Belenggu
Belenggu itu selalu tentang kebebasan. Mengurung tanpa pernah tahu titik akhir sebuah penantian. Bila menunggu,
akankah kita jadi pemenang? Tidak selalu, terkadang pun perlu kata “kalah”
untuk menyerah pasrah pada pahitnya rasa bosan. Aku mengerti, kita yang
dirayapi bosan, digerayangi kegelisahan, butuh sinar agar berasa tawar. Tapi siapakah
sinar itu?
Belenggu itu selalu tentang penjajahan. Ketika pikiran tak sinkron
dengan keadaan, yang disana mendominasi begitu banyak rasa. Payahnya, kita
sendiri tak paham bagaimana mengusir sang penjajah. Bukan dengan senjata, tidak
bersama ribuan massa, apalagi sendiri berteman tangan kosong. Karena penjajahan
tersebut justru haus pertemuan.
Hari sudah berganti tahun saat tersadar bahwa BELENGGU itu
penyakit. Menyebar lalu menguat seiring berjalannya waktu. Kenapa tak coba obati?
Disanalah letak kesalahan: obat yang tak berlabel harga bagaimana bisa
membelinya. Sudah kelewat akut mengusahakan virus yang butuh ruang baru. Meski inkubasinya
akan sangat lama, dan memang tak tega manfaatkan ruang baru tanpa rasa. Karena pertanyaan
sebenarnya, “Bagaimana bila yang terBELENGGU adalah hati???”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar