UA-51566014-1 Catatan Harian

Selasa, 18 Maret 2014

Widya Puraya, 12:55 WIB

Hujan deras. Air seperti prajurit perang yang berlomba terjun ke tanah. Bau basah menguar di antara langit yang menggelap. Dalam sebuah gedung bejendela kaca, seorang perempuan memandang keluar ruangan. Mencari percikan inspirasi yang turun dari langit, turun bersama hujan. Tak sepatah kata pun terlintas di pikirnya. Selain yang tengah ada, dan menjebak sepenggal harinya dengan metafora becek, licin dan lembab. Hujan.

Dia sedang tak kurang kerjaan. Di sampingnya ada tugas, dongeng, dan artikel jurnalistik yang berebut minta perhatian. Bahkan seharusnya dia belajar untuk dua jam mendatang, dua jam yang mewajibkannya duduk dalam lingkaran diskusi. Tetapi ia memilih diam, memandangi hujan yang meraung, me-ruang, serta membasahi siang yang semestinya terang.

Semua itu karena ia menyukai hujan. Sejak dulu, hujan selalu indah dengan segala egosentrisnya. Memaksa aktivis kehidupan untuk istirahat sejenak. Luruh dalam metrumnya yang tenang. Beberapa orang sebal, beberapa lainnya mengutuk hujan habis-habisan, dan pembenci garis keras menganggap hujan adalah musibah, induk banjir yang mereka tuai 6 bulan sekali. Dan untuk pembenci garis keras, hujan memberi salam jari tengah pada kalian. Pada yang benci hujan tapi masih buang sampah sembarangan. Karena satu-satunya yang pantas dibenci adalah tangan-tangan tak sopan itu.

13:23 WIB
Masih dengan hujan. Perempuan tanpa sayap, dengan satu malaikat itu, terus menatap hujan yang merintik. Melambat untuk kemudian layak disebut gerimis.

Di matanya yang telah menatap banyak peristiwa, namun kesulitan mengambil pelajaran, hujan dan gerimis adalah dua bersaudara yang berdebat tentang siapa lebih romantis. Perempuan itu tersenyum mendengar kata hatinya yang tidak masuk akal. Tetapi serius, keduanya adalah kakak-adik yang manis.

13:37 WIB

Sekarang tak ada rintik, tak ada tetes air, yang ada hanyalah indikasi bahwa langit segera terang. Mentari bertugas lagi setelah (barangkali) makan siang.

Waktunya kembali pada kehidupan nyata. Pada waktu yang tergesa-gesa dan entah sampai di mana. Sejujurnya perempuan itu bosan sekali. Menjalani aktivitas datar, dengan amplitude tak terduga yang bisa menghancurkan semangatnya. Kadang-kadang ia ingin tinggal di dunia dongeng, di mana semua cerita berakhir dengan “happy ever after”, bahagia selamanya tanpa mengenal kata mati. Atau hidup di dunia anime/manga yang penuh kisah heroik, yang terluka berkali-kali tapi sanggup bangkit lagi. Perempuan itu menginginkan terlalu banyak khayalan untuk hidup yang demikian kongkret. Makanya mimpi terasa maya dan sejauh cakrawala.


Perempuan itu aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar