UA-51566014-1 Catatan Harian: Sekelumit Kisah

Kamis, 14 Februari 2013

Sekelumit Kisah



 Sosok Ibu Bagiku


            Dia adalah manusia yang selalu sangat cerewet mengenai pilihan, menyuruh ini itu, memaksa makan tepat waktu, juga melarang aku pergi sendiri hanya karena satu kata memuakkan: khawatir. Terkadang aku bosan menjadi anaknya, dicurigai tentang hal-hal yang bahkan tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran.

Sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara, aku tak pernah merasa istimewa di mata Ibu. Beliau sering berat sebelah pada satu-satunya anak lelaki dalam keluarga, Ya kakak keduaku. Alasannya nonsense, “Biar nggak direndahkan istrinya kelak. Lagian kasian, dulu kamu lahirnya terlalu cepat.” Ini jelas tidak masuk akal dan memporak-porandakan nilai keadilan orang tua pada anak.

Dalam keluarga, ibu adalah makhluk yang terlalu banyak melarang. Ibarat organisasi, dia sekretaris yang maha selektif menyaring surat masuk maupun keluar. Selalu rajin ngontrol dan mengomel-ngomeli kegiatan putra-putrinya.

Tapi. . .

Perspektifku banyak bergeser dewasa ini. Ketika tak bisa setiap hari melihat muka letihnya, kritik pedasnya, juga semua jenis larangannya. Pernah aku nyaris tiga bulan tidak bertemu (perpisahan paling lama) saking padatnya jadwal kuliah dan organisasi.. hari libur kemudian membawaku pada semacam syok yang hingga kini masih sulit dipercayai.

Hari itu ayah, ibu dan adik menjemput di stasiun. Begitu masuk mobil aku mendapati suasana mengecewakan: sunyi, sepi dari canda tawa. Hanya adikku yang sibuk menceritakan apa saja (dia memang punya keistimewaan ngobrol lama). Satu hal signifikan yang bisa dicatat dari ibu adalah tubuhnya kurus kering, tulang pipi semakin menonjol dan tak ada selera menyampaikan nasihat-nasihat yang dulu memberisikan telinga.

Sesekali kuamati hubungan ayah dan ibu tak lagi serenyah dulu. Diam lebih banyak menguasai saat mereka bersama. Apa yang terjadi sebenarnya?
Libur hanya sesingkat hitungan jari. Aku hanya butuh 4 angka untuk menyimbolkan betapa cepatnya hari aktif datang. Dan satu yang paling menjengkelkan, aku masih belum mampu menguak misteri di balik diamnya ibu.

Di rantau pikiran itu kembali menyiksa. Menyisakan ribuan tanya yang terjawab oleh derap langkah waktu. Ibu. . ibu. . ibu. Apa yang membuat kau berubah demikian cepat? Adakah ayah selingkuh. Tapi dia pria baik, dan aku yakin janda 5 anakpun takkan mau diperistrinya:D

Setelah lama menunggu, liburan datang dengan segepok perasaan was-was menanti keluarnya IPK (libur semester 2). Kebetulan waktu itu bulan ramadhan. Ternyata suasana di rumah tak berubah. Beku dan bisu. Lebih dingin dari bukit Bandungan pada pertengahan bulan November. Kepulanganku tak membawa perubahan apa-apa selain mengurangi beban psikologis adiku yang terserang kesepian akut.

Suatu ketika ibu mendekati. Yah. . .memang seharusnya begitu. Barangkali dia hendak mengantarkan kisah dari pertanyaanku yang selalu dijawab “Tidak apa-apa”.

Aku langsung menangis. Tanpa aba-aba, tanpa kata-kata. Ternyata kekeliruan besar telah terjadi di keluarga kecilku. Keluarga yang (tadinya) hangat dan penuh rasa bahagia. Kenapa orang sebaik dia bisa mengalami tekanan yang nyaris tanpa toleransi. Di kantor, di rumah, baginya adalah neraka yang terhampar tiap detik. Ayah juga berubah dengan apriori busuknya (seperti aku dulu). Hanya mushola dan sholat saja yang membuat ibu lupa bahwa hidup sudah menjadi si malakama.

Pernah dengan tegar dia berkata : sudah jangan nangis terus, mata sembabmu bisa membuat orang bertanya-tanya.

Naluri malaikatnya sebagai ibu selalu menutupi. Menganggap bahwa yang terjadi sudah tersurat jelas dari tangan Yang Maha Kuasa. Meski beliau juga pernah mewanti-wanti secara tegas, “yang melakukan hal bodoh itu BUKAN ANAK IBU!”

Tiap mengenang itu aku akan menangis tak peduli di mana. Semua orang akan mengecam ibu sebagai orangtua gagal yang telah menciptakan sungai dosa. Kesedihan tak bermuara ini telah menjadi oksigen yang harus kami hirup setiap hari. Bagai nila yang tak punya kasihan merusak susu sebelanga. Kehormatan, kejujuran dan kebahagian menguap bersama aib yang datang dan melekat sepanjang sisa usia. Tetapi beliau yakin bahwa musibah itu ujian baginya, anak adalah perantara saja.

Subhanallah. . .

Rasanya aku tak ingin hidup di dunia jika bukan lahir dari rahimnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar