UA-51566014-1 Catatan Harian: Maret 2015

Rabu, 25 Maret 2015

Fiksi (Halo, Aku dalam Novel)

            Hari ini saya merasa (sedikit) senang. Setelah beberapa hari membaca buku teori yang tak mengundang selera, saya memutuskan pergi ke perda untuk meminjam fiksi dan teori juga (huuh!). Untuk fiksi, hal pertama yang akan dan selalu saya lihat adalah pengarangnya, bukan judul, demi menjamin bahwa tidak ada waktu yang terbuang untuk membaca cerita konyol dan menye-menye. Awalnya saya sempat ragu karena belum pernah membaca tulisan pengarang itu satu kalimat pun. Tetapi ketika melihat biografinya, saya menjadi tertarik. Berani-beraninya dia menulis “bercita-cita menjadi pria tampan”. Kan nyebelin. Walaupun, tentu saja, terserah karena itu novel dia. Untung klausa tersebut diikuti oleh klausa penenang lainnya, yakni: “yang mungkin tidak bakal kesampaian”.

            Ini nih, orang PD cenderung songong yang nggak takut dibilang gaje. Nulis mah nulis aja. (Dan saya suka)

            Saya suka pada tokoh yang ia tuliskan. Ada sedikit kemiripan antara kami. Walaupun, setidaknya, saya masih memiliki tanggung jawab moral agar hidup secara normal. Karena, kalau sampai diri ini tidak punya teman, maka itu menyengsarakan mental dan satu-satunya yang harus disalahkan adalah jiwa. Mungkin orang akan menganggap saya sakit jiwa kalau membentak siapun yang menanyakan privasi. Menganggap saya sakit jiwa kalau menyendiri dan terus sendiri seperti hidup di dunia lain. Meski di satu sisi, tidakkah sakit jiwa adalah klaim seseorang terhadap orang lain yang hidup di luar batas norma? Ya, bisa jadi, bagi mereka yang sakit jiwa, kitalah yang sebenarnya sakit dan membutuhkan pengobatan. Lihat saja, berapa banyak di antara kalian yang memilih pura-pura nyaman padahal merasa buruk. Mengambil keputusan yang menyiksa diri untuk terlihat keren dan membanggakan. Bagi saya sih, hal semacam itu bukan lagi keputusan, melainkan sebuah kompromi. Jalan damai antara prestise dengan sistem hegemoni.

            Tapi, yah, mau bagaimana lagi. Jiwa punya tanggung jawab kepada diri untuk terlihat baik-baik saja. (Mungkin akibat kita tidak cukup kaya untuk membeli planet sendiri, dan menyeleksi siapa saja yang boleh masuk ke kehidupan kita).

           Tokoh utama dalam novel itu seorang laki-laki. Seorang mahasiswa Internasional, kaya dan pintar (tentu saja), mandiri dan. . . saya curiga kalau sebenarnya dia bukan makhluk sosial. Tapi, yang paling menarik darinya adalah dia seperti memiliki kehidupan sendiri. Sangat cuek, (kau harus tahu bahwa ada jenis cuek yang mendekati brengsek, dia tipe seperti itu). Kecuekannya sudah mendarah daging, sampai-sampai dia merasa lebih bahagia kalau tidak memiliki seorang pun di hidupnya. Tapi sialnya, dia justru memiliki semua, orang tua kaya, teman yang senantiasa peduli, pacar dan segala bentuk perhatian.

         Saya suka tokoh itu karena dia sangat jujur, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Kejujuran yang sangat mahal menurut saya. Karena untuk melakukannya, peraturan pertama adalah kau tidak boleh peduli pada orang lain. Tidak sedikit pun, apalagi banyak. Kepedulian hanyalah racun yang membuatmu jadi empati, kemudian palsu.

            Tentu saja saya tak ingin seperti dia. Orang yang tidak punya teman dan sendirian. Tapi, kalau di kehidupan nyata ada orang seperti itu, saya pasti kagum. Oh ya, saya punya teman (kalau dia menganggapku teman) yang hampir seperti itu. Perempuan, pendiam dan penyendiri. Saya suka bertanya-tanya, sebenarnya dia punya hati atau tidak, kenapa tidak bosan menjadi sendiri. Tapi ya sudahlah, kan itu hidup dia. Saya juga cuma tokoh sampingan yang kebeteluan ada saja.

            Saya pikir, hal paling menyenangkan di dunia ini adalah menjadi diri sendiri. Sama seperti tokoh di novel itu. Sama seperti penulis novelnya (barangkali), sama seperti siapapun yang tidak menggunakan kosmetik pencitraan dalam menjalani hidup. Lagi pula, percuma, pencitraan hanya membuat orang menyukai kita yang palsu, kita yang bukan kita. Berhentilah pura-pura kalau kau ingin dicintai apa adanya.

            Hmm, oh ya, satu lagi, hal yang saya sukai dari novel itu adalah anti-mainstream, semacam narasi yang digunakan untuk mendobrak hegemoni. Saya sudah rela membuang waktu ketika membaca paragraph kedua di novel itu:

            “Tokoh utama dalam tulisan saya, yang jelas, dia tidak boleh cantik. Cih! Saya benci orang-orang cantik karena mereka biasanya tolol. Saya akan membuatnya sangat jelek. Jelek sekali. Tidak punya teman, sendirian. Mungkin, gagu.”
           
            Itu paragraph favorit saya. Akhirnya, ada juga penulis yang tidak menggunakan ‘cantik non manusiawi’ pada tokohnya, bahkan bisa dibilang merobek-robek horizon ekspektasi pembaca. Saya benci orang-orang cantik karena mereka biasanya tolol.

            Mungkin, kalau suatu saat menulis novel, saya pun akan membuat tokoh yang punya kelemahan. Tidak, saya juga tidak mau pake cowok ganteng, karena biasanya mereka playboy dan cuma pintar merayu. Saya merasa cukup dengan deskripsi seperti ini:
          

              “Aku tidak tampan. Kulitku lebih coklat dari sawo paling matang sekalipun. Secara fisik, tak ada yang bisa dibanggakan dariku. Kecuali kau tipe anomali yang menyukai tubuh tinggi tegap, rambut hitam legam. Meski begitu, aku memiliki cukup banyak teman perempuan, dan sebagian dari mereka menyukaiku. Jika tidak mengakui secara langsung, biasanya mereka mengatakan lewat tatapan mata. Kenapa aku bisa tahu? Mudah saja, kalau kau cukup cerdas semua bisa dibaca, mata adalah jendela hati paling murni.
            Aku suka perempuan tentu saja. Tapi bukan mereka. Gadis-gadis bodoh yang perasaannya tumpul. Kalau harus jatuh cinta, aku akan jatuh tanpa pernah bangun pada perempuan yang membuatku seperti bercermin. Sehingga aku selalu tahu sebelah mana yang salah, selalu tahu persis tanpa perlu pura-pura.
          Ngomong-ngomong, namaku L. Kepanjangannya ada di presensi kuliah, di kartu pers mahasiswa, di korps sukarelawan, di struktur organisasi senat paling atas dan tentu saja, di hati orang itu. Kalau sudah ketemu, aku akan merangsek masuk dalam hatinya, dalam hari-harinya.”


            Terakhir, novel itu menggunakan sudut pandang ‘aku’. Ini favorit saya juga. Sudut pandang aku adalah yang terbaik dalam fiksi, karena bisa menyabotase interpretasi pembaca. Memang banyak yang bilang bahwa sudut pandang ‘aku’ tidak objektif. Tapi buat apa, kan ini fiksi. Objektif hanya untuk skripsi dan karya ilmiah.

            Oke, sudah dulu ya. Have a nice time.

             

                

Rabu, 18 Maret 2015

Hujan selalu sama.

Mungkin segala hal di kehidupan kita berubah. Orang datang dan pergi, fisik bertumbuh, lingkungan berganti rupa, semua yang menjadi aspek di tubuh waktu berubah. Berganti menjadi mereka yang lain. Tapi tidak dengan hujan.

Hujan selalu sama. Karena itu, saya menyukainya.

Saya menyukainya karena dia seperti kotak waktu yang tetap. Kita bisa mengenang apa saja ketika ia tiba, mengingat kejadian dulu sekali, menikmati wangi tanah terguyur air saat ini, atau membayangkan suatu waktu ketika rambut mulai beruban dan hanya ada kita dengan rintik itu. Semacam kurun waktu tertentu, saat segala yang kau lakukan terasa tepat. Ketika hujan, kita tidur lebih nyenyak, makan lebih enak, membaca lebih konsentrasi, menulis lebih lancar dan melamun lebih indah. Kelebihan-kelebihan itu, tidakkah menyenangkan jika dialami saja? Tak perlu dihindari, bahkan, hey… mereka cuma air.

Air yang turun dalam kuantitas tertentu yang intens. Estetis. Seperti musik klasik atau nada-nada melankolis.

Sepanjang sejarah naik motor, tiga kali saya jatuh, dan ketiga-tiganya terjadi akibat menghindari hujan. Kali terakhir saya memutuskan untuk berhenti menghindar. Kemudian menggantikannya dengan berusaha menikmati, sebagai kompensasi atas rasa kesal. Lalu, ia mulai bersahabat, bahkan sudah lama saya ingin hujan-hujanan seperti bertahun-tahun dulu. Hanya saja, itu terlalu anomali untuk orang dua puluh tahunan.

Saya suka menjulurkan telapak tangan untuk merasakan tetes air itu.

Tidak mengherankan kalau banyak sekali prosa yang mengungkit hujan di dalamnya. Tapi, sebenarnya, saya menyukai hal-hal simpel seperti suaranya, baunya, suasana dan elemen-elemen yang membuat hujan tidak sederhana.


(Hujan, kalau kau bisa merasakan, seperti sebuah ajakan bagimu untuk mengenang).

Minggu, 15 Maret 2015

Let's Talk About Film



·       Setelah kemarin sempat bingung nyari materi tentang pembuatan film (karena mbah gugel pun bahkan ngasih info dikit banget), saya pengin sharing sedikit tentang produksi film. Barangkali suatu saat ada yang berada pada posisi saya. 

      Jenis-jenis film

a. Film Dokumenter: merupakan film yang menyajikan realitas tentang sesuatu. Misal film Moana (1926), Anak Seribu Pulau (Miles Production). Film documenter tidak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu.

b. Film Cerita Pendek (Short Film): bedurasi di bawah 60 menit. Banyak dihasilkan oleh mahasiswa jurusan film atau kelompok yang menyukai dunia film.

c. Film cerita panjang: Berdurasi 90-100 menit. Film bioskop tergolong dalam film ini, missal Dances With Wolves.

d. Film jenis lain:

            1. Film perusahaan, digunakan untuk kepentingan isntitusi, seperti alat bantu presentasi.
          2. Iklan Televisi, diproduksi sebagai sarana informasi baik pengenalan produk maupun layanan masyarakat.
            3. Program Televisi, missal Variety Show, TV Quiz, Talkshow dan liputan/berita.
            4. Video Klip, sarana produsen musik untuk memasarkan produk melalui medim televisi.

·         Cerita Ini Punya Siapa?

S  Skenario menampilkan segala hal yang  akan diwujudkan dalam film. Baik berupa audio, visual, ruang, waktu, peran, aksi dan semua. Berkaitan dengan ini, diperlukan adanya hak cipta antara produser dan pemilik cerita. Namun tidak selalu pemilik cerita adalah penulis skenario film tsb.

Hak produser:

1. Mengadaptasi cerita.
2. Mengedarkan cerita dalam bentuk film dll
3. Mengedarkan informasi seputar pembuatan film
4. Memproduksi Merchandise untuk keperluan promosi
5. Bekerjasama dg media lain utk promosi.
6. Mengikutsertakan film dalam berbagai lomba.
7. Mengikutsertakan pemegang hak cipta dlm semua promosi.

Kewajiban produser:

1. Menjaga nama baik pemegang hak cipta.
2. Membayar kompensasi.
3. Memenuhi akomodasi pemegang hak cipta.

Pakai format Film atau Video?

Awalnya teknologi film masih menggunakan sistem analog (dari pita kaset ke pita kaset).  Namun karena teknologi itu mengalami penurunan kualitas gambar tiap dipindahkan, maka sistem ini mulai ditinggalkan. Beralih pada sistem digital dari pita kaset ke computer, popular lewat mesin AVID sejak 1989.

·         FILM

Awalnya dibuat dari bahan dasar seluloid. Berukuran 35 mm, 16 mm, 8 mm yg menunjukan lebar pita seluloid.

·         VIDEO
·         Rasio Shooting: perbandingan antara durasi bahan baku yg dibutuhkan dengan durasi film.
·         Rasio Aspek:
Memulai Shooting

Sumber: Effendy, Heru. 2009. Mari Membuat Film. Erlangga: Jakarta

Secara garis besar sebuah produksi film dibagi menjadi tiga aktivitas:
            1. Praproduksi
            2. Produksi
            3. Pascaproduksi
Mari kita bahas yang pertama dulu:
1. Praproduksi
            Hal pertama sekali sebelum membuat film adalah adanya beberapa orang yang beritikad memproduksi ide cerita ke dalam bentuk audio-visual. Ide cerita dalam sebuah film merupakan awal dari segalanya. Mungkin semacam ‘taawudz’ sebelum baca Al-qur’an, atau preambule dalam pembukaan undang-undang. Sementara orang-orang tersebut adalah mereka yang menduduksi posisi penting dalam produksi film, yaitu:
·         Pelaksana produksi (penentu budget film, kalo di struktur organisasi kelas jaman SD itu macem bendahara), Sutradara (panglima di lapangan), penulis skenario (terkadang penulis skenario juga merangkap sutradara), Penata Artistik, Juru kamera (cameramen).
·         Memilih pemain inti: bagian ini juga krusial terutama untuk masalah penokohan nantinya. Tapi pemilihan pemain ini bisa berupa paketan: a. 1 pemeran utama 2 pemeran pembantu, b. 1 pemeran utama 1 pemeran pembantu, c. 1 pemeran utama 3 lebih pemeran pembantu.
2. Produksi
      Secara KBBI, produksi adalah kata benda. Tapi di kenyataan, jangan harap ia seperti benda mati yang gampang diapa-apain. Praktiknya, produksi lebih mirip kata sifat yang membutuhkan ‘semangat’ dan ‘keberanian’ merampungkan.
      Untuk memulai sebuah produksi, timpro biasanya berpatok pada jadwal produksi. Selain itu berpedoman pula pada call sheet alias keterangan rinci mengenai setting cerita yang akan diambil, scene berapa saja yang harus diambil serta berapa yang akan tercover hari ini. Biasanya ini tugas pelaksana produksi nih, selain membudget, juga membuat skenario kerja dari penulis skenario serta membuat breakdown. Breakdown itu sendiri adalah rincian dari tiap adegan, mulai dari kegiatan sampai kebutuhan bahkan dananya.
      Contoh call sheet dan breakdown






3. Pascaproduksi

Setelah semua proses pengambilan gambar selesai, hal yang perlu dilakukan adalah mantengin paskaproduksi:

·        Proses editing gambar


·      Proses pengisian musik dan special effect
·    
        Dubing/ sound effect
·     
        Quality control

·     
       Mastering/ penggandaan

SSUMBER:  Hendry TM. 2006. Yok Bikin Film. Laba2 Publisher: Jakarta