UA-51566014-1 Catatan Harian

Kamis, 09 Januari 2014

Waktu merubah cara pandang seseorang. Ya, selalu demikian.

Ada beberapa titik dalam kehidupan yang membuatmu terpaku lebih lama dari biasanya. Titik kejut yang menyeret pada kondisi paradoksal, dengan atau tanpa peringatan sebelumnya. Dan dalam kehidupan pribadiku, itu sudah terjadi dua kali.

Cinta, kosakata paling estetis sekaligus picik yang pernah kutemui dalam kamus hidup. Tidak, tentu saja aku tidak sedang membuka aib tentang nama yang begitu lama bersarang dalam hati. Tapi yah,, sedikitnya ini tentang seseorang. Berawal dari sepotong kata itu bahtera rumah tangga kami yang sederhana dan bahagia, bagai terhempas menuju gelombang badai tak terhingga. Gelombang yang pada akhirnya merenggut keleluasaan untuk sekadar bersama. Membuat himpunan orang-orang tercintaku tiba-tiba berbalik arah untuk menjadi bukan dirinya.

Cinta merubah segalanya menjadi lebih indah. Cinta juga merubah segalanya menjadi lebih rumit. Seperti tali mati yang tak bisa diurai lagi ujung simpulnya. Dan kekalutan tertinggi adalah menyaksikan dua malaikat tanpa sayapku merasa durhaka pada Sang Pencipta. Wibawa mereka sebagai malaikat terlucuti oleh pedang iblis. Yang helai demi helai menguliti kredibilitas kedewaan. Maka atas dasar kecintaan pada mereka, kuubah cara memandang satu kata itu. Segala tentangnya hanyalah regulasi omong kosong dan utopia tanpa makna.

Titik kedua adalah sebuah hari, waktu dan peristiwa. Kali ini menghunjam dengan kejam seluruh persendian hidupku. Mulai dari caraku memaknai usia, menguyah luka menjadi pelajaran berharga, serta kumpulan kebodohan yang berjudul penyesalan. Bahwa harusnya sesal memang seperti pendaftaran. Terjadi di awal dan tak ada luka di akhir pertemuan.

Kiamat kecil itu memukulku sedemikian dahsyat. Hingga pertanyaan masa kecilku muncul kembali. Pertanyaan yang barangkali dimiliki setiap orang pada awal perkembangan otaknya. “Kenapa aku terlahir di sebuah keluarga, dan apa manfaatku bagi mereka?”

Sungguh, kematian adalah hal yang tak pernah absurd. Dia laksana virus yang tak terlihat inkubasinya, lalu tiba-tiba menyerang organisme dan membuatnya tunduk pada kenyataan bahwa ia sekarat. Siapa pula tak sekarat melihat ibunya menangis saban hari. Bukan, bukan tangisnya yang membuatku sekarat benar. Tapi apa rasanya, menyaksikan orang yang biasa menyeka air matamu, berubah menjadi secawan luka. Rapuh, retak dan koyak sehingga duka merembes ke mana-mana. Dan aku hanya manusia yang tak bisa menyembuhkan luka malaikat. Manusia biasa yang lebih terluka karena hanya sanggup meminjamkan waktu, telinga dan hati untuk bersandar sejenak.

Sejak hari itu, tak sekalipun aku lupa bahwa segala yang berawal senantiasa berjalan menuju akhir. Dan sesuatu yang kita sebut ‘akhir’ tersebut, adalah awal dari segala yang berbatas horizon. Aku tahu akan segera berakhir, lalu berawal di kehidupan yang berbeda. Seperti abah yang sekarang di tempat tak terjamah. Kecuali oleh doa, amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat.

Sejak hari itu, cakrawalaku membal seperti karet ulur. Aku adalah manusia berbeda yang menjadi saksi, hidup memang laksana roda. Bahwa soal ‘terkadang di atas kemudian di tapal batas’ adalah analogi aksiomatis yang tak usah diperdebatkan lagi. Jika masih ada yang yakin hidup itu mirip tangga, maka jangan kaget kalau suatu saat terpeleset. Nikmati saja perjalananmu menuju klimaks.

Sejak hari itu, ada sosok yang tumbuh gigantis di kepalaku. Sosok tersebut berwajah bias. Menghantui seperangkat pikiran dengan kegalauan dilematis. Tentang cita-cita dan kewajiban terhadap orang tua.

Bagaimanapun, aku sudah berada di sekililing mereka (orang-orang yang mencintai ilmu). Aku tak ingin terlempar (lagi) dalam zona nyaman yang melenakan. Ingin terus merasa bodoh karena filsafat, bisu dalam diskusi, dan tumpul di mata sastra. Tapi setidaknya lingkaran ini membuatku berkembang. Terus berada di jalur yang sebisa mungkin tidak memihak. Aku mencintai dunia mahasiswa dengan segala ketidaknyamanan yang ditimbulkannya. Bahkan masih mengharap jas almamater yang warnanya adalah simbol intelektualitas itu. Silau, namun semua orang tahu untuk memakainya butuh melampaui ujian 3S: sungguh sangat susah.

Di sisi lain, wanita yang kepadanya aku rela menjadi tidak ‘aku’, sangat butuh teman. Bukan teman hidup tentunya. Tapi teman yang mau berkata ‘ya’ tanpa prasangka. Dan siapa lagi kalau bukan anaknya: aku dan saudara-saudaraku.

Hidup yang seperti roda ini membuatku ingin egois. Toh, ibu sudah mengatakan tidak masalah tinggal sendirian. Jadi aku bisa leluasa menjadi penuntut yang tak mau dituntut. Karena di kepala picik ini hanya ada sastra, antropologi dan antropologi sampai mati.

Tapi malam ini, setan antropologi dalam tubuhku ditampar. Tuntutan egosentrisnya dipermalukan oleh tekad innocent anak tujuh belas tahun yang bahkan belum mencicipi pahitnya soal SNMPTN. Anak SMA yang sebenarnya mirip aku, ada musik, musik dan cuma musik di kepalanya. Malam ini aku tahu, simfoni hidupnya telah berubah. Simfoninya tentang masa depan berubah mewujud balada. Dengan nyawa utama bakti kepada orang tua. Dalam hal ini, aku mengakui adik semata wayangku telah akselerasi beberapa level perihal kedewasaan. Jujur saja, aku malu besar-besar terhadap kalimat ini,”Gita mah mboten pengin muluk-muluk. Pengin njaga ibu.”

Seketika aku menangis begitu membaca bbm tersebut. Betapa setan antropologi dalam diriku demikian brengsek. Sehingga aku menjelma lintah darat, membiarkan orang tua bekerja keras, sementara di sini tinggal belajar. Ya Allah ampuni hamba, maaf karena selalu sangat rakus terhadap masa depan yang absurd itu. Terima kasih telah mengingatkan lewat manusia kecil berjiwa besar. Aku menyayangi ibu, menyayanginya karenaMu. Sungguh karenaMu.

Terbukti, waktu merubah cara pandang seseorang. Ya, selalu demikian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar