UA-51566014-1 Catatan Harian: Ekstase Arjuna: Katalisator Dewi-dewi Sejagat

Jumat, 16 Mei 2014

Ekstase Arjuna: Katalisator Dewi-dewi Sejagat

Drupadi:

Impressi pertama itu penting. Ya, hingga kini aku masih dibayang-bayangi impressi pertama itu. Terpesona pada caramu mengangkat busur, lalu membiarkan sang panah menemukan targetnya dengan tepat. Sangat tepat. Mungkin kau perlu tahu, panahmu tak hanya mengarah seekor burung dari bayangnya di air, tetapi hal lain pula yang tunduk bersama lepasnya jari-jarimu. Dan entah karena wajahmu rupawan, atau akalku yang tak di tempat, rasanya gravitasiku bukan lagi bumi. Gravitasiku adalah kau yang melenyapkan segala bentuk kewarasan. Sederhananya, aku tergila-gila.

Aku membencimu saat kau membiarkan kelima Pandawa memilikiku. Aku membenci caramu menghormati Yudhistira, dengan menjadikannya yang utama di antara semua. Aku benci menjadi permaisurinya, benci berbagi ruang di hati yang telah kau monopoli. Ruang absolute yang pernah diakui pemiliknya. Harus kupertegas dengan cara apa, Arjuna? Bila kau berusaha memetakan hatiku sesuai darma, tanpa memahami bahwa keadilan tak pernah ada bagi perempuan yang tak punya pilihan. Tak ada karena menikahi semua pandawa sama saja memecah hati menjadi renik kedukaan. Dan ketika aku mulai menerima, alih-alih berdamai dengan catatan tetap berada di sisimu, kau malah membawa Sembadra sebagai adik yang tak pernah kuinginkan. Arjuna, bagaimanapun aku tidak buta. Lama-lama bocah ayu itu akan menenggelamkan namaku. Mengubahnya semacam noktah kecil di semesta ragamu.

Aku memang terlalu naif. Jatuh cinta pada matahari yang menjadi pusat pergerakan semesta. Tampaknya pula kau mengakui itu. Sehingga pergi untuk menengok sesekali, karena hatimu tak pernah tinggal di manapun. Aku mencintaimu semurni cinta itu sendiri. Tapi kau hanya melihat cintaku sebagai sarapan sebelum menjalani hari panjang. Di jamuan-jamuan selanjutnya, kau sendiri yang menentukan menu. Perempuan dari Dwarawati, Astina atau Pancala?

Sejak semula aku telah jatuh dalam labirin ambivalensi. Mencintaimu sebanyak aku membencimu. Cinta dan benci, kalau kautahu matahariku, bagaikan siang-malam yang datang untuk saling menggantikan. Cinta dan benci juga seperti cahaya-hujan yang membentuk pelangi. Keduanya adalah pasangan berkebalikan, keduanya adalah segala tentangmu di mataku.

Srikandi:

Apa salah mencintai kakak ipar sendiri? Apa salah mengagumi pria tampan sampai mati? Apa salah menginginkannya sebanyak manusia menginginkan kehidupan? Apa salah meminta tempat di hatinya yang seluas samudra? Apa salah menikahi pria yang tak peduli jumlah istri? Apa salah bergabung dengan sesama pemanah? Apa salah menyukai yang juga disukai orang?

Apa salahnya menjadi aku? yang ditakdirkan untuk itu?

Tak ada yang salah. Karena Trimurti sudah menuliskannya sebagai kisah.

Sembadra:

Cinta? Izinkan aku membuang kata itu ke keranjang sampah saja.

Tidak. Aku bukan sedang sombong, atau tak peduli pada nafasnya orang hidup. Sebagai manusia biasa tentu aku memilikinya, menginginkannya dan berniat hidup untuk itu. Meski tanpa cinta pun aku sudah memiliki semua. Wajah cantik, pesona wanita sejagad, dan terutama Arjuna dan Abimanyu. Dua pria yang paling kucintai di dunia.

Tapi, cinta adalah kata dengan sejuta wajah yang tak pernah bisa diterka. Terkadang menghidupi, terkadang meracuni, terkadang membahagiakan, terkadang pula. .  . membuat orang ingin mati. Singkatnya, aku telah kehabisan bahasa untuk sepotong kata itu.

Cinta telah membekukanku dalam ambiguitasnya. Membuatku terpaksa menerima Arjuna lagi dan lagi, atau mengizinkannya berlayar untuk melepas jangkar di sembarang tempat.

Dengan sendirinya, cinta menjelmakan Arjuna dalam berbagai rupa. Tampan tapi penuh borok asmara.

Tentang hubungan kami,
Satu-satunya yang kusyukuri hanyalah Abimanyu. Pangeran Kuru yang berasal dari Arjuna dan aku.

Arjuna:

Untuk apa aku hidup?

Barangkali inilah pertanyaan transenden yang dimiliki setiap manusia. Tapi bagaimana dengan seseorang yang hidup untuk semua yang melingkupi hidupnya? Ya, sesederahana itu. Sejujurnya aku hanya mengada. Membaktikan waktu untuk apapun dan siapapun.

Untuk Trimurti, untuk bangsa Kuru, untuk Pandawa, untuk ibu Kunti, untuk memenangkan Bharatayudha, untuk gandewa, untuk nirwana, untuk dewata, dan untuk. .  . . ah ya, perempuan-perempuan.
Aku mencintai mereka seperti aku mencintai diri sendiri.

Jika dirangkum dalam satu kalimat, hidupku adalah:

“Mencintai sekularitas sambil berjalan menuju malka bernama nirwana.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar