“Di dalam hidup
ini kita sering menginginkan peran orang lain. Kita selalu merasa dengan
menjadi orang lain kehidupan jadi lebih mudah. Nyatanya? Bermimpi untk menjadi
orang lain justru membuat kita semakin menyulitkan diri kita dan membenci peran
yang kita mainkan, yang sudah jadi hak kita. Kita tidak bisa menukar peran.” (Rusmini,
2007:13
Sebenarnya
kutipan di atas kurang relevan dengan apa yang akan saya bahas. Kalau ada,
mungkin sebatas Semarang – Tegal. Jauh maksudnya. Karena sebentar lagi KKL dan
kebetulan nemu novel yang mengangkat Bali bersama budaya patriaki yang dalam
batas-batas tertentu sangat matrilineal, saya jadi tertarik menuliskannya
sebagai upaya melawan lupa. Selain biar bisa berbagi sedikit, juga mengekalkan
memori dalam bentuk catatan. Konon katanya, berbagi tidak akan mengurangi apa
yang sudah kita miliki. Malah seseorang bisa semakin kaya dengan berbagi.
Bali
merupakan pulau kecil di Indonesia (kalau di peta terletak di sebelah timur
pulau Jawa), yang termasuk objek wisata kelas dunia. Pulau yang juga disebut
pulau dewata ini masih kental dengan adat leluhur. Beberapa yang diturunkan
secara estafet itu antara lain: sistem kasta, upacara dan tari-tarian. Adapula
bermacam-macam istilah yang asing di telinga tapi maknanya familiar, kalau
diteliti melalui LHK (Linguistik Historis Komparatif) maka baru bisa dillihat
akar bahasanya. Secara kasat mata, kita bisa melihat bahwa Bali yang mayoritas
beragama Hindu itu berkiblat pada India. Nama-nama yang disematkan oleh orang
tua pada anaknya pun hampir mirip. Seperti Sagra, Sadri, Sarma, Kenten dan
lain-lain.
·
Sistem
Penamaan
Tentu kita sudah tahu bahwa dalam agama Hindu terdapat tiga kasta:
Brahmana, Kesatria, Sudra. Sebenarnya ada satu lagi bernama Paria, tapi entah
kenapa jarang sekali disebutkan. Mungkin karena dianggap sangat hina atau dalam
bahasa kasarnya orang non-kasta. Sistem penamaan ini tidak seperti Binomial
Nomen Klaktur (bener gak tulisannya?) dalam pelajaran-pelajaran IPA, sistem
penamaan masyarakat Bali punya aturan sendiri dan sangat menentukan alur hidup
seseorang.
1.
Kasta
Brahmana
Ini adalah yang tertinggi dalam dunia perkastaan. Tempatnya
orang-orang di dewakan bahkan tidak jarang dikultuskan karena dianggap
kesayangan Dewa. Saking tingginya, masyarakat Hindu percaya bahwa manusia
Brahmana ibarat matahari yang dipinjamkan para Dewa untuk menyinari dunia.
Nama untuk brahmana putra adalah Ida Bagus, sedangkan untuk putri
adalah Ida Ayu. Seorang Ida Bagus hanya boleh menikah dengan Ida Ayu. Anak yang
lahir dari keduanya akan diperlakukan sangat terhormat karena memiliki karat
kebangsawanan yang tinggi. Tapi dalam beberapa kasus pelanggaran, apabila seorang
pria Brahmana menikahi perempuan berkasta di bawahnya, maka si perempuan harus
menjalani upacara tertentu untuk menjadi Brahmana. Pastinya juga si perempuan
itu harus berganti nama yang berbau Brahmana pula. Kebanyakan berganti menjadi
‘Jero’ siapa gitu. Tapi sebagai Brahmana jadi-jadian (bukan Brahmana murni),
seorang Kesatria/Sudra yang mengalami mobilitas kasta akan tetap dipandang
rendah oleh Brahmana murni. Yah semacam strata di dalam strata. Bahkan kelak
ketika melahirkan anak, perempuan itu tak boleh bersikap sembarangan pada buah
hatinya. Sembarangan di sini dalam artian harus menghormati, tidak boleh
menyentuh rambut, tidak boleh menghardik bahkan yang ekstrim tidak boleh
minum/makan dari wadah yang sama. Pasti ini menyiksa sekali, bagaimana mungkin
seorang ibu harus mengasingkan anaknya dalam dunia bangsawan yang tak bisa di
sentuhnya. Tapi inilah harga yang harus dibayar. Walau bagaimanapun, lancang
naik kasta adalah pelanggaran terhadap adat. Dan perempuan seperti itu akan
dikucilkan dalam pergaulan para Brahmana.
Di sisi lain Brahmana baru tersebut
tetap dianggap Brahmana oleh keluarga lamanya. Otomatis ia tidak boleh sembarangan
berinteraksi dan mengunjungi kerabatnya. Budaya yang demikian ini melarang
Brahmana berinteraksi bebas dengan kasta dibawahnya karena dianggap tidak etis.
Bahkan dalam kasus terjepit seperti kematian pun orang Brahmana baru tidak
boleh menyentuh orang tuanya yang meninggal. Dalam acara ngaben[1]
Ia hanya boleh berada di tempat tinggi yang dihormati sebagai Penonton. Ya,
Penonton. Sekali lagi biar dramatis, PENONTON. Bayangkan, betapa sedihnya
seorang anak yang tak bisa menyentuh wajah orang tuanya untuk terakhir kali.
Saya sih tidak mau dan tidak ingin membayangkan.
Lalu bagaimana jika yang naik kasta
adalah seorang pria? Jika pria dari kasta lain ingin menikahi perempuan
Brahmana, maka definisinya adalah dibeli. Jadi si perempuan yang melamar laki-laki.
Dan si pria harus menjalani upacara Nyentanain[2].
Pria ybs dalam keluarga nantinya akan dianggap sebagai perempuan. Tidak
hanya kehilangan hak memimpin saja, ia bahkan kehilangan hak bicara atau
menyampaikan pendapat. Keputusan apapun akan menjadi otoritas pihak perempuan. Perkara
perempuan mau mendengarkan pendapat suaminya atau tidak itu terserah. Dinamika
menarik inilah yang terkadang dijadikan tema novel-novel atau film-film
berlatar Bali. Makanya saya menyertakan kutipan yang sedikit tidak nyambung
tadi. Tidak dipungkiri, budaya berstrata yang menghalalkan untuk memandang
rendah orang, membuat mereka yang berada di bawah berusaha naik tangga agar
bisa diperlakukan manusiawi. Sementara orang Brahmana yang turun kasta lebih
sering karena terjerat cinta. Banyak yang menginginkan peran orang lain hanya
karena ia seorang Ida Ayu atau semata-mata Ni Luh.
Oia, Rumah tinggal seorang Brahmana
disebut Griya.
2.
Kasta
Kesatria
Hubungan
kestria dan Brahmana agak sulit dijelaskan. Ada semacam rasa rikuh di
antara dua kasta ini. Secara materil dan sosial, orang-orang kesatria lebih
makmur dari Brahmana. Secara mereka keturunan raja, kalau di Jawa darah biru
istilahnya. Tapi Bali juga melegalkan kasta Brahmana sebagai bangsawan yang
patut di hormati.
Kalau di
Mahabharata dan Ramayana sih orang-orang Brahmana dibayar raja untuk menjadi
mentor atau penasihat mereka. Misalnya resi, Begawan dan pujangga. Mereka
saling menghormati satu sama lain, Brahmana menghormati ksatria karena mereka
keturunan raja, dan kestria menghormati Brahmana karena mereka adalah pemberi
ilmu.
Nama bagi kasta
kesatria kebanyakan adalah I gusti. Tempat tinggal mereka disebut Puri.
3.
Kasta
Sudra
Kasta sudra adalah kasta yang terendah. Mereka biasa menggunakan
nama Putu, Wayan dan Luh. Mereka yang menikah dengan kasta-kasta di atasnya
harus beradaptasi, di satu sisi juga tetap dianggap rendah. Karena walau
bagaimanapun kelahiranlah yang menentukan apakah seseorang akan diperlakukan
sebagai sudra, kesatria atau Brahman. Bagi orang-orang yang lancang memobilisasi
status mereka akan dianggap sebagai pembawa sial dan mengalami
kesulitan-kesulitan.
Itulah sedikit tentang kasta. Bisa dibilang Bali masih bersifat
feodal, bagi orang-orang pribumi yang ortodok, merupakan suatu kesulitan
tersendiri menerima perpindahan kasta dan terkadang menyulitkan ybs. Tapi tidak
tau dengan Bali 2014, mungkin dengan terbukanya kran globalisasi, hal semacam
ini sudah bukan masalah besar.
·
Istilah-istilah
Karena saya bukan orang Bali, anda juga mungkin bukan, ada beberapa
istilah penting yang sebenarnya biasa saja tapi maknanya tidak kita ketahui.
-Meme : Ibu
-Tugeg : Panggilan untuk anak Brahmana
-Tiang : Saya
-Tuniang : Nenek
-Bli : Mas
-Ratu : Panggilan untuk menghormati
pria brahmana
-Dayu : Singkatan dari Ida Ayu
Demikianlah
sekelumit tentang Bali. Terimakasih sudah membaca J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar