UA-51566014-1 Catatan Harian: Membedah Feminografi Kris Budiman

Selasa, 03 Juni 2014

Membedah Feminografi Kris Budiman

Feminisme yang notabene gerakan penyejajaran status pria dan wanita, ditengarai memiliki berbagai faktor pemicu. Antara lain:
1. Media massa penyebar ideologi gender
            Gender biased yang telah lama mengakar tidak terlepas dari peran besar media massa. Selain sebagai penyalur informasi, media juga membentuk pola pikir masyarakat dengan semiotika dan slogan-slogan yang membelah pria-wanita berdasarkan karakteristik maskulinitas dan feminis. Mata, telinga dan pikiran masyarakat dijejali dengan stereotipe gender yang secara khusus mencirikan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua dengan ranah dapur, pupur dan kasur. Sementara laki-laki dengan segala superioritasnya mendominasi dunia di luar tiga hal tadi. Ironisnya, kemajuan teknologi serta upaya penyejajaran kedudukan antara pria dan wanita, terbatas pada reduksi bentuk pengekangan. Tidak percaya?
            Hampir semua superhero dalam film barat, (apalagi) Indonesia, berjenis kelamin laki-laki. Meski di satu sisi kita juga mengenal Wonder Woman, ia masih seorang pahla(wan/wati?) yang juga eksebisionis dalam segi sensualitas. Sedangkan superhero laki-laki memiliki dunia maskulinnya sendiri dan (hanya) menempatkan perempuan sebagai pemanis kehidupan tanpa mengganggu tugas super mereka. Contoh lainnya majalah perempuan. Pernahkah anda menemukan majalah perempuan atau bahkan “wanita” yang mengangkat tema politik, kebudayaan serta hal-hal berbau intelektual lainnya? Saya pribadi belum pernah. Untuk menemukan tema-tema ‘angker’ seperti itu, seorang perempuan harus lari pada Koran yang santer dengan image ‘bacaan bapak-bapak’. Karena isi majalah perempuan sendiri hanya berkisar antara kecantikan, mode, etiket pergaulan dan gossip selebritis. Oia, satu lagi, tips mempertahankan hubungan atau tips menghadapi pria hidung belang!. Ironis sekali. Media, di balik misi menghiburnya, ternyata membentuk pola pikir masyarakat agar sepakat untuk tidak sepakat bahwa pria dan wanita adalah sejajar. Secara parsial, media turut mengamini dan (entah dengan atau tidak) sadar mendengungkan issue perempuan dibesarkan untuk menyiasati sikap laki-laki. Dibesarkan untuk menjadi cantik agar selalu mendapat tempat di sisi yang mendominasi. Belum lagi jika membicarakan iklan yang penuh unsur seksisme. Walah.. tidak terhitung!
2. Politik Busana
            Hah? Busana berpolitik?
            Itu pasti komentar retoris pertama yang muncul dari pernyataan di atas. Dan jawabannya adalah YA.
            Busana yang dalam pelajaran muatan lokal memiliki definisi sebagai instrument yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari ganasnya alam, telah amat sangat mengalami perluasan makna. Rok mini contohnya, dari segi apapun perempuan serba direpotkan ketika mengenakan busana “tidak maksud” ini. Baik saat duduk, menungging, jongkok apalagi berdiri di tengah terpaan angin. Sebenarnya perempuan mengenakannya juga karena terpapar pandangan pria yang konon katanya MENCINTAI KEINDAHAN. Sedangkan kaum hawa hanyalah makhluk yang tanpa pretensi apapun memiliki kebutuhan besar untuk diperhatikan. Tidak peduli perhatian itu dalam wujud pujian, kekaguman bahkan pandangan menjijikan.
            Mode politik busana ini dari zaman ke zaman terus mengalami Ad Infinitum. Mulai dari Jawa jaman saya belum lahir, sampai jawa ketika saya membuat ulasan ini, busana perempuan masih sarat oleh unsur seksisme. Lihat saja kebaya atau kemban yang serba ketat dari atas sampai bawah, depan-belakang, bahkan hingga ke dalam yang seringkali membuat sesak nafas. Otomatis busana elegan yang saru ini membatasi gerak perempuan, jangankan untuk berlari, untuk berjalan saja barangkali bisa dibuat lomba sama bebek. Sekali lagi, saking feminimnya. Dan yang lebih irasional adalah wisuda. Di zaman yang Hulk saja bisa diringkus, perempuan dengan tidak masuk akal berdandan subuh-subuh hanya untuk berkebaya, sementara jubah hitam yang panjangnya sedengkul sudah menanti untuk menutupi. What the heck! Sayangnya ini sudah terlanjur membudaya. Saya juga belum tentu bisa menentangnya. Hehe. Walaupun belakangan sudah mulai berpikir kalau wisuda nanti akan merias wajah saja, dengan berpakaian kaos dan bawahan rok kebaya pinjam ibu. Kan praktis, bahkan kalau perlu yang dandanin juga ibu! Atau kalau ada gerakan tidak usah berdandan, saya akan langsung berdiri di shaff pertama.
            Di satu pihak ada beberapa feminis yang mencoba berpakaian ala pria. Seperti kemeja, celana, kaos dan apapun yang jauh dari keriweuhan (dan jujur, nyaman sekaliii). Namun, pernahkah anda berpikir bahwa tindakan tersebut justru terlihat mengamini bahwa diam-diam perempuan mengakui superioritas lelaki. Yakni maskul(in)isasi perempuan. Politik busana ini secara sosial diperbolehkan. Sementara laki-laki tidak ada yang mengalami feminisasi busana, kecuali dia banci atau tuntutan profesi. Tapi dikotomi busana, bagaimanapun menjadi ranah yang sulit dimengerti. Perempuan tetap dianggap objek, sepria apapun dia berpakaian. Buktinya di dunia yang sangat mainstream ini, pelecehan seksual masih banyak dimotori oleh makhluk bernama laki-laki.
3. Perempuan dari Kacamata Seni(man)
            Sejauh ini, perempuan hanya dijadikan objek seni. Seperti model patung, model lukisan dan yang modern tentu saja model fotografi. Ia dijadikan objek eksploitasi yang ditempatkan dalam sudut tergelap untuk memamerkan dirinya. Tentu ini dilakukan oleh seniman laki-laki yang mencintai keindahan tadi. Sedikitnya, ini mendedahkan fakta bahwa perempuan (dengan segala eksebisinya) masih dalam taraf objek yang dituntut, bukan subjek yang berbicara. Sadarlah, hey para model yang pakaiannya kekurangan bahan! Semakin kalian memamerkan keindahan yang entah dimaksudkan bagi siapa, semakin terlihat bahwa kalian adalah makhluk puritan yang memposisikan diri sebagai benda pemuas. Mengapa pula harus berbahagia atas ketenaran tidak prinsipil yang harus merendahkan diri serendah-rendahnya.
4. Bahasa(wan)ita
            Tahukah kalian apa itu emansipasi? Pasti tahu dong. Kalau nggak tau pulang saja ke jenjang TK, karena SD pun sudah banyak yang tau. Itu loh, istilah yang menemui panennya setiap bulan April. Yap, Indonesia memiliki Kartini sebagai ujung tombak emansipasi. Kartini merupakan pahlawan (lihat penyebut gelarnya, pahla-WAN) perempuan yang menuntut penyejajaran peran dengan laki-laki. Putri Jepara ini menuntut dengan cara menulis, bukan bermodel ria atau memasuki dunia absurd lainnya untuk meneriakkan ketidakadilan. Emansipasi bisa dibilang kakak-adikan sama feminisme. Tapi feminisme yang belum banyak makan asam garam kehidupan masih sangat bias. Emansipasi itu gerakannya, sementara feminis lebih ke sifat dan orangnya. Kendati bertolak dari unsur yang sama, yakni penolakan terhadap dominasi patriarki, emansipasi fokus pada peranan perempuan. Sedangkan feminisme yang banyak jenisnya itu masih kurang terarah (mungkin karena sejarahnya masih singkat dan polarisasinya tidak nggenah kali ya).
            Apa kaitan antara feminisme dan emansipasi dengan bahasa sebagai faktor yang mempengaruhi hubungan pria-wanita? Sebenarnya mitos kebahasaan feminisme itu banyak sekali, tapi baiklah, mulai dari yang terdekat. Perempuan dengan segala kerendahan hatinya telah dicap sebagai makhluk cerewet, tukang gossip, tukang curhat atau apapun yang memberdayakan kinerja mulut. Padahal dalam interaksi sehari-hari, prialah yang cenderung memulai pembicaraan, melakukan first move dan tak jarang pula mendominasi. Sebenarnya sah-sah saja, tapi pertanyaan mendasarnya adalah “alasan fundamental apa yang menyebabkan perempuan dicap sebagai makhluk bermulut besar?”. Itu contoh satu.
            Kedua, penyebutan istilah yang berhubungan dengan profesi: sastrawan, wartawan, pahlawan, cendikiawan dsb. Bahkan yang lebih sensitif lagi, Tuhan menggunakan persona “He”. Tentunya ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang kendati impulsif terus menerus menghantui otak. Haruskah para feminis membuat istilah “cendikiawati” untuk menunjukan sisi inteleknya? Juga, kenapa harus dalam kata “woman” ada unsur “man” yang memperbesar syak wasangka bahwa perempuan berhutang budi pada laki-laki sejak dari tulang rusuk. Sayang (belum) pernah ditemukan penelitian mendalam mengenai linguistik historis komparatif agar peristilahan ini dapat terjelaskan sejelas-jelasnya kejelasan. Padahal ini menarik sekali, hanya saja terlalu utopis seperti mengejar horizon, karena harus mengurutkan sejak zaman nabi adam As. Tapi saya pribadi kurang tau, belum pernah ngubek2 jurnal ilmiah seluruh dunia tentang ini soalnya.
            Demikianlah faktor yang mempengaruhi feminisme (menurut feminografi Kris Budiman). Sebenarnya ada satu hal lagi bahasan, tentang dua orang feminis internasional yakni Julia Kristeva dan Helen Cixious. Tapi karena keterbatasan daya kerja mata, akhirnya cuma bisa menarik kesimpulan:
            Feminisme merupakan upaya menumbangkan oposisi biner hierarkis antara laki-laki dan perempuan yang terlanjur dianggap sebagai hal “kodrati”. Feminisme bukan upaya egaliter dan borjuis agar perempuan mendapat hak atas kekuasaan. Jadi, para pria, perempuan tidak picik-picik amat kok tentang hal-hal berbau dominasi. Kami hanya risih dipandang sebelah mata, atau dinilai dengan sudut pandang laki-laki yang rumit dan (kurang) menyenangkan itu. yah. . . walaupun fakta di lapangan ada sebagian yang sukarela dan ikhlas2 saja “diseperti-itukan”.
Sekian, terimakasihJ

Daftar pustaka:

Budiman, Kris. Feminografi. 1999. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar