UA-51566014-1 Catatan Harian: Bali dan Sekelumit Tentangnya

Rabu, 21 Mei 2014

Bali dan Sekelumit Tentangnya

            “Di dalam hidup ini kita sering menginginkan peran orang lain. Kita selalu merasa dengan menjadi orang lain kehidupan jadi lebih mudah. Nyatanya? Bermimpi untk menjadi orang lain justru membuat kita semakin menyulitkan diri kita dan membenci peran yang kita mainkan, yang sudah jadi hak kita. Kita tidak bisa menukar peran.” (Rusmini, 2007:13
            Sebenarnya kutipan di atas kurang relevan dengan apa yang akan saya bahas. Kalau ada, mungkin sebatas Semarang – Tegal. Jauh maksudnya. Karena sebentar lagi KKL dan kebetulan nemu novel yang mengangkat Bali bersama budaya patriaki yang dalam batas-batas tertentu sangat matrilineal, saya jadi tertarik menuliskannya sebagai upaya melawan lupa. Selain biar bisa berbagi sedikit, juga mengekalkan memori dalam bentuk catatan. Konon katanya, berbagi tidak akan mengurangi apa yang sudah kita miliki. Malah seseorang bisa semakin kaya dengan berbagi.
            Bali merupakan pulau kecil di Indonesia (kalau di peta terletak di sebelah timur pulau Jawa), yang termasuk objek wisata kelas dunia. Pulau yang juga disebut pulau dewata ini masih kental dengan adat leluhur. Beberapa yang diturunkan secara estafet itu antara lain: sistem kasta, upacara dan tari-tarian. Adapula bermacam-macam istilah yang asing di telinga tapi maknanya familiar, kalau diteliti melalui LHK (Linguistik Historis Komparatif) maka baru bisa dillihat akar bahasanya. Secara kasat mata, kita bisa melihat bahwa Bali yang mayoritas beragama Hindu itu berkiblat pada India. Nama-nama yang disematkan oleh orang tua pada anaknya pun hampir mirip. Seperti Sagra, Sadri, Sarma, Kenten dan lain-lain.
·         Sistem Penamaan
Tentu kita sudah tahu bahwa dalam agama Hindu terdapat tiga kasta: Brahmana, Kesatria, Sudra. Sebenarnya ada satu lagi bernama Paria, tapi entah kenapa jarang sekali disebutkan. Mungkin karena dianggap sangat hina atau dalam bahasa kasarnya orang non-kasta. Sistem penamaan ini tidak seperti Binomial Nomen Klaktur (bener gak tulisannya?) dalam pelajaran-pelajaran IPA, sistem penamaan masyarakat Bali punya aturan sendiri dan sangat menentukan alur hidup seseorang.
1.      Kasta Brahmana
Ini adalah yang tertinggi dalam dunia perkastaan. Tempatnya orang-orang di dewakan bahkan tidak jarang dikultuskan karena dianggap kesayangan Dewa. Saking tingginya, masyarakat Hindu percaya bahwa manusia Brahmana ibarat matahari yang dipinjamkan para Dewa untuk menyinari dunia.
Nama untuk brahmana putra adalah Ida Bagus, sedangkan untuk putri adalah Ida Ayu. Seorang Ida Bagus hanya boleh menikah dengan Ida Ayu. Anak yang lahir dari keduanya akan diperlakukan sangat terhormat karena memiliki karat kebangsawanan yang tinggi. Tapi dalam beberapa kasus pelanggaran, apabila seorang pria Brahmana menikahi perempuan berkasta di bawahnya, maka si perempuan harus menjalani upacara tertentu untuk menjadi Brahmana. Pastinya juga si perempuan itu harus berganti nama yang berbau Brahmana pula. Kebanyakan berganti menjadi ‘Jero’ siapa gitu. Tapi sebagai Brahmana jadi-jadian (bukan Brahmana murni), seorang Kesatria/Sudra yang mengalami mobilitas kasta akan tetap dipandang rendah oleh Brahmana murni. Yah semacam strata di dalam strata. Bahkan kelak ketika melahirkan anak, perempuan itu tak boleh bersikap sembarangan pada buah hatinya. Sembarangan di sini dalam artian harus menghormati, tidak boleh menyentuh rambut, tidak boleh menghardik bahkan yang ekstrim tidak boleh minum/makan dari wadah yang sama. Pasti ini menyiksa sekali, bagaimana mungkin seorang ibu harus mengasingkan anaknya dalam dunia bangsawan yang tak bisa di sentuhnya. Tapi inilah harga yang harus dibayar. Walau bagaimanapun, lancang naik kasta adalah pelanggaran terhadap adat. Dan perempuan seperti itu akan dikucilkan dalam pergaulan para Brahmana.
Di sisi lain Brahmana baru tersebut tetap dianggap Brahmana oleh keluarga lamanya. Otomatis ia tidak boleh sembarangan berinteraksi dan mengunjungi kerabatnya. Budaya yang demikian ini melarang Brahmana berinteraksi bebas dengan kasta dibawahnya karena dianggap tidak etis. Bahkan dalam kasus terjepit seperti kematian pun orang Brahmana baru tidak boleh menyentuh orang tuanya yang meninggal. Dalam acara ngaben[1] Ia hanya boleh berada di tempat tinggi yang dihormati sebagai Penonton. Ya, Penonton. Sekali lagi biar dramatis, PENONTON. Bayangkan, betapa sedihnya seorang anak yang tak bisa menyentuh wajah orang tuanya untuk terakhir kali. Saya sih tidak mau dan tidak ingin membayangkan.
Lalu bagaimana jika yang naik kasta adalah seorang pria? Jika pria dari kasta lain ingin menikahi perempuan Brahmana, maka definisinya adalah dibeli. Jadi si perempuan yang melamar laki-laki. Dan si pria harus menjalani upacara Nyentanain[2]. Pria ybs dalam keluarga nantinya akan dianggap sebagai perempuan. Tidak hanya kehilangan hak memimpin saja, ia bahkan kehilangan hak bicara atau menyampaikan pendapat. Keputusan apapun akan menjadi otoritas pihak perempuan. Perkara perempuan mau mendengarkan pendapat suaminya atau tidak itu terserah. Dinamika menarik inilah yang terkadang dijadikan tema novel-novel atau film-film berlatar Bali. Makanya saya menyertakan kutipan yang sedikit tidak nyambung tadi. Tidak dipungkiri, budaya berstrata yang menghalalkan untuk memandang rendah orang, membuat mereka yang berada di bawah berusaha naik tangga agar bisa diperlakukan manusiawi. Sementara orang Brahmana yang turun kasta lebih sering karena terjerat cinta. Banyak yang menginginkan peran orang lain hanya karena ia seorang Ida Ayu atau semata-mata Ni Luh.
Oia, Rumah tinggal seorang Brahmana disebut Griya.

2.      Kasta Kesatria
Hubungan kestria dan Brahmana agak sulit dijelaskan. Ada semacam rasa rikuh di antara dua kasta ini. Secara materil dan sosial, orang-orang kesatria lebih makmur dari Brahmana. Secara mereka keturunan raja, kalau di Jawa darah biru istilahnya. Tapi Bali juga melegalkan kasta Brahmana sebagai bangsawan yang patut di hormati.
Kalau di Mahabharata dan Ramayana sih orang-orang Brahmana dibayar raja untuk menjadi mentor atau penasihat mereka. Misalnya resi, Begawan dan pujangga. Mereka saling menghormati satu sama lain, Brahmana menghormati ksatria karena mereka keturunan raja, dan kestria menghormati Brahmana karena mereka adalah pemberi ilmu.
Nama bagi kasta kesatria kebanyakan adalah I gusti. Tempat tinggal mereka disebut Puri.
3.      Kasta Sudra
Kasta sudra adalah kasta yang terendah. Mereka biasa menggunakan nama Putu, Wayan dan Luh. Mereka yang menikah dengan kasta-kasta di atasnya harus beradaptasi, di satu sisi juga tetap dianggap rendah. Karena walau bagaimanapun kelahiranlah yang menentukan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai sudra, kesatria atau Brahman. Bagi orang-orang yang lancang memobilisasi status mereka akan dianggap sebagai pembawa sial dan mengalami kesulitan-kesulitan.

Itulah sedikit tentang kasta. Bisa dibilang Bali masih bersifat feodal, bagi orang-orang pribumi yang ortodok, merupakan suatu kesulitan tersendiri menerima perpindahan kasta dan terkadang menyulitkan ybs. Tapi tidak tau dengan Bali 2014, mungkin dengan terbukanya kran globalisasi, hal semacam ini sudah bukan masalah besar.

·         Istilah-istilah
Karena saya bukan orang Bali, anda juga mungkin bukan, ada beberapa istilah penting yang sebenarnya biasa saja tapi maknanya tidak kita ketahui.
                                    -Meme             : Ibu
                                    -Tugeg             : Panggilan untuk anak Brahmana
                                    -Tiang              : Saya
                                    -Tuniang          : Nenek
                                    -Bli                  : Mas
                                    -Ratu               : Panggilan untuk menghormati pria brahmana
                                    -Dayu              : Singkatan dari Ida Ayu

                        Demikianlah sekelumit tentang Bali. Terimakasih sudah membaca J





[1] Membakar mayat
[2] Kawin dengan perempuan yang telah dijadikan sentana (ahli waris). Dalam hal ini perempuan yang meminta laki-laki. Karena peraturan adat dibalikkan, maka pihak perempuan jadi pria, pihak laki-laki sebagai perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar