Menjadi Diri Sendiri, Antara Munafik dan Asyik
Seringkali seseorang
menuliskan “Jadilah diri sendiri” ke dalam motto hidupnya. Tapi pernahkan
kalian berpikir apa esensi menjadi diri sendiri? Ya. Sederhana dan nyaris tak
tampak. Pertanyaan mendasar itu seringkali tak terlintas dalam benak siapapun
yang dengan bangga mengakui “inilah aku yang apa adanya”. Mereka terus
memunculkan karakter-karakter khas tanpa peduli ia dipedulikan atau tidak.
Pada dasarnya
kehidupan ini adalah proses mencari hakikat kemanusiaan tanpa membubuhkan karakter
dalam wadah yang sama. Ketika seseorang berusaha mencari jati diri maka ia akan
menemui banyak sekali hal yang bukan ia. Awalnya akan tersiksa, namun disinilah
letak tantangan. Seberapa kuat individu tersebut bertahan dalam perbedaan, maka
dialah pemenang. Permasalahannya adalah
mampukah seseorang tetap menjalani proses yang mengharuskan dirinya bertemu
banyak wajah dengan segala sesuatu yang terlalu jauh berbeda?
Seperti kita tau,
sampai kiamatpun takkan ada satu makhluk yang sanggup meraih surga di atas kaki
sendiri. Segala hal yang berkaitan dengan sukses membutuhkan proses panjang. Dan
proses itu menawarkan dua posisi bagi kita dalam pandangan orang lain. Apakah menjadi
penting dalam suatu komunitas atau berbahagia di atas penderitaan orang. Semua berakar
dari keputusan. Dan sudah pasti pilihan pertamalah yang paling dinginkan. Yah.
. . siapa sih yang tidak ingin menjadi penting.
Lalu apa
hubungannya dengan munafik dan asyik?
Menjadi diri sendiri berarti harus
siap dibenci. Kenapa? Karena kita akan menentang begitu banyak hal hanya untuk
nyaman di peraduan hati. Bisu ketika ditanya mengapa. Tuli saat ditembak
peluru-peluru kritik yang tajam dan sadis. Sementara orang lain begitu muak
dengan “ke-tembok-an” yang luar biasa kaku. Tak bergerak bak mobil kehabisan
bensin. Yang perlu dilakukan hanyalah terus menerus menghidar dari kosakata “lelah”.
Toh kita telah mengantongi keasyikan dalam saku pribadi. Asal tak mandeg
bernafas, segalanya akan jadi nirwana di mata kita. Bahagia.
Lain halnya ketika seseorang memilih
“penting”. Ia adalah matahari, bintang-bintang mengelilingi. Tak limbung
sebelum gerak semu berakhir. Pusat dimana seluruh aspek mati saat dia hilang
dari peredaran. Popular sudah pasti. Terkenal tak diragukan lagi. Lalu apa yang
perlu dipermasalahkan hingga begitu sedikit golongan berpegang teguh pada
pilihan ini. Sebenarnya hanya ada satu alasan. Melebur dalam kebahagiaan
bersama dan belajar munafik terhadap bisikan hati. Ia wajib merelakan ceria
yang sederhana demi kemaslahatan umum tanpa mengikutsertakan kesejahteraan
diri. Barangkali motto utamanya harus “sebaik-baik manusia adalah yang berguna
bagi orang lain”. Tenggelam dalam kesibukan yang sama sekali tak menguntungkan
diri sendiri, bahkan lebih sering merugikan. Baik dari segi waktu, tenaga
maupun biaya. Menghianati keinginan pribadi agar senyum terus mengembang di
banyak mulut. Kegagalan adalah dosa yang dibebankan pada pundaknya.
Sayangnya kebanyakan manusia lebih
memilih jadi diri sendiri. Dan lihatlah, bumi kita masih terlalu egois untuk memahami kemauan alam
semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar