UA-51566014-1 Catatan Harian

Senin, 30 Juni 2014

Your children aren’t your children.
The are the sons and daughters of Life’s longing for itself.
They come through you but not from you.
And thou they are with you yet they belong not to you.
You may give them your love but not your thoughts.
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls.
For their souls dwell in the house of tomorrow, which you can’t visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them, but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
Your are the bows from which your children as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite, and He bends you with His might that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrows that flies, so He loves also the bow that is stable.
(Darma, 2008:122) *Raffilus

            Sepertinya memiliki anak bahagia sekali ya. Bisa menggendongnya, melihat turunan wajah kita bercampur dengan wajah orang lain, menyuapkan bubur atau mendengarkan kegagalan fonologinya yang justru merdu. Beberapa teman yang sudah berkeluarga dan punya anak rajin update perkembangan putra mereka. Katanya membahagiakan, walau harus merelakan waktu luang apalagi waktu istirahat, memikirkan baju-baju dan kebutuhan lain yang harus dibeli. But it’s ok, it’s love.

Bukan, ini bukan karena aku perempuan dewasa yang tiba-tiba ingin punya anak ketika melihat anak kecil lucu. Atau hal-hal impulsif lainnya. Ini murni karena tema tulisan ini adalah anak-anak.

Anak kecil punya senyum paling tulus. Paling bersih dari pretensi apapun yang membuat orang yang disenyuminya susah untuk tidak tersenyum balik. Bahkan terkadang, membuat mereka tersenyum adalah suatu kebahagiaan tersendiri.

Mereka punya dunia sendiri yang tak bisa kita masuki. Kendati setiap orang dewasa pernah menjadi anak-anak, semua pasti lupa bagaimana cara menenangkan tangis yang sedang meledak, meredakan emosi yang tak jelas, dan alih-alih bingung terpaksa menyerah lalu bilang: “Sebenarnya mau kamu apa!”

Kita juga tidak paham dan jengkel sendiri melihat manusia kecil yang lebih memilih hujan-hujan ketimbang berdiam diri di rumah. Di sisi lain sering tertawa sok waras melihat anak kecil ngobrol dengan tembok. Tanpa sadar bahwa dirinya sendiri pernah melakukan itu (terutama cewek). Padahal beberapa orang dewasa jauh lebih absurd dengan memaki-maki, mengeluh dan nyinyir di dunia maya. Anak kecil pun tidak paham itu.

Berbicara dengan benda mati, hujan-hujan, rumah-rumahan, berlarian di siang hari yang panas gila, mencintai es setengah mati padahal rawan pilek, itu semua hanya implementasi keluguan mereka yang tak bisa kita sentuh. Sekali lagi, mereka punya dunia sendiri. Mereka dalam kacamata kita adalah anak-anak konyol yang harus dibimbing, sementara kita bagi mereka adalah manusia sok logis yang diktator.

Sebagai orang dewasa, seringnya orangtua lupa bahwa anak-anak punya pikiran sendiri, memiliki segudang cita-cita dan yang lebih utama yaitu punya perasaan. Pasti di antara kalian ada yang pernah merasa dipaksa atau (dengan sedikit menyesal) mengikuti apapun keinginan bapak/ibu.

Tidak apa. Asal bahagia dan ikhlas, itu termasuk berbakti pada orangtua.

Namun apa jadinya kalau orang tua menyetting anaknya menjadi seperti utopia mereka. Seolah-olah mereka Tuhan yang menentukan nasib dan anak hanya kepala tanpa rencana.

You may give them your love but not your thoughts. For they have their own thoughts.

            Sekali-kali mereka bukan segumpal daging belaka. Mereka punya hati, perasaan dan pikiran yang apabila ditekan terus-menerus akan memuai, dan pada akhirnya berontak.

            Bagaimanapun, setiap kita lahir melalui orang tua dengan membawa misi masing-masing. Misi yang merupakan rahasia Tuhan yang harus digali dengan segenap potensi. Orang tua dalam beberapa hal hanya pembimbing, rumah pertama yang harus merelakan penghuninya pergi suatu waktu.

            Sementara itu, posisi sebagai rumah pertama juga sangat penting bagi perkembangan seorang anak. Coba, andaikata ibunya Hitler tidak melahirkan dalam kondisi keluarga tidak menentu. Sang suami adalah pamannya sendiri yang entah kenapa suka menciptakan neraka bagi Hitler. Dan meskipun Hitler tidak cacat, malah cenderung jenius, ada ruang dalam dirinya yang dibentuk oleh keluarga. Ruang yang dalam perjalanan hidup Hitler mengendalikan sikapnya, menuntun langkah menuju predikat aktor fasis internasional.

 Ruang itu bernama jiwa.

            Maka, agar anak-anak kita nanti menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama, pertama-tama kita harus bercermin dulu. Lihat, introspeksi, jadikan kesalahan orang tua kita di masa lampau sebagai refleksi agar tak terulang lagi. Berikan kebebasan bagi anak-anak untuk menjadi yang mereka mau, bimbing, seperti dulu kita dititah dan setelahnya dibiarkan berlari menuju keinginan masing-masing.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar