UA-51566014-1 Catatan Harian: Aku Tidak Memahamimu

Selasa, 19 Maret 2013

Aku Tidak Memahamimu


Aku Tidak Memahamimu, Descartes

“Aku berpikir maka aku ada”.

Mahasiswa mana yang tidak kenal pernyataan di atas. Setiap yang pernah menjalani kuliah filsafat pasti mengenalnya, meski tidak semua memahami.

Rene Descartes, salah satu pentolan aliran eksistensialisme sangat menganggap bahwa tingkat keberadaan suatu entitas didasarkan pada bagaimana ia berpikir. Tak terkecuali manusia yang secara harfiah telah dikarunia kemampuan berpikir. Dari pikiran tersebut lahirlah dunia baru yang herannya semakin hari semakin carut marut. Sebegitu istimewakah pikiran manusia?

Diakui atau tidak, manusia memang makhluk luar biasa. Dia selalu berkembang ke arah yang (seharusnya) lebih baik. Memiliki tujuan yang terkadang berkausalitas dengan peng-halal-an segala cara.

Lalu apa hubungannya dengan eksistensialisme Rene Descartes?

Entah kenapa sampai sekarang saya kurang setuju dengan pemikiran tersebut. Mungkin lebih tepatnya belum memahami. Tentu saja Descartes yang seorang filsuf telah mempertimbangkan berbagai hal untuk mengeluarkan sabda tersebut. Dan saya yakin filsafatnya telah melalui proses kontemplasi yang dalam. Tetapi benarkah eksistensi suatu organisme hanya berdasarkan pada “berpikir” semata? Sedangkan kita tau bahwa di bumi (sempit) ini yang tinggal bukan hanya manusia. Atau filsafat itu memang berlaku bagi manusia saja? Lalu bagaimana nasib manusia yang pikirannya bergantung pada konotasi tertentu?

Selalu hadir begitu banyak pertanyaan jika kita membicarakan filsafat. Karena begitulah sifat filsafat, diawali dengan pertanyaan yang pada akhirnya bercabang pada pertanyaan lain.

Hal pertama yang membuat saya kurang simpati terhadap filsafat Descartes adalah kenapa eksistentsi seseorang hanya didasarkan pada “berpikir”. Padahal thinking without acting is just nothing. Apa gunanya berpikir jika perkembangan dunia masih “stuck” di tempat. Peradaban tidak akan berubah hanya dengan mengandalkan pikiran. Toh anak SD juga “berpikir” bagaimana cara mendapatkan nilai tinggi tanpa susah payah belajar. Bahkan terkadang beberapa mahasiswa tingkat akhir justru dianggap menghilang lantaran sibuk mengurung diri di kamar sambil “memikirkan” skripsi. Lalu bagaimana “eksistensi” yang dimaksud Descartes.

Dunia ini butuh orang yang bergerak.

Kedua, jika benar eksistensi invidu didasarkan pada cara berpikir bagaimana nasib orang-orang cacat. Mereka tidak secara otomatis hilang dari pandangan dan tetap dianggap ada. Mereka juga manusia yang tetap mewarnai dunia dengan berbagai macam “keanehan” mindset.

 Apakah hanya dengan “berpikir” maka otomatis seseorang dianggap ada. Semudah/serumit itukah?

Entahlah, hanya Descartes dan Tuhan saja yang tau maksudnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar