UA-51566014-1 Catatan Harian: My GSG 13

Selasa, 20 Mei 2014

My GSG 13


“Merantaulah, kau akan mendapat ganti teman dan saudara.”


            Kalimat imam Syafii itu ternyata mutlak benar. Merantau membuat kita bertemu suasana baru, wajah-wajah baru, yang pada gilirannya menjadi teman bahkan saudara. Karena tidak mungkin mendapat ganti orang tua, ‘saudara’ yang lebih fleksibel maknanya akan kita temukan di mana-mana jika sanggup beradaptasi. Cara kita membawa diri, menyesuaikan sikap dan memperlakukan selaras dengan karakteristik masing-masing akan menjadi faktor penentu. Jika sudah beradaptasi dengan baik, maka kosan terasa rumah yang hangat dan dipenuhi canda-tawa.

            Waktu pertama-tama merantau, seringkali kalimat ini keluar dari mulut saya: “kapan ya kehidupan kembali normal seperti sediakala?!”

            Di kos pertama hanya ada seorang kawan yang nyangkol di hati. Itupun mahasiswi semester akhir yang tinggal menghitung bulan untuk pergi. Walhasil keakraban kita hanya berkisar hitungan jari. Tapi uniknya, mbak kos yang satu itu dari jurusan matematika dan bernama “Atun”. Sungguh suatu kebetulan yang membuatku nyaman. Perpaduan antara bapak dan ibu yang gemar menasihati dengan kata-kata lembut.

            Menjelang semester dua, kelulusannya memisahkan kami. Maka terjadilah kekosongan  atau status quo dalam kehidupan persahabatanku. Baru saja merasa punya satu kakak, tiba-tiba diambil oleh takdir bernama wisuda. Dan mulailah ketidaknyamanan bermunculan satu persatu. Berawal dari fakta bahwa kosan saya sering sekali mendapat tamu laki-laki, keluar masuk tidak jelas, bahkan sampai menginap tanpa diketahui. Parah ya. Padahal kosan itu berinduk semang yang mahal dan seharusnya ‘nyaman’. Disusul fakta tidak enak kedua, bahwa kosan saya selain tidak nyaman juga jauh dari aman. Sebuah motor hilang di siang bolong. Tentu ini membuat gempar, bagaimana tidak, wong pemiliknya di kos dan diparkiran juga ada orang. Sejak hari nahas tersebut, diperlakukanlah kebijakan sampah yang melarang ‘orang asing’ masuk hingga pukul 9. Sedangkan bagi mahasiswa, jam sembilan ibarat senja yang digunakan orang-orang untuk pulang dengan santai. Masa pagar dikunci, parkir digembok dan tirai-tirai ditutup rapat pukul segitu. Lha saya yang baru pulang dari nonton pameran lukisan, masa harus menghadap ibu kos hanya untuk masuk kamar yang sudah dibayar!

            Itu masih bukan masalah. Karena hal paling menyebalkan adalah menemukan sosok laki-laki saat hendak ke kamar mandi. Tidak sebatas itu, beberapa ada yang memasukkan teman atau entah saudara ke kamar. Betapa tidak tahannya hati ini. Setiap hari mulai bertanya-tanya: ini kos atau tempat penginapan, hmm.. atau malah kandang?

            Puncak dari segala suka-duka di kos pertama adalah diusir! Ya. . .walau bagaimanapun yang pertama selalu berbeda. Impresi pertama akan terkenang sepanjang masa.

            Sudah ya, diusir tidak perlu diceritakan panjang-lebar. Karena saya tidak sedang membicarakan ‘luas’ dari nano-nanonya kos pertama. Bahagia ya disyukuri, dukanya tidak usah dibesar-besarkan.

            Begitulah, dari kos pertama berlanjut ke kos dua, sampai empat kali. Baru di Semester 4 saya menemukan tempat yang menyamankan diri dan tak membuat ingin lari. Kos itu nyempil di belakang rumah makan mahal (tidak mewah, biasa saja), dan berjarak sekitar 2,5 kilo dari kampus. Sebagai pedestrian, awalnya berat menempuh jarak kos-kampus setiap hari. Tapi senyum penghuni kos ini meringankan kaki dan menyederhanakan hidup yang rumit. Kos yang saya tinggali sekarang bernama Gayamsari 13, satu-satunya angka keramat dalam semesta gayamsari. Tapi keramat bukan berarti sial. Saya pribadi ingin mengkeramatkan Gayamsari sebagai tempat menumpahkan suka-duka. Rumah kedua setelah kampung, dan rumah yang sebenar-benarnya rumah. Berkat insiasi (lupa tepatnya), gayamsari disebut GSG 13 atau GayamSari Girl 13. Berisi 7 orang perempuan dari latar belakang berbeda dengan tujuan sama yang dipersatukan di bawah langit Undip.

            GSG 13 membuatku merasakan nasihat Imam Syafii, mereka adalah saudara tanpa ikatan darah. Lebih dari teman apalagi kenalan. Ruang utama kami adalah depan tv yang tepat di depan kamarku. Jadi kapanpun ada yang nonton tv, aku tidak bisa tidur atau melakukan hal-hal yang membutuhkan konsentrasi. Seringnya malah tergoda untuk bergabung dan melantur tidak jelas sampai tv bosan ditonton kami.

            Dalam tulisan kali ini, saya ingin memperkenalkan mereka, atau tepatnya menulis untuk diri sendiri agar suatu saat kangen bisa langsung membaca dan terkenang segala memori. Ya minimal kenangan sebelum menulis catatan inilah. Seperti lagunya project pop “Kalian sangat berarti, istimewa di hati, senangnya rasa ini. Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing, ingatlah malam ini J

            Kami sudah seperti saudara, yang mengatakan bahwa cabe itu pedas, dibanding membiarkan salah satu dari kita sakit perut setelah memakannya. Jujur itu mujur, dengan mengatakan yang sesuai fakta, minimal tidak ada yang usus buntu karena merasakan pedasnya kalimat orang di luar sana. Pernah suatu kali ada yang baru putus dari pacarnya, dia datang-datang menangis dan mengadu, lalu apa yang terjadi? Jangan kira kami akan menghubungi cowoknya agar si A diam, yang ada justru kalimat seperti ini: “Kamu buta! Dia itu jahat-sejahatnya manusia. Kalau dia sayang mana mungkin menyakitimu seperti ini. Dia bahkan membawa-bawa orang tua. Tolong dong buka mata! Udah ah, jangan nangis. Don’t lowered your grade by droping many tears!

            Itu baru contoh kecil. Masih banyak percekcokan lain, dari yang sederhana sampai luar biasa, dari diskusi capres-cawapres sampai Jeremy Tety yang lebay henti, dari mulai ribut makan di mana sampai perang mulut yang berakibat diam-diaman. Tapi di GSG 13 proses “perang dingin” takkan pernah bertahan lama. Paling banter tiga hari, lagi pula lebih dari itu kan dosa hehe.

            Itulah mengapa kami seperti saudara, tidak ada apapun yang bisa disegankan kecuali minta uang (iyalah). Bahkan walau sudah punya kamar sendiri-sendiri, siapapun akan dengan bahagia menjajah kamar tetangganya yang baru dirapikan. Kadang aku membayangkan ‘kami seperti kelompok S.A (Special A)’, beranggota tujuh  siswa dengan isi kepala berstrata yang tak bisa dipukul rata. Kalau S.A ada seragamnya, maka masing-masing kami memiliki gelang serupa. 
Berikut ini nama saudara-saudara baruku:

·         Citra

Aku pikir dia yang paling objektif di antara kami semua. Kata-katanya pedas, bila memang harus begitu. Dia ini banyak omong, tapi juga banyak baca buku. Jadi omongannya nggak pernah meleset dari quote dan obrolan berbobot. Walaupun kalau sedang tak bisa dimengerti juga suka nyleneh dan aneh. Mahasiswi jurusan Sastra Inggris ini paling sering memperkenalkan terminologi baru, seperti: Worthed, distorsi, sporadis, STG (singkatan dari Astaga), ji-ei-ji-ei-way (jijay), semonto, so desune dan masih banyak lagi yang bila dikumpulkan bisa membentuk KBBC (Kamus Bahasa Baku Citra). Dia sering memalpraktikkan bahasa yang ditemukan di buku dengan kehidupan sehari-hari. Unikkan?

Dan karena satu fakultas serta mengambil organisasi plek sama, kita berdua jadi seri bertemu. Nggak enaknya ngobrol sama Citra adalah kita jadi merasa bego sebego-begonya manusia. Bagai katak dalam tempurung yang tak pernah kenal dunia luar. Aku sering bertanya-tanya, berapa buku yang sudah dia baca sepanjang 20 tahun?

Tapi selain pedes, dan tidak tahan mengkritik, di satu sisi Citra sangat keibuan. Keibuan yang mendekati ibu-ibu. Masa aku Cuma bergumam “ada air nggak, tenggorokanku lelah nih dari tadi ngomong terus.” Langsung deh Citra melesat sambil membawa segelas air putih untuk kuminum. Harus kuminum. Dia juga kadang minta maaf untuk hal-hal yang secara definitif bukan kesalahan. Contoh:  dia pinjam headphone yang sedianya akan kupakai, tapi berhubung ada acara seru di radio dan laptop belum kunyalakan jadi dibawalah itu headphone ke kamarnya. Lalu kami kembali ke kehidupan masing-masing, citra dengan headphone di kamarnya, sementara aku ngobrol ngalor-ngidul dengan GSG 13 yang lain. Saking lamanya ngobrol, aku bahkan tidak ingat akan menyalakan laptop, dan itu sudah pukul setengah 11 malam. Eh. . .tiba-tiba Citra mengetuk pintu hanya untuk mengembalikan headphone coba, dan tentu saja untuk meminta maaf. Padahal tanpa headphone pun aku masih bisa hidup.

Begitulah Citra, oia, dia punya radang tenggorokan yang kalau sedang kumat bisa sangat mengkhawatirkan.

·         Diena
Anak ini sebelas dua belas denganku. Pendiam yang mendekati aneh. Mahasiswi FKM peminatan epit ini suka berdiam diri di kamar SEHARIAN. Nurul (teman sejurusannya) mengira ia sedang mengerjakan tugas, pas ditanya “tugasmu piye Din?” dengan santai Diena menjawab “Belum.” “Lalu kamu di kamar ngapain?” Lanjut Nurul. “Aku tidur og. Kalo nggak tidur ya nonton video.” Daebak kan?

Dia tergila-gila pada Kai EXO (Boyband), tapi dasar kami, Kai-nya Diena malah dipanggil KAI (Kereta Api Indonesia).

Oia, Diena juga sangat membanggakan motornya. Motor Mio tahun 2009-an itu dinamai STRONGIE, biar kuat. Dan walaupun motornya imut seperti sang pemilik, dia selalu bilang bahwa Strongie kuat. Makanya tidak keberatan kalau dipinjam siapapun. Entah orangnya gendut, tinggi bahkan dibuat bonceng tiga pun tak peduli.

·         Nana

Nama panjangnya Nanaaaaa, nama lengkapnya Siti Nurjanah. Tapi di mana-mana maunya dipanggil Nana. Dia jurusan Sastra Inggris konsentrasi Linguistik. Anak bontot ini suka sekali curhat, dan yah, sedikit manja. Tapi sifat-sifat itulah yang membuatku merasa dia lucu. Dia suka gelendotan, curhat apapun, dan paling enak dijadikan bahan ledekan. Paling gampang dibully. Btw, aku nyaman sekali ngobrol sama dia. Seperti ngobrol dengan adikku di rumah.

Nana sangat menyayangi motornya. Kalau Diena mensugesti bahwa motornya kuat, Nana justru sebaliknya. Dia memperlakukan ‘si nok’ seperti hewan peliharaan yang harus dimanusiakan. Saking memanusiakannya, Nana selalu mencari tempat paling teduh di parkiran untuk si nok. Walaupun untuk itu harus berjalan jauh yang tidak umum ditempuh pemilik motor dan motornya. Kalau disimpulkan dalam satu kalimat: Nana adalah makhluk paling lucu yang mencerahkan kosan gelap kami.

·         Novia a.k.a Opie

Dia satu jurusan denganku. Sastra Indonesia konsentrasi Filologi. Dia teman kosku dari jaman kos kedua. Sebagai manusia-manusia terusir, kami sudah akrab satu sama lain. Suka ngobrol tentang apapun, tentang keluarga, cowok dan tentu saja cita-cita. Terobsesi kuliah di Leiden sana. Saking terobsesinya dia sampai kuliah bahasa Belanda 4 di jurusan Sejarah. Untung di sejarah ada Iqbal. Opie ini paling cemerlang dalam urusan apapun. Jika diibaratkan hewan, opie adalah Bunglon yang bisa beradaptasi secepat dia mau. Temannya banyak, kinerja oke, gebetan juga serenteng.

Di antara kami bertujuh, opie-lah yang paling bisa memproduksi tawa terkeras (ini sulit diputuskan, karena bercanda kami tak mengenal jaim). Dia anak ketiga dari empat bersaudara. Ngobrol dengan Opie serasa bercermin, nyaman dan mengalir saja seperti menulis di buku harian. Walaupun sering mengaku paling miskin, tapi Opie tak pernah pelit uang. Dia suka jajanin temennya, bahkan suka memberi apapun yang dia mampu memberi. Mungkin itulah kenapa Allah memudahkan jalannya. Opie dijadikan teman baik bagi semua orang.

·         Nurul

Nah, ini dia teman sekabupaten. Tapi walaupun berasal dari kabupaten yang sama, kami selalu menggunakan bahasa Indonesia. Nurul adalah mahasiswi FKM konsentrasi epit. Dia pegiat PKM yang selalu berusaha mengajukan proposal. Sebelas dua belas dengan opie  yang mantan Kemenristek BEM FIB Undip. Nurul bisa dibilang ratu infotaiment, tapi dia juga enak diajak ngobrol apa saja. Selalu nyambung kecuali sastra. Dalam hal berargumen, Nurullah yang paling seimbang jika disparingkan dengan Citra.

Ngomong-ngomong soal sastra, Nurul ini rada alergi metafora. Tahu lagu ‘Selimut Tetangga’? Di tangan Nurul, lagu itu adalah lelucon paling lucu yang bikin semua orang ketawa.

 “Ngapain selingkuh bawa selimut tetangga? Emang miskin banget ya, sampe nggak punya selimut!”

Hampir mirip dengan Citra, dia selalu menggunakan logika.  Dalam urusan selera, Nurul adalah “Chaginya[1] Opie. Mereka rela begadang demi korea, download WGM dan Running Man setiap senin. Jika dikumpulkan menjadi satu, Nurul dan Opie adalah sekte pemuja artis korea yang bagi mereka isu Hallyu Wave meredup hanyalah hoax.

Di sisi lain, Nurul yang ceria punya bagian tertutup yang tidak pernah diketahui housemate manapun. Tidak juga aku.

Satu-satunya kesamaanku dengan Nurul adalah kami sama-sama pernah memimpikan UI sebagai almamater setelah SMA. “Nisa aku pengin jaket UI yang kuning silau itu. kan kuning adalah warna intelektualitas.” Katanya pada suatu ketika. Saking sama-sama gila karena pernah ditolak UI, kami pernah ngobrol sampai jam satu malam hanya dengan tema itu-itu saja. Edan rak?

·         Tari

Adalah ratu organisasi di kos kami. Kadep salah satu komisi di Sema fakultas, ngelesin, ikut komunitas, hobi nglukis, pintar ngarang… multi talent pokoknya. Dia mahasiswa FPIK yang suka berinteraksi. Temannya banyak. Bisa dibilang dia adalah orang sibuk yang anehnya masih bisa mengurus hal kecil seperti nyetrika, nyuci, dan ehm. .pacaran. Dia suka sekali makan mie. Hampir mengalahkan rekor opie dalam urusan makanan berpengawet itu.

Tari suka banget ngerancang surprise. Di kepalanya yang kecil itu bisa bermunculan ide-ide yang tidak terpikirkan dan kadang, mengagetkan.

Segitu dulu aja deh. Karena ‘segitu’ pun ternyata sudah 7 halaman Word yang berarti seperti makalah. Walaupun tulisan ini tidak ada manfaatnya selain membantu membuang waktu, setidaknya bisa memenuhi blog. Inilah saudara tanpa darahku, mereka yang membuatku merasa punya keluarga dan tidak
pernah sendiri. Pesan yang ingin kusampaikan hanya: Teman adalah orang lain yang meramaikan episode kehidupan, tapi sahabat, adalah saudara yang turut ambil bagian dalam alur hidup kalian. So, perlakukan mereka sebaik kalian ingin diperlakukan.




[1] Pacar 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar