UA-51566014-1 Catatan Harian

Sabtu, 12 Januari 2013


Menjadi Diri Sendiri, Antara Munafik dan Asyik



            Seringkali seseorang menuliskan “Jadilah diri sendiri” ke dalam motto hidupnya. Tapi pernahkan kalian berpikir apa esensi menjadi diri sendiri? Ya. Sederhana dan nyaris tak tampak. Pertanyaan mendasar itu seringkali tak terlintas dalam benak siapapun yang dengan bangga mengakui “inilah aku yang apa adanya”. Mereka terus memunculkan karakter-karakter khas tanpa peduli ia dipedulikan atau tidak.
            Pada dasarnya kehidupan ini adalah proses mencari hakikat kemanusiaan tanpa membubuhkan karakter dalam wadah yang sama. Ketika seseorang berusaha mencari jati diri maka ia akan menemui banyak sekali hal yang bukan ia. Awalnya akan tersiksa, namun disinilah letak tantangan. Seberapa kuat individu tersebut bertahan dalam perbedaan, maka dialah  pemenang. Permasalahannya adalah mampukah seseorang tetap menjalani proses yang mengharuskan dirinya bertemu banyak wajah dengan segala sesuatu yang terlalu jauh berbeda?
            Seperti kita tau, sampai kiamatpun takkan ada satu makhluk yang sanggup meraih surga di atas kaki sendiri. Segala hal yang berkaitan dengan sukses membutuhkan proses panjang. Dan proses itu menawarkan dua posisi bagi kita dalam pandangan orang lain. Apakah menjadi penting dalam suatu komunitas atau berbahagia di atas penderitaan orang. Semua berakar dari keputusan. Dan sudah pasti pilihan pertamalah yang paling dinginkan. Yah. . . siapa sih yang tidak ingin menjadi penting.
            Lalu apa hubungannya dengan munafik dan asyik?  
Menjadi diri sendiri berarti harus siap dibenci. Kenapa? Karena kita akan menentang begitu banyak hal hanya untuk nyaman di peraduan hati. Bisu ketika ditanya mengapa. Tuli saat ditembak peluru-peluru kritik yang tajam dan sadis. Sementara orang lain begitu muak dengan “ke-tembok-an” yang luar biasa kaku. Tak bergerak bak mobil kehabisan bensin. Yang perlu dilakukan hanyalah terus menerus menghidar dari kosakata “lelah”. Toh kita telah mengantongi keasyikan dalam saku pribadi. Asal tak mandeg bernafas, segalanya akan jadi nirwana di mata kita. Bahagia.
Lain halnya ketika seseorang memilih “penting”. Ia adalah matahari, bintang-bintang mengelilingi. Tak limbung sebelum gerak semu berakhir. Pusat dimana seluruh aspek mati saat dia hilang dari peredaran. Popular sudah pasti. Terkenal tak diragukan lagi. Lalu apa yang perlu dipermasalahkan hingga begitu sedikit golongan berpegang teguh pada pilihan ini. Sebenarnya hanya ada satu alasan. Melebur dalam kebahagiaan bersama dan belajar munafik terhadap bisikan hati. Ia wajib merelakan ceria yang sederhana demi kemaslahatan umum tanpa mengikutsertakan kesejahteraan diri. Barangkali motto utamanya harus “sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi orang lain”. Tenggelam dalam kesibukan yang sama sekali tak menguntungkan diri sendiri, bahkan lebih sering merugikan. Baik dari segi waktu, tenaga maupun biaya. Menghianati keinginan pribadi agar senyum terus mengembang di banyak mulut. Kegagalan adalah dosa yang dibebankan pada pundaknya.
Sayangnya kebanyakan manusia lebih memilih jadi diri sendiri. Dan lihatlah, bumi kita masih  terlalu egois untuk memahami kemauan alam semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar