UA-51566014-1 Catatan Harian: Tentang Anak 15 Tahun Paling Tangguh Di Dunia (Kafka on The Shore)

Jumat, 01 Mei 2015

Tentang Anak 15 Tahun Paling Tangguh Di Dunia (Kafka on The Shore)




            “But metaphors can reduce the distance."
"We're not metaphors."
"I know, but metaphors eliminates what separates you and me.” 
           
Pergi, ke mana pun itu, agaknya merupakan cara terbaik untuk menguji seberapa tangguh dirimu. Coba, bagaimana seseorang bisa merasa tangguh sementara ia selalu berada dalam zona nyaman. Selalu berada di tengah-tengah apa yang dikenal dan mengenalnya.

Itulah yang berusaha dibuktikan oleh Haruki Murakami. Ia mengeluarkan sang tokoh utama, Kafka Tamura, dari kehidupan standar yang mengantarkannya hingga usia 15 tahun. Sebagaimana stereotipe tokoh utama, Kafka memiliki pikiran yang lebih mendominasi sikapnya ketimbang tata nilai yang ditetapkan masyarakat umum. Tidak tertarik pada pendidikan, cerdas, gemar membaca, tidak tertarik pada pertemanan apalagi memiliki sahabat. Segala yang ada padanya, ditentukan oleh pengetahuan yang didapat dari buku dan seseorang lain bernama gagak. Seseorang lain itu adalah Kafka dalam bentuk bisikan yang secara halus mempengaruhi perilakunya.

Kafka On The Shore, bisa dibilang merupakan roman tentang anak 15 tahun yang berusaha menjawab pertanyaan alamiah berwujud “Who am I?”. Pertanyaan yang menggebu-gebu minta dijawab itu, pada akhirnya justru menjadi simalakama yang mengantarkan Kafka pada masalah. Payahnya, masalah tersebut bukan saja mengenai krisis identitas, tetapi juga semacam Oedipus complex dan sibling relationship yang sangat kompleks. Dalam petualangannya, Kafka secara (tidak) sengaja membuktikan kutukan ayahnya yang seorang perupa terkenal dunia. Bahwa ia akan membunuh sang ayah, terlibat asmara dengan ibunya dan menyetubuhi kakaknya. Adakah kutukan yang lebih indah dari itu?

Memang dalam perjalanannya Kafka tidak melaksanakan kutukan itu sendirian. Ada tangan-tangan tidak terlihat yang membantunya mewujudkan hal tersebut. Seperti pria tua aneh bernama Nakata, Hoshino, Oshima dan lainnya, mereka tak ubahnya benang merah yang menghubungkan Kafka dengan arti dari semua. Termasuk dua perempuan yang sangat mempengaruhinya secara psikologis, yakni nona Saeki dan Sakura. Secara teori, mereka adalah kakak dan ibu biologis Kafka. Namun siapa yang peduli pada teori, di kehidupan nyata, segala kejadian akan terjadi begitu saja. Protes pada takdir hanyalah sesuatu sekonyol mempertanyakan kenapa setelah hari minggu itu hari senin, atau kenapa H tidak marah karena diletakkan setelah I. Oke, bingung kan? Kalian akan semakin bingung jika tidak menyelesaikan membaca novel setebal 597 halaman ini.

Membaca Kafka On The Shore sama lelahnya dengan memperhatikan hidup seseorang. Seperti kebanyakan novel terjemahan (jepang) pada umumnya, Kafka On The Shore hampir mendapat predikat membosankan jika anda tidak tahan dengan teka-teki dan filosofi. Murakami terkadang nampak basa-basi saja jika membicarakan tokohnya. Muncul satu per satu tanpa penjelasan apapun. Terlebih gaya berceritanya yang berganti sudut pandang tiap bab. Semakin membuat anda tidak sabar dan bertanya-tanya di mana letak kewarasan si pengarang.

Untungnya, hal-hal membosankan tidak terjadi dari awal hingga akhir cerita. Selalu ada pelangi setelah badai, kan?

Kafka On The Shore pun demikian. Ketika teka-teki mulai membuka dirinya untuk dipahami, segala sesuatunya jadi menarik. Seolah pengarang merancang cerita dengan sangat detail. Ada begitu banyak sign yang tiba-tiba saja mempesona. Hal-hal yang tampaknya imajinasi belaka, nampak rasional. Kecurigaan Kafka bahwa dirinya tak setangguh yang diduga, tidak terbukti. Persiapan fisik untuk menghadapi pelarian memang tak berguna, namun jiwa dewasa yang terperangkap dalam tubuh 15 tahun itu sangat membantu.

Yang lebih menarik lagi, di luar konteks cerita, pengarang berhasil menempatkan para tokoh sebagai orang cerdas bukan dari kata-kata saja. Melainkan dari cukilan pengetahuan yang seperti ingin membuktikan diri, bahwa satu sama lain memang layak untuk sebutan pintar. Misalnya, di sini kamu bisa tahu musik-musik klasik, nama-nama filsuf dan ajarannya, sedikit tentang spritiual dan cara terbaik membunuh orang dengan bayonet.


Dengan demikian, Murakami semacam memberikan referendum bahwa dirinya memang penulis kelas dunia. Tidak berlebihan kalau kita menyebutnya sebagai Franz Kafka-nya Jepang, setuju kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar