Berbagi waktu dengan alam, kau akan
tahu siapa dirimu yang sebenarnya… hakikat… manusia…
Lirik lagu di atas seketika melintas
di kepala ketika mendaki. Ya, sekarang saya sedikit paham kenapa orang yang
sudah pernah naik gunung selalu ingin balik lagi. Ada begitu banyak katarsis dari
setapak terjal, dingin yang menggigit dan kadang-kadang matahari yang hangat
tapi bersahabat. Alam seperti ibu yang memeluk kaki kecil para pendaki,
membiarkan mereka menapak untuk melihat betapa Tuhan itu arsitek yang tak
pernah cela. Dan berada di kehijauan yang nyaris menyentuh langit, kau akan
berujar pada diri sendiri. . . nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?
Sayangnya, belakangan ini banyak
ditemui pendaki yang kurang dewasa. Membuang sampah anorganik sembarangan, lalu
menunjukkan eksistensi lewat tulisan-tulisan di batu atau kalap melihat si
cantik (bunga2 macam edelweiss, daisy ungu dll) kemudian memborongnya turun
tanpa perhitungan. Itukah pecinta alam?
Sejak film tentang alam marak dan naik
gunung menjadi ngetrend, mencintai alam membias pada banyak makna. Orang berbondong-bondong
naik gunung, mencari spot indah dan memamerkan foto dengan tagline
#penaklukan.. hohoho seolah gunung adalah tantangan yang harus dibikin k.o
Padahal, alam bukan gunung saja. Kita
sama-sama tau, alam adalah segala yang di langit dan bumi. Baik itu laut, gua,
danau, rawa apalagi gunung. Dan pecinta alam, apakah harus selalu berkutat di
gunung saja, namun apatis terhadap limbah yang setiap musim menyumbat sungai
dan menimbulkan banjir? Saya rasa, eh, kita rasa.. tidak kan?
Jika alam adalah segala yang di
langit dan bumi, maka sebagai pecinta, seyogayanya kita tidak boleh pilih kasih
bukan? Sesekali, kita perlu juga mendengar ombak yang konon merupakan suara
paling merdu di dunia. Sesekali, kita harus belajar mengerti kenapa udara
senantiasa memilih tempat tinggi dan banyak pohon. Kemudian berkali-kali, kita
harus sadari, alam pun sama sebagai ciptaan Tuhan, memiliki siklus untuk sebuah
harmoni. Maka jangan sedih apalagi marah ketika mereka berontak, kita saja
belum sepenuhnya memahami limbah yang dibuang setiap hari itu menyakiti atau
tidak.
Mencintai alam tidak harus
muluk-muluk dengan naik gunung atau kesana – kemari mencari jawab pada rumput
yang bergoyang. Kawan, seperti kata pepatah, jika kita tidak bisa membahagiakan
orang yang kita cintai, maka setidaknya tidak usah menyakiti. Cukuplah mencintai
dengan sederhana, semisal memejamkan mata lalu menghirup udara sejuk dan
merasakan angin membelai kita dengan bahasa mereka. Di puncak, sibukkan diri
dengan merasakan betapa kecilnya manusia dibanding semesta. Bahwa pemandangan adalah
bonus dari nafas yang terpotong-potong saat mendaki, lutut yang gemetar saat
menapak dan pundak yang lelah membawa beban. Sungguh alam dan segala
estetikanya merupakan hadiah manis dari Tuhan. Mereka selalu berdiri di sana
sebagai keindahan. Tanpa kita daki, tanpa diarungi atau disibak oleh
pisau-pisau kecil yang jahat.
Cintailah sehebat yang kaubisa. Secara
sehat, dengan diam dan merenungi apa yang pernah kita perbuat untuk mereka.
Sementara mereka telah memberi tanpa pernah kita hitung. Mari sini, kita singkirkan
segala kesombongan. Jika tak mampu berbuat lebih, cukup kantongi dulu setiap
sampah yang kaucipta sampai ia menemukan tempatnya. Biarkan semua sampah
berakhir di tong sampah. Di mana pun itu. Bahkan jalanan, taman serta ruang kelas
juga termasuk bagian dari alam yang rindu dicintai.
Naik gunung, arung jeram, pesiar,
bukanlah sejenis prestasi yang patut dibanggakan. Toh, cinta tidak
dihitung dari frekuensi seseorang naik gunung atau seberapa sering orang
mendayung. Cinta adalah bahasa hati yang tidak bisa diukur oleh kata-kata, ia
bisa dirasai dan dimaknai jika sudah maujud dalam bentuk tindakan. Lagi pula seperti
kata Soe Hok Gie, patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan
slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia
mengenal objeknya.
Bukankah sebaik-baik cinta adalah
yang membawa kita pada kebaikan dan berbuat baik?
Dan di atas itu semua, mari
berterimakasih kepada yang menciptakan segala sesuatunya dengan indah, dengan
terarah.
Ambarawa, 6 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar