Apa Kabar Mahasiswa?
Kita mahasiswa, tapi bisa apa ketika
melihat ketidakadilan merajalela di mana-mana. Hanya sesekali mengenakan baju
kebesaran berupa jas yang warnanya di tentukan oleh atap di tempat menuntut
ilmu, memangnya cukup? Lalu sehari kemudian disibukkan kembali oleh pencarian
angka, jabatan di organisasi dan gelar yang pada akhirnya cuma melekat di belakang
nama tanpa makna. Jika seperti itu apa yang membedakan kita dengan mereka yang
berseragam putih abu-abu, putih biru bahkan yang putih merah maupun seragam rompi sekalipun.
Pernahkah anda
bertanya pada diri sendiri, apa tujuan kuliah yang hakiki? Bernahkah Cuma mengejar
huruf S untuk mengeruk uang kotor dari mereka yang untuk sampai ke SMA saja
harus memeras keringat lebih. Lalu apa yang perlu dibanggakan dari status mahasiswa?
Tidak ada.
Belakangan ini aku mencoba membandingkan diri sendiri dan
tema-teman. Ketika melihat pengemis di jalanan membawa anak, tanpa sengaja
berujar “kasian ya”. Malah ditanggapi masa bodoh oleh orang di sampingku, “Sudahlah.
Bukan urusan kita”.
Sedih mendapati betapa sederhananya
pikiran mahasiswa masa kini. Aku tidak kasian pada pengemis itu, mereka masih
bisa mengubah nasib. Salah mereka tidak mencari pekerjaan layak. Diberi masa
kecil, remaja hingga dewasa. . .kenapa hanya berujung pada meminta-minta? Ada pepatah
yang bilang “Miskin bukan nasib, tetapi pilihan”. Aku setuju dengan pernyataan
tersebut, bagaimana seseorang mengusahakan nasibnya sendiri agar tidak memalukan
bagi anak cucu-cucu. Aku hanya kasian pada si kecil dalam gendongan. Seharusnya
dia hidup layak sebagai anak-anak. Seperti kita dulu: cukup susu, makanan
bergizi dan belajar sesuai hak. Tapi apa, kenyataan bahwa orangtuanya seorang fakir
adalah hal paling pedih. Bisa-bisanya sebagai mahasiswa kita tidak peduli, atau
memang otak kita sudah bebal dengan indah dunia kampus yang menjunjung tinggi
pengetahuan dan teknologi. Cobalah memposisikan diri sebagai mereka. . .
Tulisan ini bukan
bermaksud sok. Sama sekali tak ada niatan menuju kesana. Ini hanya semacam yang
biasa kalian lakukan pada lembar buku harian yang indah dan berwarna-warni. Mungkin
waktu memang telah menyamankan kita dengan teknologi. Coba tengok kakak-kakak
kita pada tahun 66 dan 98. Para pengukir sejarah yang hilang ketika wakilnya
menjabat. Aku tidak kagum pada pemilik kursi di DPR yang pernah mencicipi masa
itu. Toh hasilnya tetap sama, korupsi masih berjalan sempurna. Aku justru kagum
pada mereka yang suaranya tak lagi terdengar, tetapi dengan ketabahan
menjalankan roda kehidupan di masyarakat. Menjadi diri sendiri dan berdiri
dalam mimpi masing-masing.
Jangan bilang
zaman sekarang tak ada masalah untuk kita ganyang. Coba tengok, angka
kemiskinan masih tinggi, pelecehan tetap terjadi, bahkan warga kita yang di
luar negeri sana seperti tidak memiliki harga diri di mata majikan. Mau sampai
kapan Indonesia menghamba pada dollar Amerika, real, Euro. Kita juga punya
kemampuan untuk mengubah dunia, jumlah Universitas dan mahasiswanya saja
peringkat 4 di dunia. Berarti warga Indonesia cukup pintar-pintar dong. Lalu kenapa
masih miskin juga. Entahlah, mungkin karena kurang peka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar