UA-51566014-1 Catatan Harian

Rabu, 15 Januari 2014

Motivator Terbaik Adalah Diri Sendiri

            Beberapa hari ini aku merasa terpojok dengan pengetahuan minim, sangking kurangnya hingga mirip manusia purba yang belum mengenal aksara. Memandang teman-teman pintarmu yang cakap berdiskusi, serta aktivis kampus yang berpredikat dan bahkan sosok-sosok tak terduga dari kampung halaman yang melanglang buana adalah semacam frustasi. Sebentar,, ini bukan soal bersyukur atau tidak. Justru ladang introspeksi, karena sekalipun frustasi, kesedihan pribadi ini bisa dijadikan setapak pertama menuju kesuksesan. Meski sukses tak pernah ada ukuran pastinya. Ia laksana karet yang senantiasa mulur saat kau berhasil mencapai titik tertentu. Titik yang dulu kau pandang sebagai keberhasilan.

            Sebut saja S, teman yang pernah kutolak mentah-mentah dengan dalih sok suciku[1] bahwa pacaran tidak ada dalam kamus kehidupan, sekarang telah tumbuh menjadi manusia Internasional yang kuliah di belahan bumi Turki. Sedang aku makin terpojok di Semarang yang kendati tengah tak pernah berarti ‘sentral’. Si S itu seperti menghantarkan beribu-ribu tamparan. Mendarat tepat di tempat paling telak dari sebuah pencarian. Sebagai teman sealmamater aku turut berbahagia. Namun orang buruk selalu sedih jika ada yang lebih sukses darinya. Dalam hal ini aku termasuk golongan manusia buruk. Jelas saja, aku lebih dulu SMA karena dia menunda setahun, otomatis aku lebih dulu kuliah karena berhasil mencicipi seleksi pahit perguruan tinggi negeri. Terlebih dia mengasingkan diri di ponpes yang santer terdengar kurang informasi. Dan betapa kaget, terperanjat sekali frustasinya aku saat menyaksikan dia akselerasi puluhan kilo di Turki. Sungguh mak jleeebb tiada tara. Aprioriku yang sebanyak pasir pantai, dimuntahkan seluruhnya tanpa tedeng aling-aling.

            Tapi baiklah, aku manusia sportif yang mau tak mau harus memaafkan S (loh kok!). Bagaimanpun, aku bahagia pernah satu atap dalam bidang pendidikan.
            Frustasi kedua lebih dahsyat dari fenomena S. Ini jenis frustasi yang harus kuhadapi setiap hari. Di kos, di jurusan, di wisma tetangga, di kontak hape dan semesta hidupku di Tembalang. A misalnya, senior itu entah makan apa, dia selalu berhasil menguasai suasana dan mengubah arus pemikiran banyak orang sesuai kemauannya. Dia senantiasa besar mulut dengan alasan tak terbantah, bahkan terkadang entropi. Sanggup membuat lawan bicara maupun pendengar mengalami ‘momen autis’ lantaran terpesona oleh gagasannya. Di kos sendiri, aku menemukan yang nyaris mirip A. Sedikit lebih menjengkelkan karena dia sering memotong pembicaraan. Tapi yah.. sesuai standar logika.

            Selain S, A dan beberapa yang mirip mereka, ada nasionalis mempesona yang sedang memuncaki peran dalam sebuah wadah. Namanya D, dari kacamata pribadi tidak berlebihan kalau aku menyebutnya reinkarnasi Soe Hok Gie. Walaupun cara gerak mereka berbeda. Gie memilih berada di suatu titik steril untuk mengamati, lalu mengkritik dari sudut tak terbaca birokrat. Sementara D terjun langsung ke dalam sistem, kemudian menjadi ujung yang perlahan merangsek untuk mengevalusi kerja birokrat yang tak layak. Boleh dibilang, dalam suatu penelitian kualitatif si D berperan sebagai Partisipant Observer. Tentu dalam beberapa hal Gie lebih unggul. Dia tak tersentuh tapi aktif mengkritisi. Semacam kaktus di tengah gurun yang tajam namun sejatinya penting bagi ekologi setempat. Sedangkan cara si D, berpotensi menimbulkan inkonsistensi terhadap visi misi awal, apabila ia fokus pada proker semata. Karena walau bagaimanapun tak ada amanah tanpa beban kerja. Tetapi sebagai pelaku langsung, si D juga sangat bermanfaat, dia menguasai corong aspirasi dan berhak menggunakan sekehendak hati.

            Namun sangat tidak bijak membandingkan dua hal yang jauh berbeda. Kendati mirip, mereka tidak lahir dalam dimensi yang sama. Mungkin Gie memang heroik dengan tindak kritisnya menentang orde lama. Tetapi si D juga tak kalah keren. Ia hadir untuk membangunkan orang-orang dari tidur lelap akibat kemajuan zaman. D berjuang di tengah kerumunan apatisme, hedonis tak berkesudahan dan bohemian yang menjunjung tinggi perspektif individu. Sungguh, tak ada yang lebih berat daripada melawan diri sendiri, teman-teman serta orang-orang tercinta. Intinya, Gie dan D adalah sosok serupa yang datang untuk menyelamatkan sejarah masing-masing. Toh keduanya sama-sama dari jurusan Sejarah, hanya beda Universitas.

            Memandang orang-orang yang hanya bisa didefinisikan dengan “Subhanallah” itu sungguh membuat iri. Terkadang aku bertanya-tanya dalam hati, manusia visioner seperti mereka menyimpan quote apa sih? Karena dalam kasus pribadi, quote novel, buku atau seminar hanya mampu menguatkan misi tak lebih dari seminggu.
            Aku tidak ingin tulisan ini tersesat terlalu jauh dari judul. Maka baiklah dirunut saja. Kenapa motivator terbaik adalah diri sendiri:

1. Tak Ada yang Menguatkanmu Setiap Hari
            Siapapun kamu, akan berdiri sendiri di gerbang masa depan. Dan sebelum mencapai gerbang selalu ada perempatan yang menghentikan langkah, memaksamu memilih atau bahkan jalan setapak tanpa alternatif sama sekali. Dalam kondisi demikian, siapa yang sanggup menguatkanmu selain Tuhan dan diri sendiri. Maka kuatkanlah dirimu, belajar menjadi manusia tunggal yang disertai Dzat Maha Tahu dengan segenap cinta dan keyakinan.

2. Kita Adalah Apa yang Kita Pikirkan
            Kalimat ini pernah kubaca entah di buku apa. Jadi sugesti individu sangat mempengaruhi tindak-tanduk bahkan kekebalan seseorang. Jika seseorang merasa sanggup, maka ia akan sanggup. Sementara jika pikirannya bilang tidak, sekuat apapun motivasi yang dihantarkan, ia hanya bisikan yang masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri.
3. Kamu yang Paling Kenal Diri Sendiri

            Begitulah faktanya, jang merasa terlalu popular untuk disemangati banyak orang. Bahkan flu saja, sanggup membuat orang lupa terhadap kematian ayah atau kerabat dekatmu. Mereka hanya bersimpati untuk konsensus yang disebut “duka cita”. Sedang keterpurukan adalah kedukaan pribadi yang frekuensinya terlampau kecil untuk mengundang motivasi.
           
            Intinya, tulisan ini mengajak kalian move on dari kamut usang di buku harian. Yang terkadang dibaca sepintas atau bahkan lupa sama sekali. Ingat, dalam kondisi seperti apapun, kil
           




[1] Dalih ini akan terus kuperjuangkan hingga tiba saat bertemu pilihanNya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar