UA-51566014-1 Catatan Harian: Pilihan Adalah Tentang Cara Ikhlas Menyukai

Sabtu, 16 Februari 2013

Pilihan Adalah Tentang Cara Ikhlas Menyukai


Aku dan Sastra

            Yang kita sukai selalu menggambarkan bagaimana kita. Bagiku sederhana, aku menyukai sastra seperti pagi dan siang yang rela bertukar tempat dengan penuh keikhlasan. Aku mencari makna dalam sastra. Terkadang saat lelah menghampiri, sastra justru datang menawarkan makna yang terbungkus rapi dalam barisan kata. Membuat kehidupan puitis di tengah zaman yang selalu seperti ilmu pasti, jelas dan tergesa-gesa. Sastra dengan mudah terserat ke urat-urat mozaik yang di jalani setiap insan. Sederhana tapi lembut memberi nuansa estetika. Mesra seperti belaian angin di pagi hari yang semilir.

            Aku sebal ketika orang tuaku yang guru matematika itu mengatakan “Sastra adalah jurusannya orang ngelamun”. Meski tidak sepenuhnya salah, tapi ini jelas perkataan picik dengan pemikiran dangkal (maaf ayah:D). Kebanyakan orang memandang bahwa sastra tidak bisa menghidupi. Maka secara intuisi mereka akan melabuhkan cita pada kejelasan yang sebenarnya juga spekulasi terhadap masa depan. Lihat saja, jurusan ekonomi yang paling laris saja lulusannya banyak nganggur. Itu karena apa? Karena mereka berpikiran sama dan memproyeksikan kesamaan tersebut bukan pada aspek yang seharusnya bisa digali. Betapa banyak pemimpi, para pencari sejati, yang akhirnya hanya menjadi mahasiswa menderita lantaran terpetakan oleh keegoisan orang tua. Memangnya siapa yang menjalani? Bagiku sendiri, orang tua hanyalah semacam fasilitator yang seharusnya berada pada batas di mana mereka memberi dan mengerti kemauan anak. Tidak perlu hipokrit bahwa dulu mereka juga manusia yang terkorbankan kepentingan “menjadi”, lalu melapiaskan utopianya pada darah daging sendiri.

            Pernah suatu kali aku bermimpi menjadi dokter. Tampil istimewa dengan jas putih menawan yang mengimplikasikan ketebalan kantong. Sekali suntik duitnya bisa buat beli selusin boneka Barbie dan puluhan bungkus coklat lezat. Tapi impian asal itu tidak berlangsung lama, mungkin hanya berumur sampai aku kelas satu SMP. Di mana pencarian intelektualitas sesungguhnya di mulai. Tempat saat seseorang mencoba menemukan kebahagiaan pada tumpukan buku di perpustakaan. Dan kebahagiaanku terselip pada sajak-sajak puitis Chairil Anwar, kisah rumit yang dibangun STA[1] dan gemerlap dunia remaja gaya Dyan Nuranindya. Rasa suka yang tiba-tiba muncul pada untaian kata mulai kentara ketika menginjak SMA. Melahap semakin banyak novel yang sekarang kukenal menjadi dua macam, serius dan popular. Meski tetap mendapat tantangan saat meminta izin mengambil jurusan Sastra Indonesia. Aku dihujat orangtua habis-habisan, “Mau jadi apa kamu? Nulis aja nggak becus”.

            Manusiawi sekali jika semakin dikekang, seseorang kian garang menentang. Aku tidak ingin seperti 2 orang kakakku yang menjalani kuliah dengan orientasi kerja. Memasrahkan diri untuk berkutat pada hal yang sama sekali tidak kita sukai adalah kebodohan besar. Untuk apa sekolah jika berujung pada muara kemuakan hidup atas terbengkalainya harap. Nyawa kita satu, dan selama ia masih menyatu dengan tubuh, maka cita-cita harus ditegakkan demi kebahagiaan jiwa. Aku memilih sastra sebagai labuhan. Tak peduli tembok tebal yang gagah menghadang antara aku dan sukses masa depan. Toh bagiku memilih berarti sanggup menggendong sendiri beban yang hadir bersama pilihan.
           


[1] Sutan Takdir Alisjahbana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar