UA-51566014-1 Catatan Harian: Surat Tentang Seabsurd-absurdnya Ekspresi

Minggu, 16 Agustus 2015

Surat Tentang Seabsurd-absurdnya Ekspresi



Assalamualaikum, pa, apa kabar? Semoga engkau dalam keadaan terbaik dari yang bisa kubayangkan. Sudah lama sekali aku tidak menulis surat untukmu, aku bahkan tidak menulis paragraf-paragraf selamat untuk hari ulang tahunmu dan hari-hari yang tampak penting padahal tidak. Ah, maaf, belakangan ini aku terkungkung dalam—katakanlah perasaan terlena pada waktu—sehingga tak banyak berkabar lagi. Tapi bukan berarti aku lupa. Tak pernah sehari pun kosa kata itu mengambil alih peranmu dalam hidupku, karena lupa sudah kuletakkan sebagai kasus durhaka dalam taraf tertentu.

Ngomong-ngomong, sebentar lagi dua tahun kita menjadi keluarga yang hidup dalam dimensi berbeda. Tak apa, sekarang engkau sudah tidak sakit lagi, dan aku pun sudah lebih baik karena tidak melihatmu dalam keadaan sakit. Aku pernah bilang kan, jika kita menyayangi seseorang, maka empati kita akan dua kali lipat lebih menyedihkan. Setidaknya, papa sudah terlepas dari parahnya kamuflase persepsi dalam kehidupan ini. Aku jadi ingin bertanya, apakah benar yang dimiliki manusia hanya jiwa? Baru-baru ini aku membaca sebuah blog yang penulisnya bernama Harun Yahya (secara subjektif aku menjadi tertarik karena nama Yahya di belakangnya), menyatakan bahwa materi itu ilusi, dan segala sesuatu berada dalam kungkungan persepsi. Blog itu, sedikit lagi menjawab semua pertanyaanku tentangNya, dengan penjelasan ilmiah sederhana yang membuatku malu sudah lancang bertanya-tanya. Aku ingin sekali mendengar pendapat dari sudut pandangmu, tapi, ya sudahlah itu kita bicarakan nanti saja.

Kali ini, aku ingin sedikit protes kenapa papa jarang datang ke mimpiku! Meskipun masih takut gelap, aku bukan lagi gadis kecilmu yang takut hantu dan selalu tidur membawa Juz Amma (dulu aku memiliki semacam kepercayaan bahwa orang yang meninggal akan berubah menjadi hantu, pocong misalnya). Jadi kalau mau datang, datanglah saja, dan apapun bentuknya engkau adalah ayahku. Ayah nomor satu. Lagi pula persepsi hantu-hantuan itu sudah lama kuhapuskan, karena berimplikasi bahwa kelak aku akan jadi hantu juga. Fatally creepy, naudzubillah!

Mungkin alasan engkau tidak sudi datang ke mimpiku adalah ibadahku yang memburuk akhir-akhir ini. Iya pa, aku juga menyesal dan merasa munafik untuk itu. Tapi semoga masih ada kesempatan memperbaiki.

Sebenarnya, selain kangen, ada alasan lain aku membuat surat padamu. Seperti biasa, aku ingin menanyakan sesuatu, (ck, bagian ini masih menyedihkan karena komunikasi kita serasa benar-benar putus). Aku ingin bertanya, kenapakah seseorang harus mendiamkan orang lain tanpa alasan yang ybs ketahui? Hal paling sulit dimengerti selain trigonometri dan kawan-kawannya yang seperti alien itu, adalah kenapa proses ‘mendiamkan’ harus ada dalam kamus pertemanan? Kenapa? Kenapaaa?
Diam itu ambigu, menjengkelkan dan absurd Masya Allah. Itulah sebabnya aku lebih takut pada marahmu ketimbang ibu. Sebagai wanita normal, ibu akan merepet satu juz jika marah, tapi setelahnya sudah. Selesai tanpa sisa. Dan aku jadi tahu apa yang membuatnya marah sehingga menjelma Qariah bersuara indah. Berbeda dengan engkau, marahmu diam, hanya diam dengan tatapan maut—jika saja tatapan bisa membunuh, niscaya aku tamat saat itu juga. Ini semua, proses diam dan tatap-menatap yang mengerikan itu, sungguh membuatku kalang kabut. Aku seperti digiring pada fait accompli yang membuatku jadi tersangka tanpa pengacara. Program minta maaf yang diselimuti oleh rasa segan tersebut harus kuhadapi sendirian. Macam kambing hitam yang menawarkan diri untuk dibantai. Rasa-rasanya aku kuat dimarahi macam apapun—kata-kata kasar dan kekerasan tidak termasuk—asal jangan diam.

Parahnya, orang yang marah dalam diam bukan hanya engkau saja, Pa. Salah seorang temanku suka tiba-tiba mendiamkan, bahkan ketika baik-baik saja pada awalnya. Aku nggak ngerti, dan derajat nggak ngerti ini bergerak menuju seratus persen. Bahkan dalam ketidakmengertian ini aku berusaha mengiriminya sms permohonan maaf. Kau tahu pa, minta maaf adalah program yang berat seperti menguliti harga diri. Tapi kulakukan juga. Semua demi waktu keramat, bahwa sesama muslim tidak diperkenankan berselisih lebih dari tiga hari. Ini sudah menjelang dua hari, maghrib nanti waktuku habis telak. Dan engkau perlu tahu, hal menyedihkan nomor satu dari perang dingin ini adalah smsku tidak dibalas, tapi dia update bbm dan melakukan aktivitas sosmed lainnya.

Oh Allah, kuharap engkau mengerti niat hamba mengantarkan maaf. Perkara diterima atau tidak, menjadi urusan dia dan Engkau semata. Tapi tinggal serumah dalam keadaan diam rasanya sedikit mengganggu ketentraman.

Pa, coba jelaskan padaku trik untuk mengatasi jenis marah seperti ini. Jujur, aku lebih bahagia menjadi pihak yang disakiti, daripada merasa bersalah—merasa loh ya, aku bahkan tak tahu apa salahku. Aku kembali pada posisi didiamkan yang tidak enak. Kejadian-kejadian semacam ini menciptakan keyakinan bahwa jika pada waktunya aku berkomitmen nanti, harus ada sejenis pakta dengan pihak kedua, agar tidak ada rahasia di antara kita. Marahlah kalau mau marah, mau memuji tinggal bilang, mau pisah? Silakan kalau alasannya jelas dan bisa diterima. Segala sesuatu yang pada tempatnya adalah hak, dan sebagai orang yang nilai semiotikanya B, aku benci aktivitas perkodean yang tidak konvensional!

Pada dasarnya diam itu menimbulkan prasangka. Dan aku tidak suka berlarut-larut dalam prasangka yang membunuh logika. Memang ada benarnya pepatah yang berkata, “quiet people have the loudest minds”. Tapi si pepatah yang terhormat itu pasti belajar dari tokoh macam Edward Cullen, Aro, Sherlock Holmes, Morpheus, Kaname Kuran, atau Si Buta dari Gua Hantu. Lantas dari mana aku harus mendapatkan ilmu itu, dan hey, they don’t even exist!

Pa, nanti kalau kita bertemu di kehidupan selanjutnya (semoga itu surga), jangan pernah marah macam demikian. Aku bukan mind reader, atau dukun berkekuatan supranatural yang memahami orang dalam sekali kedip. Sampai di sini, aku cuma tertolong oleh keyakinan yang berbunyi, “It isn’t my duty to please everybody.” Lagi pula permintaan maafku seperti beterbangan di udara dan nggak ada artinya. Atau mungkin tidak membalas justru sikapnya yang paling jelas. Entahlah, once more, it’s not my duty to please everybody.

Baiklah, pa, kalau kau ingin mendengar tentang istrimu yang militan dan dermawan (minimal padaku) itu, dia baik-baik saja. Semua pada tempatnya, meski ada satu dua hal yang seperti jalan di tempat dan tidak segera bermuara. Tapi nggak apa, asal berjalan dalam tujuan, kita semua akan sampai.

Sampai jumpa pa, dalam mimpi mungkin, semoga Allah selalu menyayangimu sebagai orang yang mengajarkan tentangNya. Selamat HUT RI, merdekalah dalam definisimu di sana. Terima kasih atas segalanya, atas adzan pertama dan dua puluh tahun yang bermakna lebih dari sekadar waktu.

With love,

Intang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar