UA-51566014-1 Catatan Harian

Rabu, 06 Agustus 2014

Kaloran, 7 Agustus 2014
           
Waktu menunjukkan pukul 08.25 WIB ketika saya menulis ini. Sudah siang, malah terlalu siang untuk berbasa-basi dengan rasa malas yang hadir setiap fajar menjelang. Tapi ini temanggung, tepatnya di Desa Geblog Kecamatan Kaloran, tempat dimana matahari selalu menampakkan rupa yang nyaris sama, dan kabut senang sekali mengintervensi suasana sehingga pukul 9 pun terasa jam setengah 7 di Semarang. Apalagi hawa dingin masih berderak di lantai-lantai yang kami injak, membuat segalanya terasa pas untuk kembali menggulung diri di balik selimut yang sempat direnggut kewajiban menghadap.

            There’s no grow in comfort zone and there’s no comfort in growth zone. I have to leave my comfort zone to grow.

Kata-kata yang saya baca dari salah satu buku itu lagi-lagi membuat sadar, segala sesuatu memiliki syarat tersembunyi. Pengembangan misalnya. Jika kita ingin terus menjadi individu yang baru dan kaya pengalaman, kita harus siap ditantang ketidaknyaman yang hadir dalam zona baru. Orang Jawa bilang ‘Jer basuki mawa bea’, bahasa indonesianya jika kita menginginkan sesuatu maka harus siap mengorbankan sesuatu pula, analogi dan implikatur bahasa inggrisnya ya seperti di atas itu.

Ngomong-ngomong soal ketidaknyamanan, di sini sangat tidak nyaman. Ada semacam cultural shock, juga berbagai adaptasi yang harus dijalani, baik dengan lingkungan, teman dan alam. Seperti sudah saya sebutkan tadi, temanggung memiliki zona langit yang tidak konvensional. Subuh saja rasanya masih seperti tengah malam, dan dinginnya ituuu… sungguh tidak mufakat bagi orang-orang pantura. Jangankan  mandi sehabis subuh, wudhu saja sudah bikin gigi gemelutuk. Setelah sempat merasakan dingin yang serupa di Bantir, untuk pertama kali sejak 2 tahun lalu, saya kembali merasakan dingin yang sampai bikin pegel. ‘Dingin menusuk tulang’, rasanya sudah bukan idiom lagi.

Ketidaknyamanan lainnya adalah…. Banyak! Salah satunya harus memakai jilbab kemanapun, bahkan kamar mandi. Ya karena di sini kami tinggal serumah dengan komposisi 2 cowok 4 cewek. Setiap selesai keramas harus pakai hair drier, meski saya tau itu menyakiti rambut. Di sini saya sulit mendapatkan vitamin D karena tidak ada ruang terbuka yang aman. Sudah begitu mandi harus selalu antri. Tapi ya mau bagaimana lagi.

Dan tidak nyaman bukan berarti tanpa pelajaran.

Keuntungan berada di Temanggung juga tidak kalah banyak. And I don’t want to deny the favors of God.

Pemandangan di sini itu luar biasa. Maklum, setelah 21 tahun melihat sawah dan 3 tahun melihat jalan raya tiap keluar rumah, melihat gunung tepat di samping rumah itu sungguh sangat langka. Rasanya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Kita kagum, kita suka dan kita ingin selalu melihatnya, tapi sekaligus tidak memiliki deskripsi yang tepat untuk membahasakan kekaguman. Subhanallah 100X pun rasanya masih jauh dari cukup. Dengan ini saya jadi tau kenapa orang yang sudah mendaki selalu ketagihan untuk kembali.

Di sini saya melakukan segala sesuatu serba terjadwal. Makan, mandi, sarapan dan terutama sholatnya sejauh ini selalu berjamaah. Alhamdulillah, walaupun satu tim ada yang non-islam, toleransinya sudah tegangan tinggi.
.
.
.
.

Saya jadi sadar, bahwa kuliah memang gerbang dari banyak sekali keterkejutan dan pelajaran. Setiap semester beda tantangannya. Di Semester 6 kali ini, KKN adalah bintang utama yang (semoga) luar biasa. Apapun yang didapat di dalamnya lebih dari sekedar mata kuliah, makanya tidak cocok kalau hanya diberi bobot 3 SKS dan dinilai dalam bentuk A serta kroni-kroninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar