UA-51566014-1 Catatan Harian: Success Is Not A Self-made Product

Senin, 17 Agustus 2020

Success Is Not A Self-made Product

 

  (Review The Outliers by Malcolm Gladwell) 

 

            Hai. Jadi saya baru selesai baca buku, dan itu membuka perspektif saya ke beberapa hal yang sebenarnya “the way it is”, tapi pandangan sebagian orang terlanjur stuck oleh konsensus masyarakat. Judulnya Outliers: The Story of Success.

            I  know the definition of success depends on our personal reference. Nah, bukunya Malcolm Gladwell ini menubirkan kesuksesan orang-orang yang kemudian disebut ‘Outliers’. Tapi outliers di sini adalah mereka yang sukses melampaui rata-rata umat manusia. Kalau bahasa konspirasinya itu Elite Global.

            Membaca buku ini berpotensi membuat kamu (yang sering merasa gagal) sedikit lega. Karena sukses itu bukan cuma tentang kerja banting tulang lempat lembing, tetapi memang ada beberapa variable yang membuat kesuksesan mudah bagi sebagian orang, dan susah ampun-ampunan bagi lainnya.

Selama ini sukses terlanjur dipandang sebagai mukjizat individual, ketika sejatinya banyak faktor yang menopang. Orang sukses tidak lahir sendirian, mereka diantarkan ke titik itu. Oleh apa? Ya oleh hal yang mau dibahas di sini:

·         Kesempatan

 

Seseorang lahir bersama privilege yang menyertai mereka. Yaitu hak istimewa yang tidak dimiliki kebanyakan manusia. Bentuknya macam-macam, bisa berupa well educated parents, fisik rupawan/rupawati, otak cemerlang dan kesempatan (tentunya masih banyak).

 

Outliers, pastinya adalah orang yang memiliki kesempatan dan melejit melalui itu. Tidak mungkin seorang yang tak berkesempatan belajar baca-tulis, mengharumkan nama negara sebagai peraih nobel sastra. Melek aksara merupakan modal utama untuk menuangkan pikiran melalui kata-kata. Jalan satu-satunya adalah memiliki peluang yang merupakan setapak pertama dari segala pencapaian.

 

Sebut saja Ernest Hemingway, peraih nobel sastra tahun 1954. Ia lahir tahun 1899 dari seorang ibu musisi dan ayah ahli fisika. Keduanya merupakan orang-orang well educated dan well respected. What’s more a kid could ask for?

 

Hemingway menjalani masa sekolah di tahun-tahun ketika perang dunia I meledak, dan tidak banyak orang cukup nyaman sekadar belajar. Tapi dia memiliki kesempatan yang tentu berguna jauh ke jenjang panjang kehidupannya.

 

Jelas bahwa sukses merupakan akumulasi keuntungan yang dimanfaatkan individu bersangkutan. Tapi masyarakat terlalu sering kagum buta terhadap kesosokan. Tanpa melihat kenapa rumput tetangga lebih hijau.

 

·         The Great Ten Thousand Hours

 

Pernah dengar kalau ingin jadi ahli di suatu bidang, kita perlu practice setidaknya sepuluh ribu jam? Itu kalau dilakukan secara konsisten selama 8jam/perhari, memakan waktu sekitar tiga setengah tahun. Tapi kita kan makhluk sosial yang punya peran dan tanggung jawab, seperti sekolah, kerja, tidur, ngerumpi dll, sepuluh ribu jam jelas waktu yang sulit dicapai dalam tiga tahun straight. It’s an enormous amount of time, you need to have a parents who support you as much as your effort for the passion itself. You can’t be poor because side job or everything you do to earn money won’t spare enough time to practice.

 

See? It costs a lot. Untuk mencapai sepuluh ribu jam seseorang butuh kondisi khusus.

 

·         Geniuses

 

Kalian pasti punya teman sekolah yang saking pinternya, nilai raport dia macam karya seni: estetis dan nyaris mustahil kecuali dikerjakan ahli. Orang-orang yang bikin kita bertanya mereka makan apa, atau ibunya waktu hamil ngidam apa (nyemil buku kali ya). Aliasnya keponakan Einstein.

 

Nah mereka ini bisa jadi jenius. Dan jenius itu bakat alami, seorang yang secara natural merupakan outliers. Tapi apakah selepas sekolah mereka sungguhan jadi outliers atau minimal tokoh nasional? Belum tentu.

 

Ada seorang bernama Cristhoper Langan yang sering disebut Epitome of American Genius. Dia berbicara pada usia 6 bulan, baca-tulis umur 3 tahun dan menguasai matematika tingkat professor di usia 16 tahun (itu umur ketika segala yang saya pikir adalah tidur cepat dan bangun tengah malam untuk menyelasaikan PR). Langan memahami buku yang digunakan kurikulum selama 2 hari, dan berangkat sekolah hanya ketika ujian. Tapi siapa juga bakal protes, gurunya pun mungkin tidak lebih pintar dari dia. IQnya mencapai 195 poin, jauh di atas Einstein. Tapi apakah dia kemudian menjadi seseorang yang dicatat sejarah? Kecuali bahwa dia meraih IQ tertinggi, tidak. Dia mencukupkan diri sebagai pemilik peternakan kuda, hidup dengan damai di pedesaan bersama anak-istri.

 

Tentu semasa sekolah Langan merupakan ultimate outliers, melesat dapat beasiswa hingga perguruan tinggi, lebih dari mereka yang lahir dengan sosial privilese. Faktanya dia memang begitu kekurangan, dalam wawancara di buku ini, diceritakan bahwa ia benar-benar telanjang selama beberapa jam untuk menunggu baju kering (tak ada baju lain). Sayang beasiswanya terhenti karena sang ibu lupa memperbaharui rincian keuangan. Drop outlah ia, macet di tengah jalan.

 

Langan yang jenius tidak berminat mengejar gelar akademik ke ujung dunia. Jadi pemilik peternakan kuda merupakan upgrade yang jauh melebihi orang tuanya. Ia tumbuh di keluarga yang memicu anak untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Bayangkan jika Langan bertukar posisi dengan Hemingway, apakah mereka tetap orang yang sama?

 

Kecerdasan dan pencapaian pada akhirnya bukan sesuatu yang sebanding. Orang jenius belum tentu jadi outliers. Segala potensi yang Crish Langan punya berakhir dalam kefrustrasian. Dia tahu seharusnya bisa mencapai lebih, mungkin benar-benar menjadi Elite Global, tetapi Langan tidak tahu caranya. Dia tidak mastering sesuatu yang orang standard bisa melakukannya, seperti kemampuan negoisiasi dan komunikasi. In other words, not even a genius makes his success alone.

 

·         Cultural Legacies

Cultural Legacy merupakan warisan kebudayaan yang mempengaruhi kesuksesan seseorang. Emang ada? Ada banget.

Faktanya, siapa kita tidak bisa dipisahkan dari tempat asal kita, mau selupa apapun kacang pada kulitnya. Sebab cultural legacy mempengaruhi attitude dan behavior seseorang. Misal, mengapa orang Batak banyak yang jadi pengacara hebat? Konon di Batak ada kampung yang menjadi titik penegakan hukum di Samosir. Terdapat pengadilan berupa batu berbentuk meja dengan kursi melingkar. Sudah menjadi habit orang sana untuk mempersidangkan konflik melalui hukum adat, yang disaksikan masyarakat. Bisa disimpulkan bahwa sukses merupakan produk dari tempat-tempat dan lingkungan seseorang berasal.

 

            Hal-hal di atas merupakan sedikit yang terdapat di buku Outliers. Saya tidak mengatakan bahwa orang dengan privilege bisa sukses tanpa usaha. Tetapi hak-hak itu berkontribusi banyak persen dari kesuksesan mereka. Setiap orang berangkat dari titik nol yang berbeda.

            Buku ini menyadarkan bahwa kesuksesan tidak dimonopoli otak cemerlang saja, tetapi mereka—yang memiliki kesempatan, kekuatan dan keteguhan hati— untuk meraihnya. Kamu diizinkan belajar tanpa interupsi pun sudah merupakan privilege besar. Banyak orang yang baru buka buku sudah diteriaki, “Kae loh joglone reged, mbok disapu. Cah wedok jagongan wae.” The least we can do is to give that kind of privilege to our kids.

            Oke sampai di sini. Teruslah hidup karena waktumu masih ada.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar