UA-51566014-1 Catatan Harian: Menuju padaNyalah engkau dengan tenang.

Kamis, 11 September 2014

Menuju padaNyalah engkau dengan tenang.

Tegal, 12 September 2014

            Kawan, hidup begitu seperti ini ya. Memintamu, meminta kita menjalani apa yang tak terbayangkan sebelumnya. Lalu suatu pagi kau membangunkanku lewat orang lain, lewat berita-berita yang tercecer seperti darah dari luka menganga, lewat tanya yang menderu.. sementara aku tak pernah punya cukup peluru untuk menjawab tentangmu. Aku tak memiliki cukup nyali untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa kau memenuhi panggilanNya dengan sebuah cerita yang siapapun tau itu duka.

            Setelah hari itu, antara kita akan berlalu seperti waktu. Seperti ilusi yang ditinggal pergi penciptanya. Seperti ladang yang telah menumbuhkan demikian banyak buah, tapi tak lagi dikenang sebagai rumah. Kemudian hari-hari yang kita lalui bersama hanyalah angka, hanyalah cerita yang pada akhirnya usang hingga mati sama sekali.

            8 September 2014, mana aku tau kalau itu pertemuan terakhir kita? Mana aku tau kalau sejatinya kita telah begitu asing dengan hari yang akan datang. Dengan esok hari yang kemudian menjabat tanganmu sebagai korban suatu tindak kriminal. Dan yang lebih membuatku tidak menyangka, kau pergi tanpa meninggalkan tanda yang bisa kubaca sama sekali. Lantas, di hari yang begitu sepi ini.. masih layakkah aku menyebut diri sebagai sahabatmu? Setelah apa yang terlewat bahkan tak menyisakan kepantasan bagiku untuk sekadar disebut ‘teman’.

            Aku masih menyimpan senyum terakhirmu, saat aku meneriakkan namamu dari seberang kursi kuliah, sementara kau hanya menengok untuk berekspresi sekedarnya yang bila dideskripsikan dalam bentuk kalimat adalah:

            “Opo toh?!”

          Ya, hanya sesederhana itu. Tapi senyum tersebut lantas menjadi bagian paling giris jika diingat.

            Aku masih pada tempatku sebagai orang yang susah menangis. Tapi kawan, taukah kau bahwa yang tak bisa kukeluarkan lewat mata sejatinya lebih mengganjal di dada, seperti bebatuan yang dilesakkan paksa.. berat dan tak bisa kulepas satu persatu lewat ekspresi. Kau tak tau rasanya, membaca namamu dari suatu Koran yang menjadikan kejadian semacam itu sebagai makanan, adalah sembilu yang berkali-kali memaksaku berhenti dan menyebutNya karena melihat bahwa itu memang benar-benar kau. Beberapa teman yang lainnya malah menangis, ada pula yang sampai bolak-balik ke kamar mandi entah karena shock atau apa.

            Aku yakin, pada bagian ini… jika saja kau masih sempat membacanya, kau akan tertawa, meledek atau mengataiku sebagai orang yang mellow plus alay. Tapi, aku tidak ingin mengulang berita-berita tak berprikemanusiaan tentangmu, tidak ingin segala sedih hanya berujung pada status dan cerita saja.. Aku, dengan segenap ke-bukan-siapa2an-ku, ingin tetap menjadi sahabat yang semestinya. Yang memohonkan pada Tuhan kita agar kau senantiasa diberi tempat terbaik. Ikhlaslah kawan, seperti ikhlasnya embun pagi yang dihapus mentari.. biarlah dia yang menjadi jalanmu pergi lewat titik nadir menemui perhitungannya. Ada Yang Maha Adil yang akan menghitungkannya untukmu. Aku tau dan (mungkin) kau juga mengerti, tangis bukanlah sesuatu yang penting… dan seseorang tidak akan benar-benar pergi jika masih ada yang menyimpan namanya dalam hati.

Hai jiwa yang tenang.  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS Al-Fajr 27-30)

Wahai makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada, berbahagialah dalam ketiadanmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar