah hanya boleh melihat bayangan objek di dalam air yang bersebrangan arah. Sementara untuk mengangkat panah saja para kontestan sudah keberatan.
            Sedianya, sayembara itu ditujukan untuk kesatria saja. Tetapi Karna dengan beraninya mencoba. Ia menjadi satu-satunya orang yang berhasil memanah tepat sasaran. Namun melihat asal-usul Karna yang notabene putra sais kereta, Drupadi menolak mentah-mentah. Kemudian hadirlah Arjuna yang tentu saja dapat memenuhi tantangan. Terpesona dengan ketampanan Arjuna, Drupadi lalu memilihnya sebagai suami. Kendati waktu itu Arjuna tengah menyamar menjadi Brahman. Sontak Karna marah dengan perlakuan Drupadi, kebenciannya pada Arjuna pun bertambahlah.
            Begitu banyak cerita mengenai Karna yang menarik. Tentang terbongkarnya asal-usul dirinya, tentang janjinya pada Kunti-siapapun yang mati di antara dirinya dan Arjuna- pandawa akan tetap lima, janjinya pada Duryudana. Sebenarnya, dalam Brathayudha Karna sudah tidak menaruh dendam pada Arjuna. Bagaimanapun ia adalah anak pertama Kunthi sebelum pandawa. Akan tetapi ia sudah terlanjur berjanji akan setia pada Hastina, terlebih setelah pengangkatannya sebagai senopati perang menggantikan Jayadrata. Karna sudah berjanji pada Kunthi bahwa apabila Arjuna meninggal, maka ia akan menjadi penggantinya dan melengkapi pandhawa. Namun sudah digariskan oleh dewata, Karna tewas sesaat setelah tertusuk panah Arjuna.
            Dibanding Arjuna, Karna lebih keren walau terlihat sombong. Setidaknya, istri Karna hanya satu dan tidak pernah ingkar janji terhadap siapapun. Bahkan ketika harus menyerahkan baju zirahnya sejak lahir kepada seorang dewa, meski berat Karna harus memenuhi karena ia telah berjanji memberikan apapun kepada orang yang meminta saat dirinya menyembah bathara Surya.
            Bagi saya, Karna adalah sosok tangguh yang tidak bisa dibatasi oleh keterbatasan.

4) Srikandi-Amba

Mengapa saya menuliskan dua tokoh ini secara bersama? Sejatinya, Srikandi dan Amba adalah orang yang sama. Membicarakan Srikandi tentu harus pula menyeret nama Bhisma dan Arjuna.
Pada waktu muda, Bhisma memboyong tiga putri yakni Amba, Ambika dan Ambalika untuk dinikahkan dengan Pangeran Wicitawirya. Ini merupakan tindakan urgen untuk menyelamatkan Hastina, karena Citranggada[1] sebagai putra mahkota awalnya sangat gemar berperang. Ketewasannya dalam perang membuat Dewi Setyawati-ibundanya sedih, dan segera meminta Bhisma untuk mencarikan Wicitawirya jodoh. Setelah Bhisma memenangkan sayembara, Amba-Ambika-Ambalika di bawa ke Hastina. Namun Amba yang sudah berpacaran dengan Salwa memohon pada Bhisma agar dipulangkan. Karena tak tega, Bhismapun memulangkannya. Sayang, Salwa yang merasa dilecehkan tidak mau menerima Amba kembali.
            Amba yang patah hati kemudian memohon pada Bhisma[2] untuk dinikahi. Namun Bhisma yang sudah bersumpah untuk tidak menikah tentu menolaknya. Tolak-menolak ini membuat Amba sakit hati pada Bhisma. Ia menganggap Bhismalah penyebab dirinya ditolak Salwa, walaupun tidak dapat dipungkiri Amba kagum dengan keteguhan hati Bhisma. Amba lalu bertapa dan memohon agar diberi kesempatan membunuh Bhisma. Permohonan itu dikabulkan pada kehidupan selanjutnya, yakni Amba yang berinkarnasi menjadi Srikandi.
            Srikandi lahir sebagai Putri kerajaan Pancala[3]. Sejak lahir, dewa sudah meminta agar Drupada mendidikan sebagai laki-laki yang tangguh. Bukan suatu kebetulan bahwa setelah dewasa Srikandhi menjadi prajurit tangguh. Ia merupakan satu-satunya perempuan dalam perang bratayudha. Dia berperang bersama Arjuna. Ketika berhadapan dengan Bhisma, Bhisma melihat wajah Amba dan berniat untuk tidak melawan perempuan. Melihat reaksi kakeknya, Arjuna kemudian langsung menyerang Bhisma hingga tewas. Dengan demikian terpenuhilah takdir antara Bhisma dengan Amba.
            Saya mengagumi Srikandi karena keberanian dan pesonanya. Srikandi sering dianggap sebagai simbol emansipasi karena tidak takut menghadapi lawan serta sikapnya yang tidak murahan. Walaupun sudah lama mencintai Arjuna, ia tetap mengajukan syarat ketika dilamar. Syaratnya pun tidak main-main, sebagai perempuan tangguh Srikandi minta disediakan lawan yang sepadan. Lalu dia juga ingin calon suaminya mampu membetulkan taman Maerakaca dalam satu malam. Untunglah Arjuna sanggup memenuhi, keduanya lalu menikah. Srikandi meninggal dalam perkemahan setelah Perang selesai. Kemah yang ditinggalkan pandawa plus Drupadi, diserang oleh Aswatama yang mengakibatkan terbunuhnya seluruh prajurit serta keluarga pandawa. Kecuali bayi parikesit yang tidak dapat disentuh.

5) Wara Sembadra
Perempuan ini merupakan dewi yang sangat cantik. Ia adalah adik Kresna dan ibu dari Abimanyu. Konon katanya, Sembadra adalah istri yang paling dicintai Arjuna.
            Sembadra selaku istri pertama Arjuna merupakan perempuan yang sangat sabar. Selama dua belas tahun pandawa diasingkan, ia dengan tabah membesarkan Abimanyu seorang diri. Pun ketika Pandawa jatuh hati pada Srikandi. Sembadra dengan hebatnya memahami sang suami yang selalu terlihat murung. Sembadra pula yang berinisiatif melamarkan Srikandi untuk Arjuna dengan mengajukan Larasati[1] sebagai lawan yang imbang dalam memanah.
            Sembadra menyimbolkan perempuan Jawa yang selalu nrimo dan tepo sliro. Dengan kesabarannya, Sumbadra senantiasa menjadi yang pertama di hati Arjuna. Dan menjadi ibu yang hebat bagi Abimanyu, sang penerus keturunan kuru.
           



[1] Larasati adalah gundik Arjuna yang telah diajarkan memanah.


[1] Kakak Wicitawirya
[2] Bhisma putra raja bharata dan dewi Gangga, bersumpah untuk tidak menikah. Hal ini terjadi ketika ayahandanya sakit karena mencintai wanita lain (dewi setyawati) yang bersedia dinikahi hanya jika putranya dijadikan raja, sementara putra mahkota saat itu adalah Bhisma. Dengan besar hati Bhisma berjanji pada sang ayah untuk tidak naik tahta. Akan tetapi dewi Setyawati takut, karena jika Bhisma menikah kemungkinan keturunannya akan memberontak. Mendengar hal itu, Bhisma pun berjanji untuk tidak menikah selama-lamany. Maka walau ia jatuh hati pada Amba, mereka tidak bisa menikah.
[3] Adik Drupadi dan Drestadyumna

[1] Mantra ini nantinya berguna untuk menurunkan anak karena pandhu dikutuk pastu untuk tidak boleh bersenggema. Mantra ini menurunkan Bathara wisnu, Bathara Bayu dan Bathara Indra yang kesemuanya menitis pada Yudhistira, Bhima dan Arjuna.
[2] Dikatakan bahwa Karna memiliki fisik yang sangat mirip Arjuna. Sehingga dalam wayang versi Jawa, seorang dewa yang hendak memberikan keris pada Arjuna untuk memotong pusar Gatotkaca, keliru memberikan pada Karna. Setelah perseteruan sengit, Arjuna berhasil mendapatkan selosngsong keris semenatara Karna mendapatkan kerisnya. Kemudian keris yang sedianya digunakan untuk memotong pusar, malah masuk ke dalam perut Gatotkaca. Pada perang Bharatyudha keris tersebut kembali pada pembungkusnya dan membunuh Gatotkaca.
[3] Baju perang
[4] Putri Drupada dari kerajaan pancala. 



[1] Adik Sri Kresna
[2] Konon kematian Abimanyu adalah kutukan dari istri pertamanya (siti sundari) karena mengaku masih bujang ketika hendak mempersunting dewi Utari. Abimanyu dikutuk tewas mengenaskan dlam bratayudha.
[3] Keturunan tunggal pandawa yang meneruskan kepemimpinan.


[1] Dalam Mahabharata yang ditulis ulang oleh Nyoman S. Pandhit, sebenarnya panah Ekalaya-lah yang terlebih dahulu menancap di tubuh babi, baru kemudian panah Arjuna menyusul.
[2] Anggraeni adalah satu-satunya wanita yang menolak Arjuna

Rabu, 15 Januari 2014

Motivator Terbaik Adalah Diri Sendiri

            Beberapa hari ini aku merasa terpojok dengan pengetahuan minim, sangking kurangnya hingga mirip manusia purba yang belum mengenal aksara. Memandang teman-teman pintarmu yang cakap berdiskusi, serta aktivis kampus yang berpredikat dan bahkan sosok-sosok tak terduga dari kampung halaman yang melanglang buana adalah semacam frustasi. Sebentar,, ini bukan soal bersyukur atau tidak. Justru ladang introspeksi, karena sekalipun frustasi, kesedihan pribadi ini bisa dijadikan setapak pertama menuju kesuksesan. Meski sukses tak pernah ada ukuran pastinya. Ia laksana karet yang senantiasa mulur saat kau berhasil mencapai titik tertentu. Titik yang dulu kau pandang sebagai keberhasilan.

            Sebut saja S, teman yang pernah kutolak mentah-mentah dengan dalih sok suciku[1] bahwa pacaran tidak ada dalam kamus kehidupan, sekarang telah tumbuh menjadi manusia Internasional yang kuliah di belahan bumi Turki. Sedang aku makin terpojok di Semarang yang kendati tengah tak pernah berarti ‘sentral’. Si S itu seperti menghantarkan beribu-ribu tamparan. Mendarat tepat di tempat paling telak dari sebuah pencarian. Sebagai teman sealmamater aku turut berbahagia. Namun orang buruk selalu sedih jika ada yang lebih sukses darinya. Dalam hal ini aku termasuk golongan manusia buruk. Jelas saja, aku lebih dulu SMA karena dia menunda setahun, otomatis aku lebih dulu kuliah karena berhasil mencicipi seleksi pahit perguruan tinggi negeri. Terlebih dia mengasingkan diri di ponpes yang santer terdengar kurang informasi. Dan betapa kaget, terperanjat sekali frustasinya aku saat menyaksikan dia akselerasi puluhan kilo di Turki. Sungguh mak jleeebb tiada tara. Aprioriku yang sebanyak pasir pantai, dimuntahkan seluruhnya tanpa tedeng aling-aling.

            Tapi baiklah, aku manusia sportif yang mau tak mau harus memaafkan S (loh kok!). Bagaimanpun, aku bahagia pernah satu atap dalam bidang pendidikan.
            Frustasi kedua lebih dahsyat dari fenomena S. Ini jenis frustasi yang harus kuhadapi setiap hari. Di kos, di jurusan, di wisma tetangga, di kontak hape dan semesta hidupku di Tembalang. A misalnya, senior itu entah makan apa, dia selalu berhasil menguasai suasana dan mengubah arus pemikiran banyak orang sesuai kemauannya. Dia senantiasa besar mulut dengan alasan tak terbantah, bahkan terkadang entropi. Sanggup membuat lawan bicara maupun pendengar mengalami ‘momen autis’ lantaran terpesona oleh gagasannya. Di kos sendiri, aku menemukan yang nyaris mirip A. Sedikit lebih menjengkelkan karena dia sering memotong pembicaraan. Tapi yah.. sesuai standar logika.

            Selain S, A dan beberapa yang mirip mereka, ada nasionalis mempesona yang sedang memuncaki peran dalam sebuah wadah. Namanya D, dari kacamata pribadi tidak berlebihan kalau aku menyebutnya reinkarnasi Soe Hok Gie. Walaupun cara gerak mereka berbeda. Gie memilih berada di suatu titik steril untuk mengamati, lalu mengkritik dari sudut tak terbaca birokrat. Sementara D terjun langsung ke dalam sistem, kemudian menjadi ujung yang perlahan merangsek untuk mengevalusi kerja birokrat yang tak layak. Boleh dibilang, dalam suatu penelitian kualitatif si D berperan sebagai Partisipant Observer. Tentu dalam beberapa hal Gie lebih unggul. Dia tak tersentuh tapi aktif mengkritisi. Semacam kaktus di tengah gurun yang tajam namun sejatinya penting bagi ekologi setempat. Sedangkan cara si D, berpotensi menimbulkan inkonsistensi terhadap visi misi awal, apabila ia fokus pada proker semata. Karena walau bagaimanapun tak ada amanah tanpa beban kerja. Tetapi sebagai pelaku langsung, si D juga sangat bermanfaat, dia menguasai corong aspirasi dan berhak menggunakan sekehendak hati.

            Namun sangat tidak bijak membandingkan dua hal yang jauh berbeda. Kendati mirip, mereka tidak lahir dalam dimensi yang sama. Mungkin Gie memang heroik dengan tindak kritisnya menentang orde lama. Tetapi si D juga tak kalah keren. Ia hadir untuk membangunkan orang-orang dari tidur lelap akibat kemajuan zaman. D berjuang di tengah kerumunan apatisme, hedonis tak berkesudahan dan bohemian yang menjunjung tinggi perspektif individu. Sungguh, tak ada yang lebih berat daripada melawan diri sendiri, teman-teman serta orang-orang tercinta. Intinya, Gie dan D adalah sosok serupa yang datang untuk menyelamatkan sejarah masing-masing. Toh keduanya sama-sama dari jurusan Sejarah, hanya beda Universitas.

            Memandang orang-orang yang hanya bisa didefinisikan dengan “Subhanallah” itu sungguh membuat iri. Terkadang aku bertanya-tanya dalam hati, manusia visioner seperti mereka menyimpan quote apa sih? Karena dalam kasus pribadi, quote novel, buku atau seminar hanya mampu menguatkan misi tak lebih dari seminggu.
            Aku tidak ingin tulisan ini tersesat terlalu jauh dari judul. Maka baiklah dirunut saja. Kenapa motivator terbaik adalah diri sendiri:

1. Tak Ada yang Menguatkanmu Setiap Hari
            Siapapun kamu, akan berdiri sendiri di gerbang masa depan. Dan sebelum mencapai gerbang selalu ada perempatan yang menghentikan langkah, memaksamu memilih atau bahkan jalan setapak tanpa alternatif sama sekali. Dalam kondisi demikian, siapa yang sanggup menguatkanmu selain Tuhan dan diri sendiri. Maka kuatkanlah dirimu, belajar menjadi manusia tunggal yang disertai Dzat Maha Tahu dengan segenap cinta dan keyakinan.

2. Kita Adalah Apa yang Kita Pikirkan
            Kalimat ini pernah kubaca entah di buku apa. Jadi sugesti individu sangat mempengaruhi tindak-tanduk bahkan kekebalan seseorang. Jika seseorang merasa sanggup, maka ia akan sanggup. Sementara jika pikirannya bilang tidak, sekuat apapun motivasi yang dihantarkan, ia hanya bisikan yang masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri.
3. Kamu yang Paling Kenal Diri Sendiri

            Begitulah faktanya, jang merasa terlalu popular untuk disemangati banyak orang. Bahkan flu saja, sanggup membuat orang lupa terhadap kematian ayah atau kerabat dekatmu. Mereka hanya bersimpati untuk konsensus yang disebut “duka cita”. Sedang keterpurukan adalah kedukaan pribadi yang frekuensinya terlampau kecil untuk mengundang motivasi.
           
            Intinya, tulisan ini mengajak kalian move on dari kamut usang di buku harian. Yang terkadang dibaca sepintas atau bahkan lupa sama sekali. Ingat, dalam kondisi seperti apapun, kil
           




[1] Dalih ini akan terus kuperjuangkan hingga tiba saat bertemu pilihanNya

Kamis, 09 Januari 2014

Waktu merubah cara pandang seseorang. Ya, selalu demikian.

Ada beberapa titik dalam kehidupan yang membuatmu terpaku lebih lama dari biasanya. Titik kejut yang menyeret pada kondisi paradoksal, dengan atau tanpa peringatan sebelumnya. Dan dalam kehidupan pribadiku, itu sudah terjadi dua kali.

Cinta, kosakata paling estetis sekaligus picik yang pernah kutemui dalam kamus hidup. Tidak, tentu saja aku tidak sedang membuka aib tentang nama yang begitu lama bersarang dalam hati. Tapi yah,, sedikitnya ini tentang seseorang. Berawal dari sepotong kata itu bahtera rumah tangga kami yang sederhana dan bahagia, bagai terhempas menuju gelombang badai tak terhingga. Gelombang yang pada akhirnya merenggut keleluasaan untuk sekadar bersama. Membuat himpunan orang-orang tercintaku tiba-tiba berbalik arah untuk menjadi bukan dirinya.

Cinta merubah segalanya menjadi lebih indah. Cinta juga merubah segalanya menjadi lebih rumit. Seperti tali mati yang tak bisa diurai lagi ujung simpulnya. Dan kekalutan tertinggi adalah menyaksikan dua malaikat tanpa sayapku merasa durhaka pada Sang Pencipta. Wibawa mereka sebagai malaikat terlucuti oleh pedang iblis. Yang helai demi helai menguliti kredibilitas kedewaan. Maka atas dasar kecintaan pada mereka, kuubah cara memandang satu kata itu. Segala tentangnya hanyalah regulasi omong kosong dan utopia tanpa makna.

Titik kedua adalah sebuah hari, waktu dan peristiwa. Kali ini menghunjam dengan kejam seluruh persendian hidupku. Mulai dari caraku memaknai usia, menguyah luka menjadi pelajaran berharga, serta kumpulan kebodohan yang berjudul penyesalan. Bahwa harusnya sesal memang seperti pendaftaran. Terjadi di awal dan tak ada luka di akhir pertemuan.

Kiamat kecil itu memukulku sedemikian dahsyat. Hingga pertanyaan masa kecilku muncul kembali. Pertanyaan yang barangkali dimiliki setiap orang pada awal perkembangan otaknya. “Kenapa aku terlahir di sebuah keluarga, dan apa manfaatku bagi mereka?”

Sungguh, kematian adalah hal yang tak pernah absurd. Dia laksana virus yang tak terlihat inkubasinya, lalu tiba-tiba menyerang organisme dan membuatnya tunduk pada kenyataan bahwa ia sekarat. Siapa pula tak sekarat melihat ibunya menangis saban hari. Bukan, bukan tangisnya yang membuatku sekarat benar. Tapi apa rasanya, menyaksikan orang yang biasa menyeka air matamu, berubah menjadi secawan luka. Rapuh, retak dan koyak sehingga duka merembes ke mana-mana. Dan aku hanya manusia yang tak bisa menyembuhkan luka malaikat. Manusia biasa yang lebih terluka karena hanya sanggup meminjamkan waktu, telinga dan hati untuk bersandar sejenak.

Sejak hari itu, tak sekalipun aku lupa bahwa segala yang berawal senantiasa berjalan menuju akhir. Dan sesuatu yang kita sebut ‘akhir’ tersebut, adalah awal dari segala yang berbatas horizon. Aku tahu akan segera berakhir, lalu berawal di kehidupan yang berbeda. Seperti abah yang sekarang di tempat tak terjamah. Kecuali oleh doa, amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat.

Sejak hari itu, cakrawalaku membal seperti karet ulur. Aku adalah manusia berbeda yang menjadi saksi, hidup memang laksana roda. Bahwa soal ‘terkadang di atas kemudian di tapal batas’ adalah analogi aksiomatis yang tak usah diperdebatkan lagi. Jika masih ada yang yakin hidup itu mirip tangga, maka jangan kaget kalau suatu saat terpeleset. Nikmati saja perjalananmu menuju klimaks.

Sejak hari itu, ada sosok yang tumbuh gigantis di kepalaku. Sosok tersebut berwajah bias. Menghantui seperangkat pikiran dengan kegalauan dilematis. Tentang cita-cita dan kewajiban terhadap orang tua.

Bagaimanapun, aku sudah berada di sekililing mereka (orang-orang yang mencintai ilmu). Aku tak ingin terlempar (lagi) dalam zona nyaman yang melenakan. Ingin terus merasa bodoh karena filsafat, bisu dalam diskusi, dan tumpul di mata sastra. Tapi setidaknya lingkaran ini membuatku berkembang. Terus berada di jalur yang sebisa mungkin tidak memihak. Aku mencintai dunia mahasiswa dengan segala ketidaknyamanan yang ditimbulkannya. Bahkan masih mengharap jas almamater yang warnanya adalah simbol intelektualitas itu. Silau, namun semua orang tahu untuk memakainya butuh melampaui ujian 3S: sungguh sangat susah.

Di sisi lain, wanita yang kepadanya aku rela menjadi tidak ‘aku’, sangat butuh teman. Bukan teman hidup tentunya. Tapi teman yang mau berkata ‘ya’ tanpa prasangka. Dan siapa lagi kalau bukan anaknya: aku dan saudara-saudaraku.

Hidup yang seperti roda ini membuatku ingin egois. Toh, ibu sudah mengatakan tidak masalah tinggal sendirian. Jadi aku bisa leluasa menjadi penuntut yang tak mau dituntut. Karena di kepala picik ini hanya ada sastra, antropologi dan antropologi sampai mati.

Tapi malam ini, setan antropologi dalam tubuhku ditampar. Tuntutan egosentrisnya dipermalukan oleh tekad innocent anak tujuh belas tahun yang bahkan belum mencicipi pahitnya soal SNMPTN. Anak SMA yang sebenarnya mirip aku, ada musik, musik dan cuma musik di kepalanya. Malam ini aku tahu, simfoni hidupnya telah berubah. Simfoninya tentang masa depan berubah mewujud balada. Dengan nyawa utama bakti kepada orang tua. Dalam hal ini, aku mengakui adik semata wayangku telah akselerasi beberapa level perihal kedewasaan. Jujur saja, aku malu besar-besar terhadap kalimat ini,”Gita mah mboten pengin muluk-muluk. Pengin njaga ibu.”

Seketika aku menangis begitu membaca bbm tersebut. Betapa setan antropologi dalam diriku demikian brengsek. Sehingga aku menjelma lintah darat, membiarkan orang tua bekerja keras, sementara di sini tinggal belajar. Ya Allah ampuni hamba, maaf karena selalu sangat rakus terhadap masa depan yang absurd itu. Terima kasih telah mengingatkan lewat manusia kecil berjiwa besar. Aku menyayangi ibu, menyayanginya karenaMu. Sungguh karenaMu.

Terbukti, waktu merubah cara pandang seseorang. Ya, selalu demikian.