UA-51566014-1 Catatan Harian: Terjemahan

Minggu, 18 Agustus 2019

Terjemahan



Pria Tanpa Wanita

(Haruki Murakami)
.
.
.

            Panggilan itu muncul selepas pukul satu dini hari dan membangunkanku. Telepon-telepon yang berdering di tengah malam selalu terdengar kasar dan memekakkan, seperti beberapa alat logam biadab yang digunakan untuk menghancurkan dunia. Rasanya sudah menjadi tugasku, sebagai bagian dari umat manusia, untuk menghentikan itu, jadilah aku bangkit dari kasur, berjingkat ke ruang tamu, dan menerima panggilan.

            Suara rendah pria menginformasikanku bahwa seorang wanita telah menghilang dari muka bumi selamanya. Suara tersebut milik suami si wanita. Setidaknya itulah yang dia katakan. Dan dia melanjutkan. Istriku bunuh diri rabu lalu, katanya. Bagaimanapun juga, kupikir aku harus memberitahumu. Bagaimanapun juga. Sejauh yang bisa kubaca, tak ada setetes pun emosi dalam suaranya. Seolah-olah dia membaca barisan yang ditujukan untuk telegram, yang hampir tak berspasi antara satu kata ke lainnya.

            Apa responku? Pasti ada sesuatu yang kuucapkan, tapi aku tak bisa mengingat. Pokoknya, ada jeda hening panjang. Seperti lubang dalam di tengah jalan yang kami berdua menatap ke sana dari sisi berlawanan. Lalu, tanpa sepatah kata, seakan meletakkan karya seni rapuh di lantai, pria itu menutup telepon. Aku berdiri di sana, dalam balutan kaos putih dan bokser biru, mencengkeram telepon dengan percuma.

            Bagaimana dia bisa tahu aku? Entahlah. Apakah si wanita menyebutkan namaku pada suaminya, sebagai pacar lama? Tapi mengapa? Dan bagaimana dia tahu nomer teleponku  (yang mana tidak terdaftar)? Terutamanya, kenapa aku? Kenapa suaminya mendatangi masalah dengan meneleponku untuk memberi tahu sang istri telah meninggal? Aku tak bisa membayangkan si wanita meninggalkan permintaan seperti itu dalam catatan perpisahan. Kami telah putus bertahun-tahun lalu dan tak pernah bertemu satu sama lain sejak—bahkan tidak sekali pun. Kami bahkan tak pernah bicara di telepon.

            Itu tidak penting. Masalah yang lebih besar adalah dia tidak menerangkan apapun padaku. Dia pikir dia harus memberitahuku istrinya telah bunuh diri. Dan entah bagaimana dia mendapatkan nomer teleponku. Lebih dari itu, sih—tidak ada. Tampaknya dia berniat meninggalkanku terjebak di tengah, terkatung di antara pemahaman dan pengabaian. Tapi kenapa? Agar aku berpikir tentang sesuatu?

            Misalnya apa?

Aku tak mengerti. Sejumlah tanda tanya cuma melipat ganda, layaknya bocah mengecap stempel memenuhi seluruh halaman di sebuah buku catatan.

            Jadi aku masih belum tahu kenapa ia bunuh diri, atau bagaimana ia melakukannya. Bahkan jika aku ingin menyelidiki, tiada jalan untuk itu. Aku tak tahu di mana ia tinggal, dan terus terang aku bahkan tidak tahu dia telah menikah. Sehingga tak tahu nama nikahnya (dan pria di telepon tak menyebutkan namanya). Berapa lama mereka telah menikah? Apakah mereka memiliki anak—atau anak-anak?

           Tetap, kuterima apa yang suaminya beritahukan. Aku tak merasa perlu meragukannya. Setelah meninggalkanku, dia melanjutkan hidup di dunia ini, kemungkinan jatuh cinta pada orang lain, menikahinya, dan rabu lalu—untuk alasan apapun dan maksud apapun—dia mengakhiri hidup. Bagaimanapun. Jelas ada sesuatu dalam suara pria itu yang secara mendalam menghubungkannya dengan dunia orang mati. Dalam keheningan larut malam, bisa kudengar koneksi itu, dan menangkap sebuah kilatan dari pertautan tersebut. Jadi meneleponku demikian, setelah pukul satu pagi—entah sengaja atau tidak—sudah merupakan keputusan tepat. Jika dia menelepon pada pukul satu siang, aku takkan pernah mendeteksi ini. Pada waktu kuletakkan telepon dan kembali ke kasur, istriku telah bangun.

            “Telepon apa tadi? Apakah seseorang meninggal?” tanya istriku.

            “Tak ada yang meninggal. Tadi salah sambung.” Jawabku, suaraku pelan dan ngantuk.


        Istriku, tentu saja, tak percaya, karena suaraku sendiri diwarnai hawa kematian juga. Jenis perasaan gelisah yang dibawa almarhum sangat menular. Bergerak melalui telepon seperti getaran lemah, mentransformasikan bunyi kata-kata, membawa dunia selaras dengan getarannya. Namun istriku tak mengatakan apapun. Kami berbaring di kegelapan, mendengar kesunyian dengan seksama, tenggelam dalam pikiran masing-masing.


TBC Bosque!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar