UA-51566014-1 Catatan Harian: Pintu Kemana Saja

Jumat, 01 Agustus 2014

Pintu Kemana Saja



Belakangan ini saya cepat sekali bosan. Pada pagi, siang, sore dan malam yang sama. Sama-sama nyaman dan tentram. Namun, ketika sendiri, saya sadar bahwa kenyaman selalu menghayutkan waktu seseorang pada suatu kemandekan, membuatnya merasa bahagia itu memang sederhana tapi mahal harganya, hingga di ujung kebahagian tersebut waktu kembali menyadarkan tentang apa-apa yang belum terlaksana.

Setiap kali liburan nyaris berakhir. . .saya hampir selalu menyesal. Entah, menyesali perjumpaan serta kebersamaan yang terlalu sebentar. Atau justru menyesali kenapa liburan datang dalam porsi yang membingungkan: sebentar tapi bermakna, lama tapi biasa saja. Dan lantaran saya mengalami yang pertama, maka segalanya terasa tak berjeda, beruntun laksana kereta api dengan gerbong silaturahmi  wajah lama yang masing-masing dari mereka menyimpan cerita di memori saya.

ada rasa malas yang berjelaga dan mengganggu pikiran, menderu seperti peluru untuk menghalalkan keluhan pada tempat yang sejatinya tak pernah memberi rasa aman. Bahkan tidak untuk tidur berkualitas yang seharusnya menjadi hak semua orang. Sayangnya, toh, saya terlanjur nyaman dengan tempat itu. And I wanna be a strong wall in the hard place.

Sungguh, di dunia ini, satu-satunya benda yang paling saya inginkan adalah ‘pintu ke mana saja’. Konyol memang, bahkan sama sekali tak memiliki setitik pun alasan baginya untuk disebut logis. Namun, andai selalu memiliki jalannya untuk membuat orang terpukau. Karena namanya saja andai, jadi dia harus berada pada tempatnya sebagai pengobat utopia yang menawarkan fatamorgana.

Saya ingin berandai-andai memiliki benda itu, sekali ini saja.

Kalau saya punya pintu ke mana saja: kehidupan takkan pernah memberi kebosanan spasial, yang ada hanyalah penjelajahan yang meruang dalam setiap waktu luang. Saya ingin mendaki sumbing dan sindhoro yang kemarin-kemarin hanya mampu dilewati, duduk menatap sunrise di puncak selamet -yang 21 tahun hidup satu kabupaten- tapi hanya mewujud dalam bentuk verbal sebagai gunung. I wanna go to the land four seasons, as long as possible. Setidaknya bisa merasai dingin yang standar internasional atau musim di mana bunga-bunga tumbuh bermekaran lebih cantik dari definisi cantik itu sendiri. Terutama Edelweis, yang baru sempat saya lihat dalam bentuk layu karena turun dari asalnya ke Semarang.

Saya mau ke Edenham dan Edensore, dua tempat berdampingan yang keindahannya baru saya lihat dalam bentuk kata-kata. Mau mendengar sendiri bahasa perancis yang sengau, native speaker yang berbicara bahasa inggris seperti orang selesma, juga ingin tau aksen british itu bagaimana –kata teman saya inggris amerika yang sering di pakai dimana-mana itu kurang estetis dan tidak begitu sopan.

Masih dalam rangka mengkhayal, dengan pintu ke mana saja, saya ingin ke alam kubur. Jenguk bapak dan saudara yang lebih dulu menghadap. Jujur saja, kerinduan pada mereka sudah demikian gigantik. Meski heran juga, kenapa saya bisa begitu merindukan padahal jarak kami jelas-jelas tak tertempuh oleh apapun kecuali harus melewati gerbang bernama mati, kecuali lagi… ya dengan pintu ke mana saja. Mungkin dengan itu saya bisa insaf untuk tidak lagi mengkhayal seperti ini.

Kehidupan ini akan jadi petualangan tak terpetakan, jika dan hanya jika, ada pintu ke mana saja. Namun bisa jadi saya tak pernah benar-benar hidup karena tak tau harga jarak, dan proses bermakna menuju tempat-tempat tadi.

Entahlah, saya juga masih ingin percaya, God’s plan is always more beautiful than our desire.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar