UA-51566014-1 Catatan Harian

Rabu, 19 Juni 2013

Pukul 20.30 lebih. Selepas baca filsafat klasik. Hanya pengantar sih, tidak tebal.

Meski sudah berungkali mendengar kata filsafat, baru setelah kuliah aku mendapatkanya. Semester 3, mata kuliah yang diampu bu Sri Wilujeng itu benar-benar mengasikkan. Penuh teka-teki yang dekat dengan kehidupan namun tak terbaca pikiran. Bagiku filsafat tidak sekadar beban nilai 2 SKS, tetapi lebih mengarah ke diskusi yang menyegarkan pikiran dan mendewasakan pemahaman. Tentu saja aku menyukai makul tersebut bukan karena dosennya. Tetapi lantaran itu filsafat dan aku seorang mahasiswi yang baru menyentuh kulit luarnya. Toh kelas-kelas yang diberikan cuma pengantar, bahkan tidak memenuhi standar untuk dinamai “Dasar-dasar Filsafat”.

Awalnya filsafat seperti bongkahan berlian yang aku tak tau harus mulai mengasahnya dari mana. Akar suatu pengetahuan yang mempernyatakan pengetahuan itu sendiri. Kenapa ia bisa ada, sebesar apa tingkat keabsahannya dan bagaimana dia bisa bermanfaat bagi manusia. Hmm. . . sebenarnya bukan tentang pengetahuan saja, tetapi semua. Apapun yang ada di dunia ini merupakan objek kajian filsafat. Bahkan dengan lancang dia mengeja keberadaan T-U-H-A-N. Atau juga tentang dirimu sendiri, seperti apakah nous[1] yang membuat seseorang mampu mempertanyakan asal muasalnya.

Bagi yang dari jurusan eksak, jangan terlalu sombong bahwa filsafat adalah bidangnya orang melamun. Justru karena melamun, filsafat patut dijuluki bidangnya orang berpikir. Akar dari segala ilmu pengetahuan yang membuat peminatnya merasa bagai debu di alam semesta. Barangkali kau perlu tau, bahwa Phytagoras yang suhunya matematika adalah filsuf pada masa klasik. Logika, silogisme dan metafisika merupakan garapan Aristoteles yang juga seorang filsuf.

Karena filsafat adalah akar, maka ia memiliki banyak sekali batang ilmu yang melahirkan cabang pengetahuan. 5 batang paling terkenal dalam filsafat yakni: logika (berkaitan dengan benar-salah), etika (tentang baik-buruk), estetika (keindahan), metafisika (tentang hakikat keberadaan), dan ontology (filsafat ilmu). Namun tenang saja, 5 batang itu bukan apa-apa. Masih ada begitu banyak cabang yang bersiap memusingkan kepala pengkajinya. Aku sendiri secara spesifik tertarik pada cabang metafisika yaitu antropologi yang membahas tentang filsafat manusia (dalam prespektif mindsetnya).

Berkat keluasan filsafat sebagai ilmu, aku bingung harus memulai darimana. Sebagai mata kuliah, tentu saja filsafat dibahas dari sejarah perkembangannya. Tetapi aku merasa langkah tersebut hanya akan berujung pada teori-teori yang dilupakan. Aliran-aliran dari tokoh yang jumlahnya tak terthitung jari itu akan membuat ngantuk sebelum seseorang berhasil mencerna satu persatu.

Suatu siang aku ke perpustakaan untuk meminjam buku yang menunjang tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern. Kuliah satu itu rupanya juga tak terlalu jauh dari filsafat, hanya lebih ke arah perkembangan pemikiran para tokoh. Tiba di rak berlabel filsafat, aku mengambil buku Pengantar Filsafat karangan Ali Maksum. Secara isi, buku ini menarik dan mudah dipahami seorang pemula. Bahasanya sederhana serta membuat orang penasaran berkelanjutan. Aku membacanya dari halaman awal (kata pengantar tidak termasuk), cara Ali Maksum menjabarkan filsafat dari segi tokoh lebih mirip pendongeng. Perjalanannya jadi mengalir, bahkan aku merasa sedang membaca fiksi. Inilah yang pada akhirnya membuatku ingin mengenal filsafat dari para tokohnya. Karena saat membicarakan tokoh, otomatis sebuah tulisan akan mengaitkan dengan pandangan dan karya pula. Jadi lebih mudah dimengerti dan bisa menjadi bekal untuk mempelajari aliran-aliran filsafat.

Kembali ke kalimat awal, selepas membaca filsafat klasik aku jadi memahami apa yang dulu didapat secara acak. Salah satunya milik Rene Descartes, “Aku berpikir maka aku ada[2].” Jauh sebelum filsafat itu ada, Parmenides, seorang tokoh filsafat klasik yang terpengaruh tradisi miletus telah mengusung filsafat “ada”. Dia berkata, yang ada sudah pasti ada dan yang tidak ada juga pasti tidak ada. Ambil contoh terdekat, Tuhan. Dia pasti ada, karena manusia memikirkannya. Mana mungkin manusia mampu memikirkan sesuatu yang tidak pernah ada. Kenyataanya kita ada, pasti yang menciptakan kita lebih ada dan lebih segala-galanya. Maka sebagai makhluk, kita memiliki keterbatasan untuk mengadakannya secara nyata. Nah, dari filsafat Parmenides, aku jadi berpikir tentang pendapat Rene Descartes. Barangkali relevan kalau kita 
disambungkan. Aku berpikir maka aku ada. Terkadang kita sendiri menjalani hidup tanpa berusaha memahami eksistensi sebagai salah satu entitas di alam semesta. Ketika berpikir tentang keberadaan, pada saat itulah kita sebenarnya benar-benar ada. Pikiran kita yang membawa pada keberadaan sesungguhnya. Yang pada akhirnya akan dijadikan alat memperluas eksistensi dengan kaidah fungsi yang mengikuti penciptaan. Gara-gara baca kalimat Parmenides, aku merasa bego karena pernah menganggap filsafat Descartes hanya sebatas pemikiran sebagai manusia normal yang mengabaikan manfaat di tengah komunitas. Aku pikir yang dimaksud Descartes, keberadaan manusia terhenti pada cara diri berpikir. Bahwa jika memikirkan keberadaan berarti dia telah benar-benar ada. Bodoh!

Selain Parmenides, masih ada tiga maha guru yang mencerahkan pemahaman: Socrates, Plato dan Aristoteles. Ketiga manusia itu menghadiahkan pemikiran-pemikiran luar biasa bagi bangsa Barat. Meski Socrates justru berakhir karena pandangan yang dianggap menyimpang, dan Aristoteles terpaksa melarikan diri berkali-kali. Namun hal-hal demikian sama sekali bukan rajam yang menghentikan keberterimaan ilmu mereka pada akhirnya. Tuhan, terimakasih telah menghadirkan mereka yang menambah daftar ilmuwan untuk dihapalkan. Rabbku, kau juga yang pasti merefleksikan idea mereka dalam bentuk jasmani :)

Ide-idea-idealisme (Platonian)




[1] Ruh
[2] I think therefore I am (Descartes dalam Discours de la method)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar