UA-51566014-1 Catatan Harian: Kamis setelah pusing KWU

Kamis, 04 Juli 2013

Kamis setelah pusing KWU

Kalau Kau Mau, Sebut Saja Curhat!

Tuhan, bahagia itu sederhana kan?

Tetapi kenapa hamba merasa bahagia itu kerumitan nisbi dari sebuah kehidupan. Rasanya tidak ada kebahagian hakiki kecuali merebut dari sisi orang lain. Bagaimana aku dengan nyaman hidup di suatu tempat, mencari niskala dalam peluh kedua orang tua yang pontang-panting mencari hutang. Hingga hidup mereka hanyalah gali lobang-tutup lobang untuk menghidupi manusia-manusia yana entah kapan bisa diambil manfaatnya. Kenapa harus ada beban yang menggelayut di kedua pundak yang mungkin saja tak sekuat sangkaanMu? Adakah yang bisa kutopang barang sedikit untuk menguranginya. Aku tau mereka bertolak belakang yang entah bisa saling melengkapi atau tidak. Sehingga perbedaan hanyalah petaka untuk merasa berhak saling menyalahkan.

Bolehkah kecewa pada diri sendiri?

Ketika ketidakbergunaan ini semakin menyiksa, aku bisa apa? Apakah harus terus meminta dan membuat pinjaman itu menggunung hingga tak teratasi. Sedih rasanya menyaksikan mata yang meminta kita jadi nomor satu. Sementara di sini hanya ada kompetisi yang tidak pernah bisa dilewati kecuali kita merelakan diri untuk lebur di dalamnya. Rasanya hampir meledak saat tau bahwa tiap helaan nafas di tempat menyenangkan ini merupakan halaman yang mereka susut dengan keringat. Dan sama sekali tak cukup memenuhi ruang hari-hari mereka sendiri. Aku tau semua itu, bahkan saat mereka dengan sok kaya bilang “ah, tanggal itu sih bapak udah punya uang”. Bolehkah hamba mengakhiri semua ini agar tak usah ada kamuflase lagi. Karena setiap kamuflase adalah proses lupa yang justru membuat kita semakin ingat.

Kalau membunuh itu tidak dosa, aku sudah melakukannya. Bukan meghilangkan nila yang telah menyebabkan segalanya jadi tak bermakna, tetapi membunuh diri sendiri agar mengurangi sedkit saja beban yang meruang dalam detik-detik hidup kedua malaikatku. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap keluarga memiliki satu nama yang tak boleh disebut. Ya, manusia itu, aku saat menyukainya terlepas dari cara dia hadir di dunia. Tapi aku ingin menghilangkannya, atau setidaknya, membuat dia bukan lagi rahasia. Kenapa Tuhan, adakah orang yang sudah beri bekal pendidikan tinggi, motor, hape dll masih dengan tega menusukkan sembilu ke jantung hati keluarga. Ada! Dan orang itu harus dengan hormat kusebut sebagai KAKAK. Apakah ini bagian dari skenarioMu yang tengah mencapai klimaks? Kalau iya, cepatlah antarkan kami pada penyelesaian yang menghasilkan happy ending.

Di sisi lain, tidak ingin semua berakhir dengan mati.


Memangnya mati itu menyelesaikan masalah? Tidak! Itu seperti jargon sebuah instansi “mengatasi masalah dengan masalah”. Kenyataannya hidup yang hanya sekali ini harus berarti, bagaimanapun caranya. Walaupun aku anak tingah yang tidak mencuri perhatian, terlebih dengan keautisan atas diri sendiri, aku tak ingin kembali sebelum membahagiakan mereka. Setelah menyusahkan, perlu ada upaya pembahagian agar jadi seimbang. Aku milikMu dan hanya akan kembali padaMu. Tapi sebelum itu, ijinkanku mengukirkan senyum pada wajah-wajah yang jadi perantara eksistensiku di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar