UA-51566014-1 Catatan Harian: Juli 2015

Rabu, 29 Juli 2015

Atheisme dalam Filsafat (Mengapa orang filsafat cenderung atheis?)


            Ngapain kamu belajar filsafat? Ndak edan.
            Ngapain kamu belajar filsafat? Mau jadi atheis?

            Kalimat seperti itu kerap terdengar ketika seseorang bersinggungan dengan filsafat. Seakan membaca buku bercover filsafat merupakan indikasi menuju sesat, atau ciri-ciri bahwa pembacanya mau murtad. Tapi sebenarnya tidak demikian kawan, sungguh tidak.

            Filsafat memiliki banyak sekali cabang. Namun dasar paling transenden yang membuatnya jadi seperti samudra makna, adalah rasa skeptis. Orang-orang yang tergabung di dalamnya merupakan individu yang tak pernah mengangguk setuju pada pernyataan umum. Mereka, atau mungkin kita, akan menukil sampai dasar terbawah hingga hasratnya untuk bertanda-tanya terpenuhi. Hal tersebut didukung oleh kebebasan berpikir seluas-luasnya, tanpa tepi dan batasan cakrawala bernama dogma. Meski secara keilmuan filsafat terbagi menjadi beberapa cabang seperti epistemologi, ontology dan aksiologi, yang beranak-pinak menjadi isme-isme bergantung pada tokohnya, kebutuhan akan berfilsafat bagi homo sapiens ini senantiasa dilandaskan pada refleksi. Praktiknya, ketika orang berpikir filsafati, ia akan mengandalkan dirinya sebagai kosmos dan tidak melulu berkutat pada satu aliran. Malah, bukan aliran yang dipilih sebagai metode berpikir, melainkan orang ybs-lah yang memiliki tendensi untuk menjadi salah satu –isme.

            Bisa dikatakan, filsafat merupakan area bebas dogma, dan yang terpenting kamu cukup rasional untuk act like a philosopher. Rasional di sini merupakan kata kunci, bekal paling utama bagi siapapun untuk merasa berhak berfilsafat. Maka jelas, filsafat bukan hanya monopoli mereka yang Ph.D atau mahasiswa pada sebuah gedung bernama Faculty of Humanity, melainkan milik semua yang diberi anugrah akal oleh Yang Maha Kuasa.

            Atas kesadaran bahwa filsafat lebih mengandalkan logika ketimbang menghormati dogma, maka muncullah pemikiran-pemikiran yang menyatakan diri sebagai Ateisme (nah kan, isme lagi. Karena –isme adalah hak bagi sebagian orang). Sebut saja Ludwig Feurbach yang terkenal dengan ‘Manusia menciptakan Tuhan’, mari kita hormati pandangannya sebentar. Menurutnya, keberadaan Tuhan, malaikat, surga-neraka dan agama, merupakan proyeksi manusia untuk mengakui suatu ke-Maha-an. Hegellian (pengikut Hegel –filsuf yang mengasosiasikan Tuhan sebagai roh semesta) satu ini berpendapat bahwa sejatinya itu semua sudah ada dalam diri manusia sebagai kosmos. Manusialah pusat jagat raya sehingga sudah sepatutnya memulangkan ke-Maha-an tersebut dalam dirinya. Feurbach tidak sendirian dalam pandangan akan ateisme, kawannya antara lain Jean Paul Satre (yang terkenal itu), bapak psikoanalisis Freud, dan yang cukup kondang dengan “God Is Dead” yaitu Frederich Nietzche. Namun yang menarik, Nietzsche tidak secara literal menyatakan ateis. Ia menganggap bahwa Tuhan telah mati dalam kehidupan beragama di Eropa, Dia bukanlah sosok humanis dan tidak mampu menyelesaikan berbagai permasalahan. Maka merupakan tugas manusia untuk membunuhnya.

            Menilik keberadaan ateisme dalam filsafat (jangan berputih mata dulu, orang filsafat banyak kok yg ibadah) yang dikukuhkan oleh beberapa tokoh, tidak mengherankan bila beberapa orang memilih untuk berpikir demikian, entah atas pengaruh seseorang maupun berada di bawah tanggung jawab pemikiran sendiri. Tetapi yang seyogyanya perlu diingat dan dipatri dalam hati kita, adalah adagium bahwa filsafat membawa pada kebijaksanaan. Lover of wisdom. Logika dan rasionalitas macam apapun harus diimbangi dengan pengertian awal bahwasanya pergerakan filsafat mengarah pada sikap arif (yg kalau di KBBI berarti menggunakan akal-budi/pengetahuan cs pengalaman). Seseorang belum dikatakan filsuf jika ia belum meraih kebijaksanaan hakiki, yang logis dan mengerti.

            Konon, ateisme merupakan fase awal dari filsafat. Sebagaimana bingung adalah gerbang menuju pengetahuan. Mungkin ada yang belum tuntas dalam pemahaman ontologi, yakni mengenai hakikat hidup yang tidak selesai hanya dengan menjawab pertanyaan ‘apa’. Barangkali aksiologi dapat menawar rasa ingin tahu akan fungsi pengetahuan bagi hidup.

Saya pribadi yakin, berTuhan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Terlepas dari pengakuan bahwa Tuhan kita adalah Dia Yang Satu, tempat bergantung segala sesuatu, tidak beranak maupun diperanakkan, serta tak satu pun yang setara denganNya (terjemahan surat Al-Ikhlas), aforisme tiap individu akan ketuhanan nyatanya cukup jelas. Ia bisa saja seorang agnostic (percaya akan Tuhan namun tak beragama), panteisme (menyamakan Tuhan dg kekuatan semesta) dll. Namun sejatinya ia percaya, bahkan alterego Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathusra (novel tentang pria bernama Zarathusra yang pada usia 30 tahun menyepi untuk mengajarkan humanitas. Namun dalam kesepiannya merasakan ada kekuatan di luar diri yang tak pernah mampu ia tolak), apakah namanya kalau bukan pengakuan atas superioritas Yang Maha?

Entahlah, no matter what, philosophy take us to the wisdom, is it?

Wallahua’lam.

P.S: Catatan ini dibuat bukan atas dasar penelitian. Mohon maaf apabila ada kekeliruan. Apalah saya, cuma anak sastra yang mau tak mau harus bersentuhan dengan filsafat. Karena sastra tanpa falsafah, lebih kering daripada kripik tempe yang dijemur tujuh kali, meaningless.
P.S (one more): Saya belum selesai baca Thus Spoke Zarathusra. Karena selain bahasanya engrish nyebelin, ya begitulah, kadang-kadang saya nggak cukup pintar memahami. Mungkin kamu mau bantu saya baca dan bikin Summary?