Drupadi:
Impressi pertama itu penting. Ya, hingga kini aku masih
dibayang-bayangi impressi pertama itu. Terpesona pada caramu mengangkat busur,
lalu membiarkan sang panah menemukan targetnya dengan tepat. Sangat tepat.
Mungkin kau perlu tahu, panahmu tak hanya mengarah seekor burung dari bayangnya
di air, tetapi hal lain pula yang tunduk bersama lepasnya jari-jarimu. Dan entah
karena wajahmu rupawan, atau akalku yang tak di tempat, rasanya gravitasiku
bukan lagi bumi. Gravitasiku adalah kau yang melenyapkan segala bentuk
kewarasan. Sederhananya, aku tergila-gila.
Aku membencimu saat kau membiarkan kelima Pandawa memilikiku. Aku
membenci caramu menghormati Yudhistira, dengan menjadikannya yang utama di
antara semua. Aku benci menjadi permaisurinya, benci berbagi ruang di hati yang
telah kau monopoli. Ruang absolute yang pernah diakui pemiliknya. Harus
kupertegas dengan cara apa, Arjuna? Bila kau berusaha memetakan hatiku sesuai
darma, tanpa memahami bahwa keadilan tak pernah ada bagi perempuan yang tak
punya pilihan. Tak ada karena menikahi semua pandawa sama saja memecah hati
menjadi renik kedukaan. Dan ketika aku mulai menerima, alih-alih berdamai
dengan catatan tetap berada di sisimu, kau malah membawa Sembadra sebagai adik
yang tak pernah kuinginkan. Arjuna, bagaimanapun aku tidak buta. Lama-lama
bocah ayu itu akan menenggelamkan namaku. Mengubahnya semacam noktah kecil di
semesta ragamu.
Aku memang terlalu naif. Jatuh cinta pada matahari yang menjadi
pusat pergerakan semesta. Tampaknya pula kau mengakui itu. Sehingga pergi untuk
menengok sesekali, karena hatimu tak pernah tinggal di manapun. Aku mencintaimu
semurni cinta itu sendiri. Tapi kau hanya melihat cintaku sebagai sarapan sebelum
menjalani hari panjang. Di jamuan-jamuan selanjutnya, kau sendiri yang menentukan
menu. Perempuan dari Dwarawati, Astina atau Pancala?
Sejak semula aku telah jatuh dalam labirin ambivalensi. Mencintaimu
sebanyak aku membencimu. Cinta dan benci, kalau kautahu matahariku, bagaikan
siang-malam yang datang untuk saling menggantikan. Cinta dan benci juga seperti
cahaya-hujan yang membentuk pelangi. Keduanya adalah pasangan berkebalikan,
keduanya adalah segala tentangmu di mataku.
Srikandi:
Apa salah mencintai kakak ipar sendiri? Apa salah mengagumi pria
tampan sampai mati? Apa salah menginginkannya sebanyak manusia menginginkan
kehidupan? Apa salah meminta tempat di hatinya yang seluas samudra? Apa salah
menikahi pria yang tak peduli jumlah istri? Apa salah bergabung dengan sesama
pemanah? Apa salah menyukai yang juga disukai orang?
Apa salahnya menjadi aku? yang ditakdirkan untuk itu?
Tak ada yang salah. Karena Trimurti sudah menuliskannya sebagai
kisah.
Sembadra:
Cinta? Izinkan aku membuang kata itu ke keranjang sampah saja.
Tidak. Aku bukan sedang sombong, atau tak peduli pada nafasnya
orang hidup. Sebagai manusia biasa tentu aku memilikinya, menginginkannya dan
berniat hidup untuk itu. Meski tanpa cinta pun aku sudah memiliki semua. Wajah
cantik, pesona wanita sejagad, dan terutama Arjuna dan Abimanyu. Dua pria yang
paling kucintai di dunia.
Tapi, cinta adalah kata dengan sejuta wajah yang tak pernah bisa
diterka. Terkadang menghidupi, terkadang meracuni, terkadang membahagiakan,
terkadang pula. . . membuat orang ingin
mati. Singkatnya, aku telah kehabisan bahasa untuk sepotong kata itu.
Cinta telah membekukanku dalam ambiguitasnya. Membuatku terpaksa
menerima Arjuna lagi dan lagi, atau mengizinkannya berlayar untuk melepas
jangkar di sembarang tempat.
Dengan sendirinya, cinta menjelmakan Arjuna dalam berbagai rupa. Tampan
tapi penuh borok asmara.
Tentang hubungan kami,
Satu-satunya yang kusyukuri hanyalah Abimanyu. Pangeran Kuru yang
berasal dari Arjuna dan aku.
Arjuna:
Untuk apa aku hidup?
Barangkali inilah pertanyaan transenden yang dimiliki setiap
manusia. Tapi bagaimana dengan seseorang yang hidup untuk semua yang melingkupi
hidupnya? Ya, sesederahana itu. Sejujurnya aku hanya mengada. Membaktikan waktu
untuk apapun dan siapapun.
Untuk Trimurti, untuk bangsa Kuru, untuk Pandawa, untuk ibu Kunti,
untuk memenangkan Bharatayudha, untuk gandewa, untuk nirwana, untuk dewata, dan
untuk. . . . ah ya, perempuan-perempuan.
Aku mencintai mereka seperti aku mencintai diri sendiri.
Jika dirangkum dalam satu kalimat, hidupku adalah:
“Mencintai sekularitas sambil berjalan menuju malka bernama
nirwana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar