UA-51566014-1 Catatan Harian: September Course

Sabtu, 20 September 2014

September Course


Ini September kedua, sejak setahun lalu saya bertanya dan dengan utopis mengharap jawaban dari siapapun yang bisa menjawab. “Sebenarnya hidup itu apa sih?”
            Manusia adalah makhluk yang unik. Barangkali kita memang satu-satunya makhluk Tuhan yang diberi kesempatan untuk berdualisme dalam satu bentuk. Descartes mengatakan bahwa ‘seorang’ manusia, ditopang oleh dua hal dalam dirinya yakni pikiran dan fisik. Betapa pun ia meyakini sesuatu sebagai kebenaran, logikanya tidak tahan untuk tidak bertanya mengenai keberadaan dirinya atau setidaknya bertanya mengapa dia harus ada. Pertanyaan transenden itu yang menjadi dasar filsafat eksistensialisme, walaupun Descartes sendiri menyadari: berpikir tidak membawa seseorang pada kebenaran bahkan bisa jadi menyesatkan.
            September kedua ini, setelah kehilangan (lagi) orang dekat, saya jadi ingin mengamini pendapat (entah siapa lupa) bahwa keberadaan seseorang tidak ditentukan oleh kehadirannya secara fisik saja. Seringnya, orang yang dianggap sudah tak ada justru memiliki makna berarti bagi kehidupan seseorang. Atau kepergiannya justru membuat dia semakin eksis. Meski di satu sisi, eksis adalah satu hal yang simpel dan singkat sebagaimana ia timbul. Kita bisa saja menangis guling-guling hari ini, lalu esok hari bisa melupakan objek tangisan itu hanya karena sesuatu sesederahana flu. Hanya yang memiliki memori dan perasaan mutual saja yang akan melanggengkan sebuah eksistensi.
            Perasaan mutual itulah yang pada akhirnya mengikat seseorang dengan orang lainnya. Ia abadi (tentu saja dalam versi phisicly) sebagai kenangan yang membuat sebuah nama terus hidup dalam ingatan. Dulu saya ingat pernah jalan dengan seorang teman, hari ini dia sudah tidak ada, saya
jadi berpikir jangan-jangan suatu saat akan ada yg mengingat saya sebagai kenangan belaka. Dan saya yang sudah pergi entah ke dunia macam apa, mungkin akan menganggap ‘hidup’ sebagai masa lalu yang kendati lekat namun begitu rapuh dan tak mungkin lagi disentuh. Seperti album-album lawas dalam bingkai, ia akan berada di tempatnya sebagai sejarah yang tak terjamah.
            Orang datang dan pergi, menciptakan interaksi dan kenangan, lalu suatu saat ia hilang adalah hal biasa. Yang selalu ada hanya waktu, kan? Waktu yang (menurut kepercayaan saya) suatu saat akan luruh juga. Kita yang sekarang ‘ada’, bisa merangkai cerita, bisa tau hari dan tanggal, bisa makan bahkan bisa saling mencinta atau benci, pada hakikatnya merasa berhak menyebut dirinya hidup karena menempati bentuk fisik tertentu. Tanpa kita sadar, kecuali waktu, semuanya akan berada pada kondisi yang sama sebagai nous.
            Ngomong-ngomong soal nous, apakah kita tidak boleh menyebut mereka hidup hanya karena tidak mengerti yang sedang mereka jalani itu ‘kehidupan’ macam mana? Saya sih sering merasa, jangan-jangan mereka yang di sana bilang begini:
            “Puas-puas o ndes, urip o kono. Suk mben nek wes dadi aku rak nduwe kesempatan, nyesel kowe.”
            Sepertinya kita yang terlalu sibuk tumbuh menjadi ‘orang’, lupa bahwa kepastian paling pasti dalam hidup adalah mati. Bahkan mati pun bukan titik henti, apabila kita percaya manusia itu dualisme dari fisik & pikiran, tubuh & jiwa, tindakan & perasaan. Apakah setelah melewati gerbang bernama mati, jiwa kita tidak mengalami apa-apa? yakin? Atau jangan-jangan kita terlalu takut mengingat mati sehingga lebih memilih buta saja.
            Sementara ini yang eksis hanya waktu.
            Lalu apakah masa depan itu? Apakah bertahun-tahun lagi setelah kita menua dan menjadi puritan dengan sendirinya?
 Bisa ya, bisa tidak. Kalau kita lepas dari realitas fisik, maka masa depan kita adalah kehidupan yang disekat-sekat oleh batas. Batas itu berupa besok, tahun depan, kehidupan setelah ini atau apapun. Menurut saya pribadi, masa depan adalah apa yang dialami jiwa kita setelah ini.
Oia, pernah baca novel Supernova karya Dee? Kalau sudah berarti masa dewasa awal anda biasa saja, kalau belum ya belilah sana. Novel itu bukan hanya keren dari segi sastra, tapi juga esensinya. Ia adalah manifestasi filsafat pengarangnya yang mampu menginfeksi pikiran pembaca tentang bagaimana menimbang hidup dari sisi lain. Hidup ini banyak rasa, kata salah satu iklan, maka kita perlu melihat simpul-simpulnya untuk bisa menarik hipotesa. Benar kata Sherina, lihat segalanya lebih dekat dan kau akan mengerti. Hidup adalah semesta kemungkinan yang membuat bermacam-macam hal di dalamnya menjadi relatif.
Kembali ke topik, dalam novel itu pengarang mengajak pembaca untuk membuka mata, Hey ini loh kita punya pikiran. Pikiran itu jangan hanya dibuat menghitung satu tambah satu sama dengan dua atau anggota triple setelah tiga dan empat adalah lima, tetapi coba buka seluas-luasnya. Tuhan itu Maha Cerdas, ia menciptakan segala sesuatu dengan seimbang, hitam-putih, langit-bumi, laki-laki-perempuan, mikrokosmos-makrokosmos. Yap, akhirnya sampai pada istilah itu, mikrokosmos dan makrokosmos.
            Masih berdasarkan novel itu, taruhlah alam semesta adalah makrokosmos, manusia sendiri adalah mikrokosmos. Sebagai bagian dari mikrokosmos, tentunya kita merupakan replika itu sendiri, dengan kata lain bisa mengeksplore lebih dalam untuk mengerti lebih jauh. Kesadaran itu akan membuat kita jadi lain, maksudnya, memperlakukan sesuatu bukan dari sudut pandang diri sendiri. Kita tahu sama tahu, sangat banyak spesies makhlukNya yang tinggal di bumi. Maka, merupakan kebrengsekan tingkat dewa apabila melakukan sesuatu tanpa menimbang baik-buruknya bagi orang lain.
            Sebenarnya saya membaca novel itu sudah sekitar setahunan yang lalu, jadi lupa-lupa ingat. Intinya, berkat membaca novel sejenis itu saya jadi merasa bukan apa-apa sekaligus sangat apa-apa dalam berbagai waktu. Ruang dan waktu itu sesuatu yang relatif juga. Orang datang dan pergi sesuka kehendakNya, karena saya percaya, tidak ada yang namanya kebetulan di muka bumi ini. Bahkan perkara seringan daun jatuh pun telah ditimbang olehNya. Hanya saja, untuk menghindari kemelekatan, disarankan tidak mencintai atau membenci apapun terlalu dalam. Benci itu sesuatu yang melelahkan, sementara Cinta adalah sesuatu yang melelahkan berlipat-lipat. Bagaimana tidak melelahkan, kalau kita benar-benar mencintai seseorang, maka kita akan merasa menanggung beban dua kali lipat dari apa yang kita cintai rasakan. Dia sakit kita yang sedih, dia putus asa kita yang bingung setengah mati, dia meninggal? Menyaksikan orang yang kamu cintai meninggal, jika belum pernah maka bersiaplah saja. Atau persiapkan orang yang kamu cintai untuk ikhlas ditinggal kapan saja.

            Ngomong-ngomong soal cinta, saya jadi merindukan hari tanpa tanggal, bulan tanpa nama dan waktu tanpa jeda untuk berkumpul bersama orang-orang tercinta. Hanya ada kita. Tanpa waktu, tanpa pembatas bilangan dunia. Kapan ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar